Ia bukan monster.
Bukan pemberontak.
Dan bukan pecundang yang kabur dari tanggung jawab.
Dia hanya lelaki—
yang ingin hidupnya utuh tanpa dikendalikan oleh stigma, luka, dan label palsu yang ditempelkan kepadanya.
Stigma pertama menekannya sejak dini:
dicap sebagai anak yang tak tahu diri,
padahal ia hanya belajar membela batas yang tak dihargai.
Ketika ia menolak tunduk pada narasi sepihak,
ia langsung disebut durhaka.
Padahal ia hanya ingin menyelamatkan kewarasannya
dari tuntutan yang melampaui batas kemanusiaan.
Stigma kedua datang dari rasa haus akan kehangatan—
yang kemudian dibungkus oleh halusinasi cinta.
Ia berpikir telah menemukan tempat pulang,
padahal ia hanya sedang tersesat dalam pelarian batin.
Apa yang ia kira cinta, ternyata jebakan manis penuh tuntutan.
Bukan hati yang ingin mengenalnya,
melainkan lumbung emosi yang ingin dikuasainya.
Dan stigma ketiga:
tuduhan sebagai suami mata duitan,
hanya karena ia berani berkata bahwa keadilan itu bukan milik satu pihak.
Ia bukan perampas.
Ia hanya ingin haknya diakui sebagaimana ia menghormati hak orang lain.
Tapi karena ia laki-laki,
dan karena ia memilih diam terlalu lama,
tuduhan itu menancap seolah mutlak.
Kini ia memilih bangkit.
Bukan untuk membuktikan apapun pada dunia.
Tapi agar jiwanya tak terus hidup dalam kuburan citra yang dipaksakan.
Ia hanya lelaki—
yang ingin hidup tanpa harus terus meminta maaf atas luka yang bukan ia ciptakan.
Yang ingin mencintai tanpa harus tersesat.
Yang ingin melindungi tanpa dituduh menuntut.
Yang ingin menjadi dirinya sendiri,
bukan peran yang ditulis oleh trauma orang lain.
Karena pada akhirnya,
hanya dirinya sendiri yang tahu bagaimana rasanya
dihabisi secara halus,
dituduh tanpa ruang pembelaan,
dan dipaksa terus tersenyum di atas reruntuhan harga dirinya.
Hari ini ia tidak lagi tunduk.
Tidak lagi minta pengakuan.
Ia hanya berdiri—
di atas kebenaran batin yang perlahan ia kumpulkan sendiri.
Dan itu sudah cukup.
Narasi Lelaki yang Ingin Pulih
Ia tidak ingin dipuja.
Ia tidak haus validasi.
Yang ia rindukan hanyalah hidup yang tenang,
tanpa suara-suara asing yang terus memelintir kenyataan batinnya.
Ia pernah diam terlalu lama,
karena takut dianggap salah,
takut kehilangan,
dan takut dilabeli macam-macam.
Tapi diam itu justru membuatnya larut dalam skenario
yang tidak pernah ia tulis sendiri.
Narasi tentang dirinya direbut,
ditulis ulang oleh suara-suara yang lebih nyaring,
yang lebih pandai memainkan air mata dan simpati publik.
Dan ia hanya berdiri di sudut,
menyaksikan nama baiknya perlahan larut dalam cerita orang lain.
Kini, ia tidak ingin menyerang balik.
Ia tidak ingin membalas.
Ia hanya ingin pulih.
Bukan pulih agar terlihat kuat,
tetapi pulih agar tidak hancur.
Ia ingin merebut kembali haknya untuk bernapas tanpa rasa bersalah.
Ia ingin bisa bicara tanpa dituding membela diri.
Ia ingin hadir sebagai dirinya sendiri,
bukan bayangan dari tuntutan orang lain.
Ini narasi lelaki yang ingin pulih.
Yang tak lagi ingin menang,
tapi cukup jika bisa berdiri tanpa beban.
Yang tak lagi ingin meyakinkan siapa-siapa,
tapi cukup jika bisa jujur pada dirinya sendiri.
Karena untuk pertama kalinya,
ia menyadari:
menyelamatkan diri bukanlah bentuk kelemahan,
melainkan tanda bahwa ia mulai waras.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)  |
Keselamatan jiwa dari bentuk penjajahan batin adalah hak setiap insan (sumber gambar dibuat oleh ChatGPT) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Dia Hanya Lelaki yang Ingin Bangkit dari Stigma Anak Durhaka, Halusinasi Cinta, dan Suami Mata Duitan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*