Banjirembun.com - Pilih dizalimi atau menjadi pihak yang menzalimi? Tentunya, banyak orang bakal menjawab tidak keduanya. Lebih baik, menjadi insan yang bermanfaat sehingga tak menyakiti siapapun. Harapannya, hidup menjadi damai dan tenang dalam keharmonian.
Sayangnya, demi mampu menjadi manusia bermanfaat bagi sesama, sudah semestinya bersiap diri mendapatkan kezaliman. Bukan cuma dengan sesama "pesaing" di bidang kebermanfaatan yang ditekuni, tetapi berisiko dizalimi oleh kalangan yang jadi target pengabdian.
Sebaliknya, hendak pilih menjadi orang yang menzalimi pun pastilah di lain waktu dan tempat posisinya juga akan dizalimi. Artinya, boleh jadi individu merasa terzalimi pada keadaan tertentu, ternyata di lain kondisi yang berbeda dia bertindak sebagai pelaku kezaliman.
Tidak harus zalim kepada sesama insan. Perbuatan buruk itu bisa pula diterapkan pada binatang. Sebab, hewan yang jadi sasaran kekejaman dianggap tak bisa melawan. Selain itu, tentulah merasa bahwa hewan tak bisa mengeluh. Nyatanya, binatang juga bisa merasakan kesakitan.
Hal di atas, boleh jadi berlangsung dalam periode yang berdekatan. Lalu, bagaimana dalam jangka panjang? Misalnya, hari ini saat menjadi anak merasa diri dizalimi oleh orang tua kandung. Kemudian, ketika di masa depan punya anak kandung sendiri ia membalas dendam dengan menzalimi cucu orang tuanya.
Percayalah, tiada Kemalangan yang Berlangsung Terus-menerus
Setiap masalah pasti ada solusi. Setiap kebuntuan pasti terdapat jalan keluar. Badai pasti berlalu. Tinggal bagaimana yang terzalimi berupaya mencari cara yang tepat secara ulet dan kreatif. Di mana, jika gagal maka cari cara yang lain. Terpenting, enggak buru-buru dan berambisi mencapai hasil sempurna.
Ingatlah, memiliki solusi dari problematika terberat dan tersulit yang dihadapi saja sudah bersyukur. Sebab, dengan itu bisa terhindar dari kerugian parah serta sanggup mencegahnya terjadi berulang lagi. Oleh sebab itu, janganlah tamak! Terpenting, keluar dulu dari masalah yang menghimpit.
 |
Ilustrasi akibat perbuatan zalim manusia (sumber gambar pixabay.com) |
Kalau memang faktanya belum mampu memecahkan persoalan hidup yang pelik, setidaknya bertahan dulu. Menahan rasa sakit, pedih, derita, jengkel, dan muak terhadap kezaliman yang sedang dihadapi. Terima penderitaan itu sebagai hal yang normal dalam kehidupan. Hidup ini memang sebuah ujian.
Patut diketahui, ada sejumlah orang yang barangkali juga mengalami problem yang sama. Bukan maksud membanding-bandingkan, tetapi sebagian mereka memilih untuk menguatkan mental sembari memikirkan bagaimana cara meminimalisir dampak buruknya.
Tatkala dirasa tidak kuat lagi, jalan keluarnya yaitu pergi menjauh dan meninggalkan secara fisik lokasi kezaliman. Agar tak bertemu lagi dengan pelaku zalim yang bikin hati terluka. Pahamilah, pergi menjauh bukan berarti lari dari permasalahan. Justru, itulah solusi menyelesaikan masalah.
Tentunya, tak boleh sekonyong-konyong berpikiran "terpenting" bisa lepas dari penderitaan sebelumnya. Tanpa pandang bulu tempat tujuan. Akan tetapi, harus dipertimbangkan secara matang ke mana lokasi yang dituju. Persiapkan diri dulu dan buat perencanaan yang cerdas.
Setelah pindah nanti melakukan apa saja. Jangan sampai seperti peribahasa "Keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya." Alih-alih, bisa merasakan kelegaan sesudah terlepas dari permasalahan sebelumnya, yang ada malah merasakan hal yang tak jauh beda.
Seenggaknya, setelah keluar dari mulut harimau, risiko yang diterima berupa digigit kucing. Memang kemungkinan masih terasa sakit. Namun, hak tersebut jauh lebih menyelamatkan ketimbang diterkam buaya. Ingat, "Jangan minum racun walau tengah dalam situasi teramat kehausan."
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Orang yang Dizalimi Deritanya Pasti ada Akhirnya dan Orang Menzalimi Kesenangannya tidak Selamanya"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*