Turun Panggung
Aku turun,
bukan karena kalah,
bukan karena lelah,
tapi karena waktuku sudah selesai di sini.
Tak ada sorak,
tak ada tirai ditutup gemuruh.
Hanya sepasang sepatu tua
kutinggalkan di tengah panggung
sebagai pertanda:
aku pernah hadir,
tanpa harus dikenang.
Lampu redup,
kursi-kursi kosong,
dan naskah yang kubiarkan jatuh
tanpa ingin dibaca ulang.
Tak perlu pamit
pada penonton yang lupa
apa yang pernah mereka dengar.
Tak perlu menjelaskan
kepada naskah yang pernah kutundukkan dengan air mata.
Aku berjalan pelan,
tanpa suara,
tanpa bayangan,
tanpa jejak yang bisa ditemukan.
Karena aku bukan cerita
yang ingin diulang.
Aku adalah lembar kosong
yang memilih menutup buku
dengan tenang.
Turun panggung,
bukan kabur.
Ini cara paling suci
untuk mengatakan:
aku sudah cukup.
Turun Panggung Tanpa Drama dan Tak Ada Jejak Tertinggal
Bukan karena kalah. Bukan pula karena lelah.
Aku turun panggung karena pertunjukanku telah usai.
Sudah cukup berdiri di bawah sorotan lampu yang tak pernah benar-benar hangat. Sudah cukup menyuarakan isi hati di ruang yang lebih sering menggema ketimbang mendengar. Sudah cukup mengenakan topeng demi menjaga perdamaian yang semu.
Kini, aku memilih turun panggung. Tanpa gemuruh tepuk tangan. Tanpa peluit panjang atau tirai penutup.
Tanpa menjelaskan kepada siapa pun, kenapa dan untuk siapa aku tampil selama ini.
Aku tidak butuh akhir yang heboh.
Tidak akan ada poster “ini penampilan terakhirku.”
Tak perlu drama air mata atau perpisahan penuh simbol.
Karena memang tak ada yang benar-benar mengenal siapa yang berdiri di balik naskah yang mereka kagumi atau hina.
Turun panggung bukan bentuk kekalahan.
Ini adalah kesadaran.
Bahwa panggung itu bukan lagi tempatku.
Bahwa peran yang kumainkan bukan lagi cerminan jiwaku.
Dan bahwa penonton, sebagian besar, tak pernah benar-benar peduli.
Aku turun, lalu berjalan perlahan menjauh.
Tanpa pamit. Tanpa menoleh.
Karena aku tidak meninggalkan siapa-siapa—
dan tak ada yang betul-betul kehilangan.
Yang tersisa mungkin hanya bayang samar.
Dan aku pastikan, bahkan bayangan itu pun perlahan akan lenyap.
Tak akan ada jejak yang bisa dilacak.
Tak akan ada cerita yang bisa dirunut.
Tak akan ada pintu untuk kembali, karena semua telah kututup rapat dari dalam.
Bukan karena dendam. Tapi karena damai.
Bukan karena trauma. Tapi karena pencerahan.
Turun panggung ini bukan pengasingan. Ini pemurnian.
Bukan menghindar dari dunia, tapi menolak hidup dalam naskah yang ditulis oleh tangan selain tanganku sendiri.
Mulai hari ini, aku bukan lagi tokoh dalam kisah siapa pun.
Aku adalah penjelajah yang melintasi sunyi,
tanpa jejak, tanpa nama,
dan tanpa beban harus menjelaskan apa-apa.
___________________________________
Sumber:
chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
 |
Ilustrasi buru-buru meninggalkan panggung (sumber gambar dibuat oleh ChatGPT) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Puisi: Turun Panggung "
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*