Perpisahan apapun bentuknya, tanpa kecuali barangkali termasuk cerai, merupakan hal biasa terjadi di dunia. Semua manusia pasti mengalami. Misalnya, pisah dengan barang dan hewan yang paling dicintai. Ada pula yang pisah dengan teman di masa lalunya.
Setelah pisah, jadinya mau apa? Yang jelas harus move on dulu alias terus melangkah tanpa terganggu oleh ingatan masa lalu. Jeda dulu boleh. Mau istirahat untuk katarsis atau sekadar menenangkan diri pun dipersilakan. Tak perlu buru-buru. Jangan pula menekan perasaan.
Nikmati saja proses penjernihan jiwa pasca pisah. Enggak perlu merasa bersalah karena tega melepaskan sepenuhnya. Tak usah ragu kembali senyum. Intinya, jangan merasa berdosa telah melupakan sesuatu yang lepas. Itu semua adalah hak bagi siapapun untuk mudah memulai hidup baru.
Sesudah batin mampu bebas dari gangguan trauma perpisahan, langkah selanjutnya carilah penggantinya. Jika kucing kesayangan mati ya tentu maka cari kucing pengganti. Jika barang kesayangan hilang atau rusak parah maka beli yang baru lagi. Begitu aja kok repot? Dunia tak sesempit cara pandang individu yang jadi budak kemelekatan.
Nah, untuk kasus sesudah perceraian tentu tak sesederhana seperti bentuk perpisahan lain. Apalagi cerai dengan pasangan yang toxic semisal punya gangguan kepribadian narsisistik. Enggak mudah berkata "Setelah cerai ya nikah lagi!" Dalam artian tak boleh buru-buru mengambil langkah.
Boleh saja punya niat "Setelah cerai aku mau menikah lagi, tetapi tanpa target kapan dan tak buru-buru memutuskan dengan siapa." Bagaimanapun, mau bertekat untuk menikah lagi meski belum punya persiapan maupun perencanaan teknis merupakan sebuah sikap individu yang menunjukkan punya kedaulatan batin.
Tekat di atas menjadi wujud awal seseorang telah melepaskan rasa sakit dari kehilangan. Entah kehilangan harga diri, kehilangan kesempatan untuk menjelaskan, ataupun kehilangan harta benda akibat berumah tangga dengan manusia rusak. Asalkan, tekat tersebut benar-benar berasal dari hati kecil. Bukan hanya di permukaan.
Dengan demikian, dilarang keras pasangan yang baru di pernikahan selanjutnya dijadikan alat pembuktian. Apalagi, dijadikan alat balas dendam terhadap pasangan sebelumnya. Tentu, tak boleh dijadikan pengisi kekosongan. Artinya, keputusan menikah lagi mesti dilandaskan pada kesiapan fisik dan nonfisik.
Menikahlah setelah cerai, lalu pastikan pasangan baru tersebut hidupnya jauh lebih bahagia dari pasangan sebelumnya. Bukan untuk pembuktian, tetapi untuk memvalidasi pada diri sendiri bahwa "Ternyata aku masih mampu hidup bahagia dengan cara membahagiakan pasangan tanpa ada drama."
Semoga segera menemukan calon pengantin.
 |
| Ilustrasi buah hati dari pernikahan kedua (sumber foto Pixabay.com) |
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Setelah Cerai Melakukan Apa? Pastinya Menikah Lagi"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*