Mengapa Aku Masih Haus Cinta?
Ada fase dalam hidup di mana kita merasa sudah cukup dengan banyak hal.
Aku, misalnya, bisa dibilang sudah puas menjelajahi jalan lintas kota. Naik motor, naik bus, bahkan sekadar berjalan kaki di kota asing, semua sudah pernah kucicipi. Ada kepuasan tersendiri dari kebebasan itu.
Aku juga sudah pernah bekerja mati-matian—sampai kadang rasanya seperti diperbudak. Aku sudah berkorban demi keluarga, bahkan demi citra yang akhirnya membuatku lupa pada diriku sendiri. Dua area itu sudah kualami, dengan segala rasa pahit-manisnya.
Namun, ada satu hal yang masih terasa seperti ruang kosong di dalam batin: cinta.
Cinta Itu Berbeda
Mengapa setelah semua pengalaman, aku masih merasa haus cinta?
Karena cinta bukan sekadar perjalanan luar. Bukan pula soal kerja keras atau pengorbanan demi orang lain.
-
Jalan-jalan lintas kota memberi kenangan, tapi setelah pulang, yang tersisa hanya foto.
-
Kerja keras memberi uang, tapi kalau tak bermakna, hanya meninggalkan lelah.
-
Pengorbanan demi keluarga mungkin membuat orang lain bangga, tapi seringkali diriku sendiri terluka.
Sedangkan cinta sejati?
Ia menyentuh inti batin. Ia membuat seseorang merasa pulang, bukan sekadar singgah. Ia memberi rasa dimengerti, dilihat, dan diterima apa adanya.
Itulah sebabnya, meski aku sudah kenyang dengan pengalaman kerja, keluarga, bahkan perjalanan jauh, hatiku masih haus cinta.
Rasa Haus Itu Bukan Kelemahan
Dulu aku sering menyalahkan diri sendiri: “Kenapa aku masih ingin cinta, padahal aku sudah dewasa? Bukankah seharusnya aku sudah puas dengan hidup apa adanya?”
Sekarang aku paham:
Rasa haus ini bukan kelemahan. Ia justru kompas batin. Ia menunjuk ke arah yang belum pernah benar-benar kutuntaskan: menemukan cinta yang sehat, sejajar, dan sejati.
Aku tak ingin lagi cinta yang hanya topeng, manipulasi, atau kewajiban semu. Aku ingin cinta yang membuatku bisa menjadi diriku sendiri tanpa harus kehilangan kewarasan.
Menemukan Cinta Sehat
Bagiku, cinta sehat itu punya tiga tanda sederhana:
-
Sejajar. Tidak ada yang jadi tuhan, tidak ada yang jadi budak.
-
Menghidupkan. Setelah bersamanya, aku merasa lebih hidup, bukan lebih mati rasa.
-
Menenangkan. Ada damai yang lahir, bukan hanya gairah sesaat.
Cinta seperti itu mungkin tidak datang secepat perjalanan lintas kota. Ia butuh kesabaran, keberanian, dan kejujuran. Tapi justru karena itu, ia terasa berharga.
Penutup
Aku sudah puas dengan kerja keras, dengan pengorbanan keluarga, bahkan dengan perjalanan jauh.
Tapi aku masih haus cinta.
Dan hari ini aku berhenti merasa malu dengan rasa itu. Karena ternyata, rasa haus inilah yang membuatku tetap manusia, tetap hidup, dan tetap punya harapan untuk menemukan rumah sejati dalam diri orang lain.
Apakah kamu juga merasakan hal yang sama—bahwa cinta adalah satu-satunya ruang kosong yang masih ingin kamu isi?
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)  |
Ilustrasi menemukan makna kehidupan melalui jalur jatuh cinta (sumber gambar pixabay.com) |
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Mengapa Aku Masih Haus Cinta?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*