1.
Pengertian Kecerdasan Beragam
Kata ragam
salah satu diantaranya memiliki arti pertama
“tingkah; laku; ulah” kedua “macam;
jenis” dan ketiga “warna; corak;.”
Sedangkan istilah kecerdasan berasal
dari kata dasar “cerdas” yang artinya “sempurna perkembangan akal budinya
(untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran;” atau bisa juga berarti
“sempurna pertumbungan tubuhnya (sehat, kuat).” Secara terpisah kecerdasan
spiritual mempunyai arti tersendiri yaitu “kecerdasan yang berkenaan dengan
hati dan kepedulian antarsesama manusia,
makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan Yang
Maha Esa.”
Berangkat
dari pemaparan tersebut, maka penggunaaan istilah “kecerdasan beragam”
dalam Bab ini sebagai pengganti istilah multiple
intelligences merupakan tindakan absah. Alasannya, kata ragam secara arti (makna) lebih cocok
digunakan dari pada kata lainnya. Misalnya, kata majemuk memiliki dua arti yang tidak satupun cocok sebagai
pengganti istilah teori Gardner tersebut. Di mana, majemuk berarti “terdiri atas beberapa bagian
yang merupakan kesatuan” dan “mengenai penambahan bunga kepada pokok
berdasarkan waktu dengan tujuan mendapatkan dasar baru untuk menghitung bunga
berikutnya:.”
Padahal menurut teori Gardner, satu jenis kecerdasan itu bisa berdiri sendiri
dan bukan terdiri atas beberapa bagian yang saling menyatukan. Walaupun, kadang
kala antara jenis kecerdasan satu dengan yang lain saling mendukung (terkait). Bilapun
menggunakan istilah kecerdasan ganda, maka kata “ganda” memiliki tiga arti
yaitu pertama “(tentang hitungan)
kali; lipat,” kedua “berbayang
(seakan-akan ada dua),” ketiga
“berpasangan (terdiri atas dua); berpasangan dua-dua (dalam bulu tangkis, tenis,
dsb).”
Dari sudut pandang teori Gardner penggunaan istilah “ganda” juga kurang cocok.
Hal ini karena jenis kecerdasan dalam multiple
intelligences menurut Thomas Armstrong berpeluang untuk “tak terbatas” (terus
bertambah).
Lebih lanjut, Gardner mendefinisikan kecerdasan
dengan singkat dan fungsional, yaitu “An intelligence
is the ability to solve
problems, or to create products, that are valued within one or more
cultural settings.” Artinya, kecerdasan
adalah kemampuan memecahkan masalah-masalah, atau menciptakan produk-produk
(hasil) yang bernilai tinggi dalam satu atau lebih keadaan (latar belakang)
kebudayaan. Adapun Alfred Binet dan
Theodore Simon (sering disebut Binet-Simon), membagi kecerdasan menjadi tiga
komponen. Pertama “kemampuan mengarahkan
pikiran dan atau tindakan.” Kedua “kemampuan
mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan,” dan ketiga “kemampuan mengkritik diri
sendiri.”
Dapat disimpulkan bahwa antara Gardner dengan Binet-Simon secara dasar dalam
mendefinisikan kecerdasan tidak berbeda. Yakni, ketiganya sama-sama menekankan
bahwa kecerdasan merupakan sebuah kemampuan.
Secara spesifik Widayati
dan Widijati mengungkapkan bahwa
kecerdasan itu tidak dapat diamati secara langsung. Diperlukan kesimpulan dari
pengamatan berberapa perilaku nyata yang merupakan perwujudan dari proses
berpikir rasional.
Dengan demikian, penilaian terhadap kecerdasan tidak harus dilakukan dengan
tes tulis. Hal ini, utamanya untuk menilai kecerdasan anak kecil (balita) yang
belum bisa baca tulis. Selain itu, Widayati dan Widijati mengklasifikasikan sifat-sifat
dari kecerdasan sebagai berikut:
1.
Adaptif; adanya respon yang fleksibel bila ada stimulus
dalam berbagai situasi dan masalah, sehingga tahu pemecahannya dan tidak merasa
sulit setiap kali menghadapi permasalahan.
2.
Kemampuan belajar; kemampuan belajar pada sesuatu yang
baru, tergantung pada setiap anak sejauh mana ia mampu menyerap dan menyimpan
sesuatu yang baru itu.
3.
Belajar dari pengalaman luar dan dalam dirinya;
menggunakan pengetahuan sebelumnya sebagai analisis dan pemahaman situasi yang baru,
sehingga senantiasa menunjukkan kreativitas.
Gardner
juga mengatakan bahwa kecerdasan yang “utama” itu berdasarkan faktor keturunan
(gen) sehingga tidak dapat dilatih. Misalkan kecerdasan musikal, menurutnya ada
pengaruh gen yang menyebabkan seseorang pintar memainkan musik. Bahkan, menurutnya perbedaan dalam lingkungan
seseorang
tidak memberikan
kontribusi material
terhadap perbedaan
dalam kapasitas
(kemampuan) untuk
membedakan irama
maupun melodi.
Bila pernyataan ini benar, maka memaksa individu untuk menguasai bidang
kecerdasan lain yang tidak sesuai dengan faktor bawaan atau bakatnya merupakan
tindakan di luar manusiawi. Dapat disimpulkan bahwa arti kecerdasan beragam adalah beberapa jenis
kemampuan dasar yang salah satunya atau beberapa diantaranya bisa menjadi ciri
khas atau melekat (dimiliki) pada masing-masing manusia untuk berbudaya dan berkehidupan
bersama secara efektif dan agar lebih produktif.
2.
Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran
adalah proses mental dan emosional, serta berfikir, dan merasakan. Seseorang
pembelajar dikatakan melakukan pembelajaran apabila pikiran dan perasaannya
aktif.[11] Lebih detail, Ahmad Sabri menyampaikan bahwa orang yang
sudah aktif terlibat pada proses pembelajaran diharapkan akan bisa merasa lebih
bahagia dan lebih pantas untuk melakukan pemanfaatan alam sekitar. Selain itu,
peserta didik juga perlu aktif dalam penjagaan kesehatan, peningkatan
pengabdian untuk ketrampilan, dan berhasil dalam pengimplementasian pembedaan
(terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan sesudah melakukan proses
pembelajaran).[12]
Dengan demikian, dalam pembelajaran peserta didik ditekankan punya kesadaran,
motivasi, dan kondisi yang dimungkinkan untuk terjadinya interaksi antara
peserta didik terhadap sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[13]
Lebih jauh, peserta didik diharapkan terlatih pada pembiasaan diri untuk
pemecahan masalah dan mampu terbiasa pada penggunaan empati beserta logikanya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan pembelajaran bisa terjadi di mana saja. Tidak
hanya di dalam kelas yang sangat formal, terbatasi waktu maupun tempat, dan cenderung
kaku.
Dari pendefinisian di
atas, kemudian dihubungkan dengan
definisi “kecerdasan beragam” dapat dihasilkan sebuah pengertian baru. Yakni, pembelajaran
Pendidikan Agama Islam dalam konteks penerapan teori kecerdasan beragam merupakan
suatu kegiatan pengaktifan kesadaran mental (utamanya bakat dan kecerdasan) peserta
didik secara terorganisir, yang isinya didasarkan pada nilai-nilai agama Islam
secara universal sebagai pedoman berperilaku, berfikir, dan berkehendak dalam
perjalanan hidup sampai mati. Meninjau dari definisi tersebut, maka tujuan, materi,
strategi (metode), dan evaluasi pembelajaran PAI akan sangat berbeda jauh jika
dibandingkan dengan sistem pembelajaran bidang ilmu lain. Di mana, salah
satunya PAI diajarkan sebagai pedoman hidup secara mendalam dan luas. Sedangkan,
kebanyakan bidang ilmu lain dipelajari sebatas untuk bagaimana cara
mempertahankan kehidupan, mengembangkan kehidupan, cara menyelesaikan masalah
kehidupan, dan semacamnya tanpa melibatkan atau paling tidak menekankan aspek
‘ketuhanan’ dan ketauhidan.
3.
Perubahan Paradigma Kecerdasan
Selama
ini dalam sistem pendidikan, pada praktek di lapangan kebanyakan masih memaknai
kecerdasan peserta didik secara terbatas (picik). Yakni, mereka yang dikatakan
cerdas adalah memiliki ciri-ciri penurut, hafalannya kuat, nilai mata pelajaran
matematika serta IPA tinggi, hasil tes IQ-nya tinggi, ranking nilai kognitif teratas, dan pendiam. Ini artinya, anak yang
bisa membenahi kerusakan motor, mampu berdagang (berbisnis) gorengan, mampu
memasak (menjadi koki), mampu membuat celana dalam anti pemerkosaan, mampu
melukis, mampu bermain musik, dan semacamnya tidak didefinisikan sebagai anak
yang tergolong cerdas, tapi anak yang kreatif. Dengan menggunakan paradigma ini,
maka anak yang kreatif bukanlah anak yang cerdas, tapi hanya sekedar kreatif.
Dampaknya, berbagai anak yang kreatif tadi (yang mempunyai kecerdasan di bidang
masing-masing) merasa tidak mendapatkan penghargaan dibandingkan dengan anak
yang mendapat ranking
(nilai kognitif) 10 besar.
Kenyataan
seperti itu sungguh memprihatinkan bagi kondisi psikologis anak. Bisa jadi anak
akan berlomba-lomba belajar atau bahkan dileskan (lembaga les atau secara
privat) agar mendapatkan nilai bagus pada bidang matematika, bahasa inggris,
IPA, dsb.
Padahal belum tentu jenis “kecerdasan” yang dikuasainya di bidang tersebut.
Akibatnya, energi anak akan terkuras untuk hal-hal yang diluar bidang
kecerdasannya. Meskipun hasilnya bagus (terjadi peningkatan), akan tetapi
kemungkinan bisa menjadi lebih bagus dan lebih bermanfaat bila ia memperdalam
kecerdasan yang keberadaannya dominan pada dirinya. Selain itu anak juga akan lebih
menikmati pendalaman materi (melalui les atau privat) yang sesuai dengan bidang
kecerdasannya.
Hal
itu sesuai dengan pernyataan Gardner sebagaimana yang dikutip oleh Efendi bahwa
konsep kecerdasan itu tidak hanya bersangkut paut pada the result of paper and pencil tests (hasil tes dengan kertas dan
pensil). Akan tetapi, terkait juga dengan pengetahuan tentang otak manusia dan
kepekaannya terhadap ragam budaya (sensitivity
to the diversity of human cultures).
Bagaimanapun, tes IQ hasilnya hanya berupa angka untuk memetakan kemampuan
berpikir seseorang. Dengan kata lain, IQ bukanlah tes kinerja nyata, sehingga
dimungkinkan antara prediksi hasil tes dengan pelaksanaan di lapangan akan
berbeda. Misalkan anak yang ber-IQ tinggi belum tentu ia mempunyai kecerdasan
emosional
dan kecerdasan spiritual
yang bagus dalam kehidupan.
Selain
itu, selama ini yang dinamakan kecerdasan adalah hal-hal yang terkait dengan
keseriusan, tidak boleh ada kesalahan, dan harus belajar dengan teks bukan
konteks. Hal ini menurut Agus Efendi tidak benar, karena kecerdasan merupakan
kemampuan untuk belajar dari pengalaman dan kemampuan beradapatasi dengan
kebudayaan sekitar. Oleh karena itu, orang cerdas itu bukan berarti tidak boleh
(tidak pernah) berbuat salah. Kenyataannya, orang cerdas adalah mereka yang
pernah berbuat salah, akan tetapi mereka bisa belajar dari kesalahan dan tidak
melakukan lagi.
Sedangkan, apabila ditilik dari segi asal-asul terbentuk
dan perkembangannya, tingkat kecerdasan itu tidak hanya ditentukan oleh pola
genetik tapi juga faktor lingkungan. Sebagaimana menurut Danah Zohar dan Ian Marshall
mengatakan bahwa:
Kecerdasan
manusia terekam di dalam kode genetis dan seluruh sejarah evolusi kehidupan di
bumi. Di samping itu, kecerdasan manusia juga dipengaruhi oleh pengalaman
sehari-hari, kesehatan fisik dan mental, porsi latihan yang diterima, ragam
hubungan yang dijalin, dan berbagai faktor lain. Ditinjau dari ilmu saraf,
semua sifat kecerdasan itu bekerja melalui, atau dikendalikan oleh, otak
berserta jaringan sarafnya yang tersebar di seluruh tubuh.
Secara
terperinci, menurut Thomas Armstrong, syarat khusus yang ditetapkan oleh
Gardner agar sebuah kecerdasan bisa dimasukkan ke dalam teorinya, diantaranya:
1.
Setiap kecerdasan dapat dilambangkan; misalnya lambang tulisan (huruf) pada
kecerdasan linguistik, lambang angka pada kecerdasan matematis, lambang nada
untuk kecerdasan musikal, dan lambang gerak-gerik atau mimik wajah sebagai
lambang kinestetik.
2.
Setiap kecerdasan mempunyai riwayat perkembangan;
kecerdasan itu dinamis (tidak menetap) dan setiap kecerdasan mempunyai pola
perkembangan yang berbeda-beda.
3.
Setiap kecerdasan rawan terhadap cacat akibat kerusakan
atau cedera pada wilayah otak tertentu. Menurut Gardner teori kecerdasan dapat
berlaku bila didasarkan pada Biologi (struktur otak). Kecerdasan linguistik
berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal, spasial, dan antarpribadi
(interpersonal) cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan kinestetik
menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum (otak kecil). Dengan
kata lain, apabila ada kerusakan pada bagian otak tertentu bisa mempengaruhi
pada berkurangnya tingkat kecerdasan pada bidang tertentu.
4. Setiap
kecerdasan mempunyai keadaan akhir berdasar nilai budaya; perilaku cerdas dapat
dilihat dari prestasi tertinggi dalam peradaban, bukan dinilai dari hasil tes
standar.
Dari pembahasan
tersebut dapat disimpulkan, bahwa jenis kecerdasan itu tidak tunggal tapi
beragam. Selain itu, kecerdasan cenderung berciri relatif. Artinya, makna atau
bergunanya sebuah kecerdasan tergantung pada paradigma kecerdasan masyarakat
tersebut. Misalnya, dalam suatu
masyarakat seseorang yang cerdas dalam musikal bisa saja dianggap “bodoh” oleh
masyarakat yang tidak menyukai musik. Selain itu perkembangan kecerdasan tidak
hanya ditentukan oleh gen atau oleh lingkungan saja, akan tetapi oleh
kedua-duanya. Dengan adanya paradigma baru kecerdasan ini maka semua posisi
kecerdasan peserta didik adalah sama. Semuanya adalah manusia cerdas, cerdas
dalam bidang masing-masing yang mereka kuasai.
Lebih
detail untuk menggambarkan telah adanya paradigma baru kecerdasan, maka perlu penulis
gambarkan tentang kecerdasan sebagai berikut:
Gambar 3.1: Identifikasi Paradigma Baru Kecerdasan
4.
Otak sebagai
Kunci Utama Kecerdasan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa otak merupakan organ terpenting
utama dan pertama bagi tatanan biologis suatu organisme. Baru setelah itu organ
jantung dan paru-paru menempati urutan berikutnya.
Alasannya, otak telah menjadi pengontrol kinerja seluruh organ-organ tubuh.
Baik organ yang bekerja secara tidak disadari seperti organ jantung, usus,
lambung, paru-paru, dll. Maupun organ yang bekerja dengan sadar yaitu tangan,
kaki, dan leher dll. Dengan demikian, manusia tanpa otak tidak memiliki arti
apa-apa, karena seluruh organ dan pancaindra tidak akan berfungsi, dan inilah
yang disebut dengan kematian (meninggal dunia).
Sebagai organ milik manusia, otak merupakan sesuatu yang
sangat luar biasa. –Hal ini tentu akan berbeda dengan otak hewan--.
Bahkan otak manusia jauh lebih kompkes (canggih) dari pada komputer manapun di
dunia ini. Pernyataan tersebut
sebagaimana menurut Zohar dan Marshall:
Otak bekerja dengan
sistem pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas beberapa modul
kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem
asosiatif yang terisolasi. Dua sistem ini berinteraksi dan saling menguatkan
sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi daripada
masing-masing kecerdasan tersebut jika berdiri sendiri. IQ dan EQ saling
mendukung (sinergis).
Bisa dikatakan bahwa keadaan otak memiliki peranan
yang sangat penting bagi perkembangan kecerdasan seseorang. Bahkan, sampai
sekarang pun rahasia dari kekuatan otak belum terpecahkan secara ilmiah.
Sebagaimana penjelasan Agus Efendi, tentang rahasia otak
beserta kecerdasaannya sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan,
bahkan dirasa masih sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di
dalam otak terbukti ada tiga jenis utama yaitu otak rasional, otak emosional,
dan otak spiritual. Selain itu ada beberapa teori tentang
perkembangan kecerdasan otak. Salah satunya faktor-faktor yang turut
mempengaruhi perkembangannya, yaitu:
1. Genetika,
terkait dengan bentuk (struktur) otak yang diturunkan dari gen orang tua
2. Makanan
sehat, perkembangan otak pada masa keemasan seorang anak bahkan di dalam
kandungan ditentukan suplai gizi.
3. Perawatan,
diperlukan latihan dan lingkungan yang mendukung untuk menemukan dan
mengembangkan berbagai kecerdasan yang mungkin dimiliki anak.
4. Lingkungan,
peran orang tua sangat vital (sebagai pendidik) dalam mendidik anak agar
perkembangan kecerdasannya terjadi secara benar, serta bagaimana lingkungan di sekitarnya
mendukung perkembangan tersebut.
5. Mental,
keadaan jiwa anak yang bahagia dengan yang murung dapat mempengaruhi
perkembangan kecerdasan anak.
Lebih
lanjut, otak memiliki peranan penting dalam perkembangan kecerdasan setiap
manusia. Otak merupakan organ yang menunjukkan “jati diri” seseorang. Oleh
karena itu, dalam pembelajaran PAI pendidik dituntut memahami dan mempedulikan
bagaimana peserta didik “bekerja” dengan otaknya. Pendidik mesti sadar bahwa
kesulitan dan kegagalan pembelajaran senantiasa dicari bagaimana cara kerja
otak masing-masing anak dalam memahami sesuatu. Dengan demikian, bila ditinjau
dari konteks globalisasi, maka pendidikan Islam sudah waktunya menerapkan
paradigma baru dalam pembelajaran yang didasarkan pada bagaimana cara otak
bekerja.
Akhirnya, dapat disimpulkan otak sangatlah luar biasa
kemampuan dan kekuatannya dalam melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan dari tinjauan biologis (bentuknya), otak dapat diwariskan secara
turun-temurun (foktor genetis). Namun, bila diadakan pelatihan secara terus-menerus
dan dengan cara yang tepat, maka “fungsi” otak dapat dioptimalkan sesuai dengan
keinginan manusia. Dengan kata lain, intervensi lingkungan juga memiliki peran
penting dalam perkembangan kecerdasan
manusia. Implikasi dari pernyataan tersebut, manusia bisa “menuhankan” otak,
bahwa otak adalah segala-galanya untuk kehidupan ini. Bila ditinjau dari segi
pendidikan Islam maka pernyataan tersebut tentu tidak sejalan dengan nilai-nilai
kemanusiaan
dan nilai Islam yang mengagungkan Allah SWT.
5.
Dasar Hukum Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis
Kecerdasan Beragam
Dalam Undang-undang 1945 Amandemen Pasal 28C ayat
1 mengamanatkan“Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.” Dari
pernyataan tersebut dalam konteks pembahasan pada Bab ini, yang menjadi titik
penting adalah pernyataan berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan pernyataan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Asumsinya, yang dimaksud kebutuhan dasar siswa tidak hanya pendidikan secara
umum. Melainkan, juga kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan (penghargaan) dan
juga pengembangan diri atas kecerdasan (kemampuan) yang sesuai dengan
bidangnya. Diharapkan, dengan mengembangkan bidang kecerdasan yang dikuasainya,
maka peserta didik tidak akan salah masuk ke dalam “tugas-tugas” kehidupan
secara mendalam yang tidak sesuai dengan bidang kecerdasannya.
Dasar hukum lainnya adalah Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal
1 nomer 1 bahwa yang dimaksud “pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Selain
itu, kata berkembangnya potensi peserta
didik juga terdapat pada tujuan pendidikan nasional di Pasal 3 Undang-undang
No. 20 Tahun 2003. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan pasal 5 ayat
4 telah menjelaskan “Warga negara
yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus.”
Dilanjutkan pada Pasal 12 ayat 1 poin b menyatakan
“setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:... b. mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.”
Serta pasal 36 ayat 3 poin c bahwa “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan:... c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik...” Kemudian diakhiri dengan pasal 45 ayat 1 menyatakan “Setiap
satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang
memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta
didik.”
Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara hukum pelaksanaan
pembelajaran pendidikan berbasis kecerdasan beragam secara tidak langsung sudah
diatur dalam undang-undang. Hal ini tentunya juga bisa menjadi dasar aturan
bagi semua mata pelajaran maupun lembagai pendidikan yang ingin berinovasi
melaksanakan pendidikan serta pembelajaran yang berbasis kecerdasan beragam.
Oleh karena itu, siapapun tidak dibolehkan memaksa peserta didik untuk menekuni
atau mendalami bidang kecerdasan tertentu yang tidak sesuai dengan bidang
kemampuannya. Walaupun pada kenyataan dan pelaksanaannya ada beberapa kendala
yang ditemui. Lebih detail mengenai hal ini akan penulis uraikan dalam
pembahasan berikutnya.
|
Frames of Mind The Theory of Multiple Intelligences (sumber gambar bangqohar) |