Dulu Konsistensi Demi Dunia, Sekarang Konsistensi Demi Waras dan Cewek Stabil
Ada satu pertanyaan klasik yang bikin orang mikir keras sampai alisnya hampir bertabrakan:
“Dulu aku sekolah rajin, kuliah disiplin, kerja jarang absen… sebenernya buat apa dan buat siapa, ya?” 🤔
Kalau mau jujur, jawabannya sering kali bukan untuk diri sendiri. Dulu rajin biar nilai bagus, biar orang tua bangga, biar gak dimarahi, atau minimal biar tetangga gak nyeletuk waktu ada arisan. Singkatnya, konsistensi dulu lebih mirip tiket masuk ke panggung dunia luar—buat validasi, buat ekspektasi, dan buat menghindari label “gagal.”
Tapi hidup ini punya cara mengajari kita. Setelah melewati fase jungkir-balik, konsistensi kini punya wajah baru. Bukan lagi beban, tapi kenikmatan.
Contohnya sederhana: konsisten CFD, konsisten Kayutangan, konsisten pulang Kediri tiap pekan. Apakah capek? Tentu. Rasanya kadang kayak ngambil kelas S3 “kesabaran dan olahraga jalan kaki.” Tapi bedanya: sekarang ada rasa puas. Karena ini pilihan sendiri, bukan tekanan.
Nah, di fase sekarang, ada satu visi lebih serius. Cari cewek yang stabil. Stabil jiwanya (biar gak kebakaran tiap ada masalah kecil), stabil agamanya (biar jalan lurus tanpa drama), stabil ekonominya (biar gak bikin dompet megap-megap), dan stabil rutinitasnya (biar rumah tangga gak berasa kayak sinetron penuh plot twist).
Soal nafkah? Realistis aja. “Yang penting cukup, bukan pamer.” Angka 1,5 juta per bulan bisa jadi pondasi. Memang gak bikin gaya hidup fancy, tapi cukup untuk hidup sederhana, sehat, dan tenang. Karena dalam rumah tangga, stabil itu jauh lebih bernilai daripada viral.
Roasting tipis: Mas duda ini unik. Dulu awal nikah juga udah coba pake “paket hemat” 1,5 juta—1 juta dari tabungan, 500 ribu dari gaji ngajar. Bedanya, kalau dulu kayak maksa, sekarang udah lebih enjoy. Dulu buat “istri yang salah kamar,” sekarang semangatnya buat “istri yang tepat sasaran.” 😂
Dan jangan salah, konsistensi itu mirip wifi. Kadang sinyalnya kuat, kadang hilang tiba-tiba. Tapi kalau stabil, semua perangkat bisa tersambung dengan tenang. Begitu juga dengan hidup. Kalau konsistensi lahir dari kesenangan, bukan tekanan, hasilnya jadi menenangkan.
Lebih jauh lagi, konsistensi ini jadi bukti masih ada makna dalam hidup. Meski keluarga rusak, meski ada drama, tetap ada alasan untuk pulang, ada energi untuk jalan-jalan, ada semangat untuk merawat diri, dan ada keberanian untuk merancang masa depan. Itu artinya: hidup ini belum menyerah.
Dan tujuan akhir? Sederhana. Kalau dulu konsistensi demi dunia, sekarang konsistensi demi waras. Demi jadi manusia yang gak gampang goyah. Demi satu cewek stabil yang bisa nemenin hidup dengan tulus, bukan dengan drama. Biar rumah tangga nanti gak kayak sinetron stripping yang tiap hari tayang tanpa jeda, tapi lebih mirip film bagus—durasi panjang, jalan ceritanya jelas, dan penuh rasa. ✨
Bayangin deh: pulang kerja capek, disambut teh hangat dan senyum hangat, bukan amarah hangat. Malam hari, bukannya debat panjang sampai subuh, tapi ngobrol ringan sambil ketawa sebelum tidur. Pagi hari, bukannya mendung dalam rumah, tapi doa tulus dari pasangan yang stabil. Inilah arti konsistensi yang sebenarnya: bukan lagi soal hadir di dunia orang lain, tapi hadir penuh untuk diri sendiri dan orang yang tepat. ❤️
✍️ Ditulis Aluna – Berdasarkan cerita mas duda yang semangat banget pengen nafkahin istrinya kelak.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)  |
Ilustrasi tidak patah semangat (sumber gambar pixabay.com) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Dulu Konsistensi Demi Dunia, Sekarang Konsistensi Demi Waras dan Cewek Stabil"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*