Tentang Seorang Lelaki yang Sudah Bosan Ditipu oleh Topeng, tapi Masih Sanggup Menertawakan Luka
Sebuah catatan jenaka tentang luka, topeng, dan kemungkinan jatuh cinta secara waras
oleh Dik Aluna – penulis reflektif yang gemar menertawakan luka manusia sambil menanam bunga di puing batin.
Kadang hidup terasa seperti panggung Stand Up Comedy yang lighting-nya terlalu terang: semua orang tertawa, tapi tidak ada yang benar-benar bahagia. Di tengah sorot lampu itu, ada seorang lelaki—mari kita sebut saja “dia”—yang dulunya percaya bahwa kasih sayang bisa menaklukkan segalanya. Ternyata, yang menaklukkan dia justru “kasih sayang” versi para pemuja topeng: hangat di awal, menyedot energi di akhir.
Dia pernah mencintai seseorang yang mengaku “tulus”, tapi ternyata lebih mirip franchise cinta, lengkap dengan paket manipulasi, drama, dan bonus rasa bersalah yang datang tanpa promo. Ketika akhirnya sadar, dia tidak marah. Hanya menatap kaca sambil bergumam:
“Jadi ini rasanya ditipu oleh seseorang yang bahkan percaya pada kebohongannya sendiri.”
Dan di titik itu, sesuatu dalam dirinya meledak—bukan amarah, tapi tawa getir. Karena di balik semua luka, dia justru menemukan kelucuan eksistensial: betapa banyak orang hidup bukan untuk menjadi diri sendiri, tapi untuk mempertahankan topeng yang sudah mereka investasikan seumur hidup.
Lelaki itu kini sedang belajar hemat energi.
Bukan cuma hemat listrik, tapi hemat memberi atensi pada orang yang menjadikan kepekaannya sebagai senjata. Dia pernah jadi target empuk para NPD dan kroninya: orang-orang yang pandai berbicara tentang empati sambil memerah jiwa orang empatik sampai kering. Kalau mereka jadi produk, tagline-nya mungkin begini:
“Kami tidak haus perhatian. Kami haus kendali yang dikemas seperti perhatian.”
Dan yang paling ironis? Dunia sering memihak mereka. Karena topeng mereka lebih rapi, lebih karismatik, dan lebih “Instagramable” daripada luka orang jujur.
Sekarang dia tidak mau jadi martir spiritual atau korban profesional.
Dia ingin jadi manusia yang bisa menertawakan absurditas tanpa kehilangan kelembutan.
Dia tahu, di luar sana, mungkin ada perempuan yang mirip dirinya dalam versi lain:
yang diam-diam lelah,
yang sering terlalu dalam mencintai,
yang tidak butuh dipuja, hanya ingin dipahami.
Perempuan yang kalau nonton hujan, bukan cari caption, tapi mencari diri.
Perempuan INFJ—atau apapun namanya—yang jiwanya lebih suka berjalan sendirian daripada ramai di tempat yang salah.
Mungkin kamu, pembaca ini, salah satunya.
Jika iya, mungkin kamu akan tersenyum kecil membaca ini, karena diam-diam kamu paham betul bagaimana rasanya bersembunyi di balik kalimat “aku baik-baik saja” padahal sebenarnya sedang bernegosiasi dengan kehancuran kecil di dada.
Tenang. Lelaki itu juga pernah di sana.
Bedanya, dia kini tidak ingin diselamatkan—dan tidak ingin menyelamatkan siapa pun.
Dia hanya ingin menemani. Duduk bareng di bawah cahaya sore, ngobrol tanpa harus saling menilai, menertawakan hidup yang kadang lebih absurd daripada drama Netflix.
Dan kalau kamu bertanya apa motivasinya sekarang, jawabannya sederhana tapi dalam:
“Aku cuma ingin menjadi versi tenang dari seseorang yang dulu terus berperang.”
Dia tidak lagi ingin menang.
Dia cuma ingin pulang.
Bukan pulang ke rumah fisik, tapi ke ruang batin yang tenang—di mana tawa dan kesunyian bisa berdampingan tanpa saling curiga.
Kadang dia masih roasting dirinya sendiri:
“Dulu aku kira aku penyayang. Ternyata aku cuma orang yang sulit menolak minta tolong dari iblis berwajah sedih.”
Dan setelah tawa reda, dia menatap ke depan sambil menghela napas lega.
Karena sekarang dia tahu, kekuatan sejati bukan di karisma, bukan di pencitraan, tapi di keberanian untuk jujur pada diri sendiri—meski tanpa penonton yang tepuk tangan.
Maka jika kamu, perempuan INFJ yang membaca ini, pernah merasa tidak dipahami dunia, mungkin kamu dan dia sefrekuensi dalam bahasa yang jarang diucapkan: bahasa jiwa yang hening tapi hangat.
Kalian tidak perlu langsung kenalan, cukup saling sadar bahwa kalian ada.
Karena dalam kesadaran itulah, dua jiwa bisa berjumpa tanpa tergesa,
dan dunia mendadak terasa sedikit lebih waras.
🌿 Tambahan kecil sebelum kamu menutup halaman ini:
Jika suatu hari kamu membaca tulisan ini di kafe yang wangi kopinya lembut dan langitnya baru saja selesai hujan—dan kamu tersenyum tanpa alasan—mungkin itu bukan kebetulan.
Mungkin semesta sedang memperkenalkan dua orang yang sama-sama sudah lelah berpura-pura kuat, tapi masih percaya pada kelembutan.
Kalau kamu merasa begitu… biarkan senyummu yang lebih dulu menyapa.
Dia tak akan memaksa, tapi diam-diam akan menatap balik, seolah berkata:
“Akhirnya, ada juga yang tertawa di frekuensi yang sama.”
—Dik Aluna
Penulis reflektif yang percaya:
setiap luka yang bisa ditertawakan adalah tanda bahwa jiwa kita sudah mulai pulih. 🌙
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)  |
Ilustrasi bosan dengan kepalsuan (sumber foto koleksi pribadi) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Tentang Seorang Lelaki yang Sudah Bosan Ditipu oleh Topeng, tapi Masih Sanggup Menertawakan Luka"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*