Memahami Arti Jokam dan Mbah Man, Menjadi Kode Komunikasi Antar Anggota Organisasi Keagamaan Indonesia
Coba deh diingat-ingat lagi. Barangkali pernah membaca tulisan yang susunan hurufnya bertulis Jokam atau Mbah Man. Di sosial media, stiker, spanduk, dan semacamnya pernahkah kalian temui obrolan dengan menggunakan istilah Jokam atau kadang Mbah Man? Bila kalian tetap tidak ingat atau merasa tak pernah baca mari simak tulisan ini.
Sebelum kami jelaskan arti Jokam dan Mbah Man, perlu untuk dijelaskan bahwa itu jadi kode komunikasi bagi antar sesama anggota Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Yups, dua sandi itu menjadi bahasa simbolik yang menjadi identitas. Keduanya juga biasanya menjadi password bagi sesama anggota yang belum kenal sebelumnya untuk membuka komunikasi tingkat lanjut.
![]() |
Banned atau dilarang (sumber gambar) |
Komunitas yang bernaung dalam LDII sadar dengan keadaan yang penuh kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang menerima dengan diam-diam tanpa berani gembar-gembor. Pun, ada masyarakat yang menolak. Oleh sebab itu, diperlukan bahasa atau istilah khusus yang bisa jadi pembeda antara kalangan mereka dengan yang lain. Dengan begitu kerahasiaannya akan terjaga.
Arti Jokam
Jokam merupakan singkatan dari "Jamaah". Jangan gusar dulu. Singkatan itu merupakan bahasa gaul orang Jakarta pada tahun 1970-an yang biasa disebut bahasa prokem. Jadi, ciri utama bahasa itu adalah selalu menyisipkan kata OK dalam penggalan kata yang ingin dirubah. Misal kata Bapak akan dirubah menjadi bOKap. Begitu pula Jamaah akan dirubah menjadi jOKam.
Arti Mbah Man
Mbah Man bukanlah sebuah istilah yang dirangkai khusus untuk memiliki arti. Sebab Mbah Man adalah sebutan untuk orang sepuh di zaman dulu yang mengabdikan hidupnya sepenuh hati untuk Pondok Pesantren LDII. Alhamrhum merupakan sosok yang dirindukan dan begitu populer di kalangan Jamaah LDII. Hingga pada akhirnya istilah "Mbah Man" menjadi identitas sekaligus konsesus internal LDII.
Mbah Man bernama asli Sukiman lahir di Magetan pada tahun 1925. Sejak muda Sukiman kehilangan kedua kakinya hingga lutut akibat ranjau darat. Singkat cerita tepat pada tahun 1961 setelah pensiun dalam dunia militer Sukiman memilih untuk mengabdikan diri mengurus dapur Pondok Pesantren LDII di Burengan Kota Kediri. Saat ini di sana ada tempat khusus yang disebut "dapur Mbah Man".
Dapur adalah komponen vital dalam asrama bagi para santri. Tanpa ada dapur maka suasana pondok akan begitu berbeda. Terlebih bila yang melayani urusan dapur tersebut adalah orang yang ikhlas maka rasa makanan akan semakin nikmat. Bagaimana tidak, meski Mbah Sukiman memiliki kecacatan kaki tetap begitu gigih memasak tepat waktu. Untuk menjalankan tugas itu ia ditemani oleh 3 orang lain yang begitu setia melayani ribuan santri dan puluhan tamu Pondok.
Pada tahun 1988 warga pondok pesantren Burengan menitihkan air mata sambil mengantar jenazah Mbah Man ke tiang lahat. Meski meninggal, semangat "Mbah Man" tetap mengelora di kalangan jamaah. Lambat laun, Mbah Man menjadi istilah yang digunakan sebagai pengikat persaudaraan sesama jamaah LDII. Baik yang belum pernah dikenal maupun sudah dikenal. Di mana pun itu hingga di seluruh dunia.
Komentar
Posting Komentar
Silakan kunjungi website Banjirembun.com lagi di lain waktu untuk mendapat tulisan berkualitas terbaru dari kami. Komentar dari pembaca kami tunggu.🙏😁