DOMINASI BARAT DAN RESPON UMAT ISLAM
Oleh: Fahad Asadulloh
(facebook: fahad.asadulloh@yahoo.co.id)
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)
A. Pengantar
Hubungan Islam dengan Barat dalam sejarah panjangnya diwarnai dengan
fenomena kerjasama dan konflik. Kerjasama Islam dan Barat paling tidak ditandai
dengan proses modernisasi dunia Islam yang sedikit banyak telah merubah wajah
tradisional Islam menjadi lebih adaptatif terhadap modernitas. Akan tetapi
sejak abad ke-19, gema yang menonjol dalam relasi antara Islam dan Barat adalah
konflik. Ketimbang memunculkan kemitraan, relasi Islam dan Barat menggambarkan
dominasi-subordinasi.
Pasang surut hubungan Islam dan Barat adalah fenomena sejarah yang perlu
diletakkan dalam kerangka kajian kritis historis untuk mencari sebab-sebab
pasang surut hubungan itu dan secepatnya dicari solusi yang tepat untuk
membangun hubungan tanpa dominasi dan konflik di masa-masa mendatang. Barat
selama ini dicurigai sebagai pihak yang telah memaksakan agenda-agenda
“pembaratan” di dunia Islam dalam rangka mengukuhkan hegemoni globalnya. Dampak
yang ditimbulkan dari hegemoni global Barat adalah semakin terpinggirkannya
peran ekonomi, politik, sosial dan budaya Islam dalam panggung sejarah
peradaban dunia.
Tidak hanya itu, Islam semakin tersudut dengan berbagai cap yang
dilontarkan Barat terhadap Islam, mulai dari cap fundamentalis sampai teroris.
Tentunya berbagai cap itu terselubung kepentingan tingkat tinggi (high
interest) untuk membuat semakin terpojoknya Islam sehingga mudah untuk
dijinakkan –lagi-lagi – demi kepentingan globalnya.
Tulisan ini hendak mengkaji bagaimana konflik dan benturan yang terjadi
antara Barat dan Islam? Apa yang menyebabkan/melatarbelakangi begitu
bernafsunya Barat menghegemoni dunia Islam? bagaimana sebaiknya Islam merespon
hegemoni Barat? Dan bagaimana peranan intelektual Islam dalam merespon Barat?
Makalah ini berdasarkan pada penelitian kepustakaan yang bersifat
deskriptif dan analisis kritis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
historis, yaitu usaha menyingkap, menggali dan menelaah serta menganalisis
persoalan yang menjadi objek kajian dari kacamata sejarah. Disamping itu juga
dipakai pedekatan sosiologis, terutama untuk menganalisa peradaban Islam yang
dipengaruhi oleh penjajahan Barat.
Adapun sumber rujukan dalam
penulisan makalah ini adalah Oksidentalisme terjemahan Hassan Hanafi,
Hegemoni Kisten Barat karya Adian Husaini, Islam dan Tantangan Dalam Menghadapi Pemikiran Barat karya Mahmud Hamdi Zaqzuq, Pembaharuan
Dalam Islam karya Harun Nasution, Demonologi Islam (Upaya Barat
Membasmi Kekuatan Islam) karya Asep Syamsul, Sejarah Peradaban Islam
karya Badri Yatim, dan beberapa buku referensi lainnya yang berkaitan dengan
dominasi barat dan respon umat Islam.
Sistematika pembahasan dalam penulisan ini baik bahan, alat dan objek
kajian akan mudah ditemukan setelah diurutkan dan ditata sesuai dengan kaidah
penulisan ilmiah. Sistematika
pembahasan merupakan rangkaian pembahasan yang termuat dan tercakup dalam isi
penulisan, antara satu bagian dengan bagian yang lain
saling berkaitan sebagai suatu kesatuan yang utuh. Agar penulisan dapat
dilakukan dengan runtut dan terarah, maka penulisan ini dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
Bagian pertama: pengantar yang berisi tentang identifikasi permasalahan
pendekatan dan sistematika yang dipakai, serta sumber rujukan yang dijadikan
referensi. Bagian kedua pemaparan materi yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk
penjajahan barat atas Islam, latar belakang penjajahan Barat terhadap dunia
Islam, respon muslim terhadap barat, dan peranan intelektual Islam dalam
merespon pengaruh barat. Bagian ketiga berisi tentang implikasi penjajahan
Barat terhadap perkembangan peradaban Islam.Bagian keempat merupakan kesimpulan
sebagai akhir dari penulisan makalah ini.
B.
Pemaparan Materi
1.
Bentuk-Bentuk Penjajahan Barat Terhadap Dunia
Islam (Termasuk Indonesia)
Negara-negara Barat seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Rusia dan
lain-lain memang mempunyai tehnologi militer dan industri perang yang lebih
canggih dibandingkan dengan negara Islam, sehingga mereka tidak segan-segan
untuk menyerang dan mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan
Islam.
Dari awal penjajahan Barat yaitu perang salib umat Islam telah kehilangan
berbagai daerah yang semula telah dikuasai Islam, yang kemudian jatuh ke tangan
orang Kristen, yang sukar untuk dikembalikan kembali. Jadi pada perang salib
ini telah terjadi penaklukan dan penyerangan yang dilakukan oleh negara Barat
untuk merebut wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Tidak terhingga kerugian yang
diakibatkan oleh penjajahan tersebut, baik kerugian hasil budaya dan peradaban
manusia maupun kerugian material maupun korban jiwa.
Penaklukan yang dilakukan oleh negara-negara Barat antara lain adalah:
1820 Oman dan Qatar berada di bawah protektorat Inggris
1830-1857
Penaklukan Aljazair oleh Perancis 1839
1881-1883
Tunisia diserbu Perancis
1882 Mesir
diduduki Inggris
1898 Sudan
ditaklukkan Inggris
1900 Chad
diserbu Perancis
Pada abad ke20 M
Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan
wilayah-wilayah di Afrika.
1960 Kesultanan
muslim di Nigeria utara menjadi protektorat Inggris
1912-1913
Kesultanan Tripoli dan Cyrenaica diserbu Italia
1912 Marokko
diserbu Perancis dan Spanyol
1914 Kuwait di
bawah protektorat Inggris
1919-1921
Sisilia wilayah Turki diduduki Perancis
1920 Irak
menjadi protektorat Inggris
1920 Syria dan
Libanon di bawah mandat Perancis
1926-1927
Perebutan seluruh Somalia oleh Italia
Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah,
terutama setelah ia berhasil mengalahkan Turki Usmani yang berakhir dengan
Perjanjian San Stefano dan Perjanjian Berlin. Satu per satu pula negeri-negeri
muslim jatuh ke tangan Rusia, seperti tergambar dalam daftar berikut:
1834-1859 Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia
1853-1865
Serbuan pertama Rusia di Khoakand dan jatuhnya Tashkent
1866-1872 Daerah-daerah sekitar Samarkand dan Bukhara ditaklukkan Rusia
1941-1946 Pendudukan Anglo Rusia di Iran.
Selain berupa penaklukan dan penyerangan negara-negara Barat juga banyak
melakukan penindasan, penghisapan dan perbudakan, yang sangat bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penindasan dilakukan kepada wilayah-wilayah
yang telah dikuasainya untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar.
Penghisapan terutama pada hasil bumi dan kekayaan alam negara yang dijajahnya
serta perbudakan banyak dialami oleh orang-orang Islam yang wilayahnya telah
jatuh ke tangan negara-negara Barat.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang, yang merupakan
daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang perebutan
negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal memancapkan kekuasaannya
karena kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga mudah dapat
ditaklukkan.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan dagang, yang
kemudian disusul oleh Belanda, Inggris, Demark dan Perancis. Belanda datang
tahun 1595 M dan dengan segera memonopoli perdagangan di Indonesia. Tentu
kehadirannya ditantang oleh penduduk setempat. Oleh karena itu seringkali
terjadi peperangan antara Belanda dengan penduduk, walaupun akhirnya peperangan
dimenangkan oleh Belanda, yang terbesar diantaranya adalah perang Aceh, perang
Paderi di Minangkabau dan perang Diponegoro di Jawa.
Penjajahan Barat di Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh faktor-faktor
ekonomi, karena Indonesia adalah negara yang kaya akan hasil bumi berupa
rempah-rempah yang mempunyai nilai jual tinggi di pasaran Eropa. Selain itu
juga dilatarbelakangi oleh faktor misionaris, atau penyebaran agama, hal ini
dapat dilihat sampai sekarang daerah-daerah tempat pertama kali negara-negara
Barat datang ke Indonesia berpenduduk mayoritas Kristen
2.
Sumber permusuhan Islam dan Barat
Apa yang menjadi sumber permusuhan barat terhadap Islam dewasa ini
sehingga mereka mengerahkan segala upaya dan tipu daya untuk menghancurkan Islam
dan kaum muslim. Pada garis besarnya ada dua sebab:
a.
Dendam historis
Selama berabad-abad barat takluk di bawah hegemoni khilafah Islam.
Kebencian kaum Kristen barat pernah meledak dalam bentuk pengobaran api perang
terhadap umat Islam, yaitu dengan terjadinya perang salib (1096-1291M) yang
brtujuan utam penghancuran islam. Akan tetapi melalui peperangan tersebut umat
Islam gagal dilumpuhkan, bahkan kemenangan lebih banyak diraih oleh pasukan
Islam. Trauma perang tesebut berdampak pada tertanamnya rasa antipati dan
saling curiga di kedua belah pihak.
Perang salib membentuk fondasi pertama dan esensi untuk menerapkan sikap
Eropa (barat) terhadap Islam. Dendam perang salib tersebut belum padam .
kebencian dan permusuhan barat terhadap Islam itu muncul lagi ke permukaan
setalah Perang Dingin berakhir.
b.
Kesalahpahaman Masyarakat Barat
Masyarakat barat umumnya melakukan kesalahan dalam memahami Islam. Hal
itu terjadi karena masyarakat Barat umumnya memepelajari dan memahami Islam
dari buku-buku para orientalis, sedangkan para orientalis mengkaji Islam dengan
tujuan utnuk menimbulkan miskonsepsi terhadap Islam, selain adanya motif
politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan Islam yang tidak lepasa dari
ambisi imperialis Barat untuk mengetahui dunia Islam. Umumnya ketika berbicara
mengenai Islam pandangan dan analisis
para orientalis tidak objektif dan tidak fair sudah bercampur
dengan subjektivisme dan kepentingan tertentu. Karenanya pandangan mereka biased
dan berat sebelah. Hasilnya adalah kesalahpahaman terhadap Islam di dunia
Barat. Citra Islam yang tampak di dunia Barat adalah kekejaman, kekerasan,
fanatisme, kebencian, dan keterbelakangan.
Hal itu diperparah dengan sajian media massa mereka yang menampilkan
Islam tidak secara utuh. Bahkan Islam yang mereka kenalkan bukan Islam
kebanyakan (Sunni), melainkan Islam Syi’ah (Iran) yang hanya dianut oleh 10%
kaum Muslim dunia.
Kekeliruan Barat dalam memahami Islam yang lain adalah menyamakan Islam
dengan perilaku individu umat Islam yang melakukan kekerasan, cap “teroris” pun
dilekatkan pada Islam tanpa mau tahu mengapa aksi kekerasan itu terjadi. Karenanya,
populerlah istilah “Terorisme Islam”.
Kesalahpahaman tersebut diperparah lagi dengan gencarnya serangan
propaganda Barat melalui berbagai media massanya untuk memojokkan agama dan
umat Islam (demonologi Islam). Dalam pengemasan berita tentang umat Islam kerap
mengekspos cap-cap seperti “fundamentalisme”, “militanisme”, “ekstremisme”,
“radikalisme” dan bahkan “terorisme” yang arahnya jelas: untuk mendiskreditkan
Islam.
Fobi Islam (Islamophobia, ketakutan terhadap Islam) adalah produk utama
propaganda media massa Barat (demonoloogi Islam). Parahnya lagi fobi tersebut
tidak hanya melanda masyarakat Barat, tetapi juga sebagian besar umat Islam.
Mereka merasa ngeri bila hukum Islam diberlakukan karena frame yang ada
dikepala mereka adalah hukum rajam bagi pezina , hukum cambuk bagi pemabuk,
hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum mati bagi pembunuh. Isu-isu hukum
Islam yang menjadi bahan propaganda Barat untuk menjauhkan umat Islam dari
ajaran agamanya dan menumbuhkan fobi Islam.
Revolusi Islam Iran (1979) umumnya dijadikan referensi: jika kekuatan
Islam naik ke puncak kekuasaan di suatu Negara, pemerintahan Negara itu akan
menerapkan syari’at Islam dan anti-Barat, khususnya anti-Amerika. Adapun
kepentingan Barat di dunia Islam sangat vital. Dunia Islam bagi barat yang
terbentang dari Maroko sampai Merauke letak geografisnya sangat strategis bagi
kepentingan politik dan militer. Kekayaan alamnya, khususnya minyaknya,
merupakan kebutuhan vital bagi industri-industri barat. Bisa dikatakan bahwa
roda-roda perekonomian Negara-negara barat sangat bergantung pada minyak yang
ada di sebagian Negara-negara Islam. Timur tengah sebagai tempat kelahiran dan
“pusat Islam” merupakan pemasok terbesar kebutuhan minyak dunia. Itulah salah
satu alasan mengapa barat merasa “wajib” menaklukkan dunia Islam.
3.
Respon Muslim Terhadap Barat (Dialog atau
Melawan Hegemoni)
Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik, realitas dunia yang
penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat, dimana
negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik yang
dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar
antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu
lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan
sebagai
the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok
yang didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa
kalangan, dialog atau melawan hegemoni.
Dialog adalah model penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung
resiko. Dialog ini mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan
non-Barat –Islam-) berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti
satu sama lain. Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam
segala bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai
membangun relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan
bermakna bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.
Orang yang mengidealkan cara dialog untuk menyelesaikan konflik peradaban
atau kepentingan mungkin lupa bahwa syahwat hegemoni Barat adalah sesuatu yang
sudah laten dalam tradisi relasi Barat – non-Barat. Keinginan untuk mengajak
Barat bersikap lebih adil adalah utopia di tengah nafsu serakah Barat yang
ingin menguasai dunia.
Setelah cara dialog adalah model utopis, maka jalan lain yang tidak boleh
dihindari oleh negara-negara non-Barat (berkembang atau Muslim) adalah melawan
hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Cara melawan hegemoni yang
paling fundamental adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang
dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat. Sikap yang terlalu adaptatif –
umat Islam Islam – terhadap yang datang dari Barat hanya akan semakin mengukuhkan
hegemoni Barat di dunia Muslim. Umat Islam yang secara sukarela belajar
demokrasi, lalu mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan menerapkan dalam
kehidupan politik adalah salah satu bentuk menerima untuk dijajah. Belum lagi
ketika belajar dan menerima peradaban, modernitas, dan
civil society
hampir tanpa
reserve. Padahal nenurut James Petras dan Henry Veltmeyer
(2002 : 217), wacana tentang itu semua sesungguhnya dipakai untuk melegitimasi
perbudakan, genocide, kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi terhadap
manusia.
Sudah saatnya kaum Muslim di negara-negara berkembang bersikap kritis
untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat. Termasuk wacana globalisasi
yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang niscaya, harus dikritisi karena
tersembunyi sebuah ideologi (hidden ideology) yakni neo-liberalisme
yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat luar biasa.
Memang patut untuk disayangkan sikap beberapa kuam Muslim yang mengaku
berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka telah menjadi terbaratkan. Misalnya
saat mereka ramai-ramai menolak penerapan syari’at Islam di Indonesia, yang
mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan adalah syari’at liberal yang jauh
lebih menghancurkan bangsa ini. Karena syariat liberal pada dasarnya adalah
pembuka dan sekaligus legitimasi rasional atas berbagai bentuk mutakhir
penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk Indonesia.
4.
Peranan Tokoh Intelektual Islam Dalam Merespon
Pengaruh Barat
a.
Jamaluddin
al-Afghani dan Para Pembaharu Arab
Salah satu tanggapan terpenting
di dunia Islam diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di Turki
, Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia
mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya
kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk
mendirikan sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern
di Turki menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari
negeri itu.
Bagi Afghani, ilmu pengetahuan
Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena
memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga
menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan
tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak
bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan
hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara
tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa
Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid.
Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi
juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek.
Gagasan al-Afghani amat
berpengaruh, khususnya di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah
pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat
terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang mendapat
pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang
menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern, secara umum.
Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal
Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak
sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.
Seperti
Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern
dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur’an
itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat
dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali
Islam agar memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model
Barat untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan
menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi
bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu
pengetahuan dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu
pengetahuan maupun ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu
pengetahuan modern sendiri adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan
penggunaannya.
Selain kedua figur itu, ada
Thaha Husayn (1889-1971), seorang sejarawan dan filosof, yang amat mendukung
gagasan yang mulai dilancarkan oleh Muhammad Ali di awal abad. Husayn adalah
pembela gigih modernisme dan saintisme. Adopsi terhadap ilmu pengetahuan modern
bukan saja penting demi nilai praktisnya, tetapi juga sebagai perwujudan
kebudayaan. Inilah pandangan sekularis sejati yang meminggirkan peran agama,
dan mengunggulkan positivisme ilmu pengetahuan. Meskipun kontroversial, gagasan
ini mendapat dukungan yang kuat di dunia Arab, khususnya di kalangan
intelektual Kristen.
Untuk
menunjukkan hal ini, perlu disebut di sini satu fenomena penting di dunia Arab
pada awal abad ini, yaitu perdebatan yang amat marak tentang Darwinisme. Debat
itu dipicu oleh tulisan Syibli Syumayyil (1853-1917), seorang Kristen dari
Suriah yang hidup dalam pengasingan di Mesir, yang membela Darwinisme. Tulisan
ini disambut para ulama dengan pernyataan bahwa menerima teori Darwin sama
dengan menolak Tuhan dan pandangan al-Qur’an tentang penciptaan. Beberapa
pemikir lain – Muslim maupun Kristen – tampil membela Syumayyil.
Debat
historis ini dibukukan oleh Adel A. Ziadat dalam Western Science in The Arab
World: The Impact of Darwinism, 1860-1930 (Ilmu Pengetahuan Barat di Dunia
Arab: Dampak Darwinisme, 1860-1930), diterbitkan tahun 1986. Kesimpulan Ziadat,
bahwa agama para penulis dalam debat itu tak terlalu penting. Debat itu
terutama mempolarisasikan pemikir “religius” dengan “sekularis” secara
hitam-putih. Dalam rangka itu, Thaha H., misalnya, sering dituduh keluar dari
Islam. Untuk selanjutnya, perdebatan di sekitar teori Darwin dan Darwinisme
kerap muncul di banyak negara Muslim hingga beberapa dasawarsa terakhir.
Kebanyakan
pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius” atau “sekularis” seekstrem itu.
Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan
ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti
Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin,
menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti
pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan
teknologinya, maka Islam tak menolaknya.
Pandangan Qardhawi ini cukup
mewakili pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka
untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat
praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga
kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang
mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak
cukup memuaskan mereka.
b.
India:
Sir Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal
Sir
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) adalah pemikir yang paling menonjol yang
menyerukan “saintifikasi” masyarakat Muslim. Seperti halnya dengan al-Afghani,
ia menyerukan Muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Tetapi lebih jauh
dari al-Afghani ia melihat adanya “kekuatan yang membebaskan” dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Di antara “kekuatan pembebas” itu adalah
penjelasan peristiwa dengan sebab-sebab terdekatnya, yang bersifat
fisik-materiil. Di Barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari takhayul
dan cengkeraman kekuasaan Gereja. Kini, dengan semangat yang sama, Ahmad Khan
merasa wajib “membebaskan” Muslim dengan melenyapkan unsur supranatural – yang
“tak ilmiah” – dari al-Qur’an. Ia amat serius dengan upayanya ini, hingga
menciptakan sendiri metode penafsiran al-Qur’an baru. Hasilnya adalah “teologi
baru” yang memiliki karakter “ilmiah”.
Generasi
setelah Sir Sayyid, di awal abad ke-20, adalah Mohammad Iqbal (1877-1938),
salah seorang Muslim pertama di anak benua India yang sempat mengkaji pemikiran
Barat modern dan mempunyai akses yang mendalam pada tradisi intelektual Islam.
Kedua hal inilah yang muncul dari karya utamanya, The Reconstruction of
Religious Thought in Islam (Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam
Islam) diterbitkan tahun 1930. Dengan penggunaan istilah reconstruction
(pembangunan kembali) tujuan utama Iqbal telah tergambar. Reconstruction
berarti mengungkapkan kembali pemikiran keagamaan Islam dalam bahasa modern,
untuk konsumsi generasi baru Muslim yang telah berkenalan dengan perkembangan
mutakhir ilmu pengetahuan dan filsafat Barat abad ke-20. “Bahasa modern” pun
berarti bahasa konseptual yang terbentuk akibat perkembangan tersebut.
Kepeduliannya
sama dengan pendahulunya, Sir Sayyid, karena keduanya menghadapi masalah yang
sama. Tetapi sementara Sir Sayyid mengupayakan pemecahan apologetis – dengan
menunjukkan kesesuaian ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan dan filsafat
modern, hingga ke tingkat perumusan ulang teologi Islam – Iqbal bergerak lebih
jauh. Ia menerima ilmu pengetahuan modern lebih dari sekadar sebagai alat,
tanpa merasa harus menerima nilai-nilai Barat.
Ia
menunjukkan bahwa kesesuaian agama, khususnya Islam, dengan ilmu pengetahuan
tak hanya ada pada permukaan dan tak pula hanya menyangkut penemuan mutakhir
ilmu pengetahuan. Aaktivitas ilmuwan adalah sebentuk ibadah. Karena itulah
sampai tingkat tertentu, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan
agama, yakni pencapaian Kenyataan Sejati. Baginya ruh Islam yang anti-klasik –
yang menekankan pada hal-hal yang kongkrit, seperti yang tampak dalam revolusi
intelektual melawan tradisi abstrak Yunani di masa awal perkembangan filsafat
Islam – adalah serupa dengan ruh yang melahirkan ilmu pengetahuan modern.
Namun, meskipun bertujuan sama, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan
struktur sesuatu, dan tak mampu berbicara tentang hakikat akhir dari segala
sesuatu yang memiliki struktur itu.
Untuk
itu, teori ilmu pengetahuan perlu ditafsirkan untuk membantu menjelaskan gagasan
filosofis yang berbicara tentang Kenyataan Sejati. Sementara ilmu pengetahuan
sendiri, dalam anggapan Iqbal, yang bertentangan dengan kecenderungan banyak
ilmuwan modern, tak dapat menciptakan teori yang selengkapnya menggambarkan
realitas. Ini karena ilmu pengetahuan adalah “kumpulan pandangan yang
sepotong-sepotong tentang realitas.”
Tak
berhenti di sini, Iqbal menunjukkan penguasaannya atas teori-teori fisika
mutakhir masa itu dengan menunjukkan bagaimana pandangan ilmuwan seperti
Einstein dan Heisenberg mesti ditafsirkan untuk mendapat gambaran utuh tentang
realitas. Tujuan akhirnya, membangun suatu teologi rasional yang memanfaatkan
temuan ilmu pengetahuan tentang realitas alam.
Iqbal
tidak menganggap ilmu pengetahuan (modern) sebagai sesuatu yang asing bagi
Islam. Seringkali ia menyebutnya sebagai “ilmu manusia”. Artinya, ilmu
pengetahuan adalah universal dan milik umat manusia. Semua masyarakat memiliki
sumbangannya masing-masing. Dalam pencarian kebenaran, setiap orang memiliki
tujuan yang sama, dan menghadapi masalah yang sama. Dalam kasus peradaban
Barat, Eropa telah belajar dari Islam banyak hal yang membantunya menjadi
“peradaban modern”. Maka kini bukanlah aib jika Muslim belajar dari Eropa.
Sebelumnya, Muslim juga belajar dari peradaban Yunani , Persia , dan India .
Bahwa pada akhirnya arah sejarah intelektual Muslim berbeda dengan mereka
membuktikan bahwa sikap kritis masih dapat dipertahankan. Hal yang sama
seharusnya terjadi saat ini.
Meski
beberapa pandangannya dapat dianggap sebagai dasar bagi suatu epistemologi
Islam kontemporer, namun dengan itu ia tak berniat menciptakan suatu “ilmu
pengetahuan Islam”, yang menjadi kecenderungan beberapa dasawarsa sesudahnya.
C.
Implikasi Penjajahan Barat Terhadap Perkembangan
Peradaban Islam.
Serbuan kaum salib ke negeri-negeri Islam tidak
hanya menggunakan pedang, besi dan api, tetapi juga melalui peradaban mereka
yang dicekokkan ke semua negeri yang dapat dikuasainya. Bukan hanya peradaban
material yang menyerbu negara-negara Islam, bahkan mental dan nilai-nilai
moralpun tidak ketinggalan, seperti sistem pendidikan dan pengajaran, dan
pemikiran-pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu sosial, modal dan
lain-lain.
Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran bagi kaum muslimin akibat
kemauan penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan untuk menguasai dan
memperkuat wilayahnya mereka memikul salib di pundak mereka, tetapi setan
berada di hati mereka.
Dahulu kaum muslimin menghayati peradaban
ditambah dengan peradaban Persia, Turki dan lain-lain disamping pemikiran
filsafat yang diserap dari Yunani dan Romawi. Dengan datangnya peradaban Barat,
maka peradaban lama yang telah mereka hayati selama berabad-abad mengalami
keguncangan hebat dalam pikiran mereka. Inti peradaban Barat bercorak Nasrani, karena
itu orang-orang Qibth di Mesir lebih mudah meniru dan menyerapnya. Namun mereka
lebih banyak menyerap segi material daripada segi moralnya, sehingga setiap
rumah dari keluarga kaum muslimin telah menggunakan penerangan listrik,
menggunakan sajadah buatan Eropa, mendengarkan siara radio Eropa dan lain
sebagainya.
Pada saat barat mendominasi dunia di bidang
politik dan peradaban, persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam
akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka berusaha bangkit dengan mencontoh
Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance
of power. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani, karena
kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu
memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Penjajahan Barat juga memicu gerakan pembaharuan
dalam Islam, yang didorong oleh 2 faktor yaitu pemurnian ajaran Islam dari
unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan menimba
gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat, sedangkan yang
kedua, tercermin dari pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani
dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan
dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam.
Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak menuntut ilmu ke Inggris.
Pengaruh Barat terutama terlihat pada lapisan atas dan menengah, terutama pada
intelegensia orang yang memperoleh pendidikan Barat, yang dijumpai pada tiap
negeri Timur. Dalam reaksinya terhadap pengaruh Barat mereka mempunyai
pandangan yang berbeda-beda. Pandangan pertama berpegang pada sendi-sendi
filsafat hidup nenek moyangnya, berusaha melakukan asimilasi dengan ide-ide
Barat dan memikirkan sintesa yang lebih tinggi dari semangat Barat. Kedua,
memutuskan hubungan dengan warisan lama, menerjunkan dirinya dalam pembaratan.
Yang ketiga bersembunyi di belakang kekecewaan dan kengerian Barat.
Memang benar bahwa peradaban Barat memainkan peranan
besar dalam memajukan dunia Islam. Tanpa peradaban Barat dunia Islam tentu
masih seperti keadaan semula, tetapi itu tidak berarti bahwa peradaban Barat
tidak mengandung cacat dan kekurangan. Peradaban Barat telah menjauhkan dunia
Islam dari peradaban Islam yang lama. Akhirnya peradaban Islam bukan lagi suatu
produk dari kaum muslimin mandiri sebagaimana peradaban Barat adalah produk
dari orang-orang Barat sendiri.
D. Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan penting terkait dengan dominasi barat dan respon umat Islam yang
membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat konflik. Pertama,
basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan ekonomi dan politik
(kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa sumber permusuhan Barat
terhadap Islam pada garis besarnya ada dua sebab, yaitu dendam historis dan
kesalahpahaman masyarakat barat terhadap Islam. Ketiga, Cara untuk
melawan hegemoni Barat adalah dengan dua cara yang ditawarkan beberapa
kalangan, dialog atau melawan hegemoni dengan bersikap kritis terhadap Barat,
termasuk dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan
yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini, Hegemoni
Kisten Barat, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Asep Syamsul, Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi
Kekuatan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Hassan Hanafi, Oksidentalisme,
Sikap Kita Terhadap Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Huntington, Samuel. Benturan
Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia , terj. M. Sadat Ismail.
Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002.
John Cooper,Pemikiran
Islam Dari Sayyid Ahmad Khan
Hingga Nasir Hamid Abu Zayd, Jakarta: Gema Insani, 2002.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "DOMINASI BARAT DAN RESPON UMAT ISLAM"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*