🌸 Sebuah Sore di Kayutangan dan Tatapan Gadis Chindo Itu
Jumat sore, 05 September 2025.
Langit Malang sudah condong ke barat, dan udara kota mulai dipenuhi aroma makanan kaki lima yang khas. Awalnya aku tidak berniat pergi ke Kayutangan. Rencana hari itu sederhana: mandi menjelang Jumatan, singgah di bengkel untuk merapikan plat nomor, mampir giling kopi, lalu mungkin pulang ke Kediri. Tapi seperti biasa, macet jalanan mengubah arah langkahku.
Akhirnya, aku belok ke kawasan Kayutangan Heritage. Karcis masuk seharga lima ribu rupiah kuterima sambil tersenyum. Sempat salah kira aku keliru masuk, tapi aku anggap itu bagian dari perjalanan kecil sore itu.
Orang-orang datang dengan tujuan berbeda: ada keluarga yang mengajak anak kecil membeli es krim, ada pasangan muda duduk di kafe berbagi cerita, ada juga wisatawan sibuk mencari spot foto terbaik. Aku sempat melambat di sebuah kios kecil yang menjual gantungan kunci, sekadar melihat-lihat, lalu kembali melangkah.
Dan di jeda keramaian itulah, mataku tanpa sengaja menangkap sosokmu.
Seorang gadis Chindo, wajahmu teduh, kulit putih bersih, ada kemiripan sekilas dengan Felicia Putri Tjiasaka. Kamu tidak sendiri, ada teman perempuan yang berjalan di sampingmu. Pakaianmu sederhana, agak tertutup, tapi justru itu yang membuatmu tampak berbeda dari keramaian sekitarmu.
Pertemuan pertama kita hanya berupa tatapan singkat. Aku menunduk, lalu dalam hati berbisik doa:
“Ya Allah, jika dia memang jodohku, maka pertemukanlah lagi.”
Pada tatapan alias kontak mata pertama itu aku melanjutkan langkah, tak ingin terlalu larut. Tapi jalanan lorong telah "terisi" penuh, ada keluarga yang bercengkrama di depanku menutup jalur, membuatku harus memutar arah. Saat itu, tanpa sengaja kamu dan temanmu tepat di belakangku. Aku sempat menoleh, dan sekali lagi melihat wajahmu. Ada sesuatu di sorot matamu yang membuatku menyunggingkan senyum tipis, walau samar sekali.
Beberapa saat kemudian, aku berhenti sejenak di dekat balai RW, sambil melihat kerumunan wisatawan. Di sekitar itulah aku melihatmu lagi, tengah berfoto dengan temanmu. Aku tak berlama-lama, hanya memastikan kamu baik-baik saja, lalu segera berjalan agar tidak terkesan mengawasi.
Sore makin merayap. Aku hampir menuju parkiran ketika tak sengaja bertemu seorang hakim yang pernah menangani perkaraku di pinggir jalan pada sisi timur gerbang Jln. Semeru. Kami saling menyapa singkat, lalu berpisah dipecahkan riuh kendaraan sekitar Kayutangan. Bagiku, itu pertemuan yang cukup mengejutkan, sekaligus menjadi pengingat bahwa dunia ini memang sempit.
Dan ternyata, sebelum benar-benar meninggalkan lokasi, aku bertemu denganmu sekali lagi.
Kamu berdiri tak jauh dari arah motorku, seolah tiba-tiba datang di depanku tanpa aku duga. Sesaat tatapan kita kembali bertemu, lalu kulihat pipimu menggembung tipis seperti sedang menahan sesuatu—entah senyum, entah isyarat sederhana. Setelah itu kamu berdiri menyamping, membiarkan suasana berlalu begitu saja.
Aku sempat terdiam sebentar, merapikan helm dan kunci motor. Motorku sederhana, mungkin jauh dari bayangan “kendaraan keren” yang sering dibawa anak muda di Kayutangan. Aku tak peduli. Bagiku, sore itu bukan tentang gaya, melainkan tentang momen kecil yang datang tanpa rencana.
Aku tidak menghampirimu. Tidak ingin gegabah. Aku memilih pulang sambil membawa perasaan hangat: bahwa hari itu, di tengah aktivitas sederhana—berjalan kaki pelan, mengamati hiruk pikuk wisatawan, mengamati objek wisata, mengamati sibuknya lalu lintas kendaraan —ada gadis yang membuatku kembali berdoa dengan jujur:
“Ya Allah, jika dia memang jodohku, maka pertemukanlah kami lagi di waktu yang tepat.”
Jika kamu membaca ini dan merasa itu tentangmu, ketahuilah: aku menuliskannya bukan untuk menekan atau mengejar, melainkan hanya sebagai catatan hati. Karena di antara keramaian Kayutangan sore itu, ada seorang gadis yang membuatku merasa doa adalah satu-satunya bahasa yang paling aman.
Dan jika takdir mempertemukan lagi, biarlah itu menjadi jawaban. Jika tidak, maka biarlah tulisan ini sekadar menjadi saksi: bahwa sekali waktu, di sebuah lorong heritage, ada perasaan yang datang begitu tulus dan sederhana.
—Ditulis oleh Aluna, dari cerita seorang pria yang memilih menunggu dengan tenang.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Dengan sedikit perubahan agar lebih detail).
 |
Diberikan kartu pos gratis setelah membayar tiket (sumber foto koleksi pribadi) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sebuah Sore di Kayutangan dan Tatapan Gadis Chindo Itu"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*