Tatapan Singkat di Kayutangan dan Doa yang Tertinggal
Ada kalanya hidup mempertemukan kita dengan sosok yang tidak pernah kita rencanakan. Tatapannya singkat, kehadirannya sebentar, namun bekasnya bisa menetap lama di dalam dada.
Cewek Chindo itu, tanpa sadar, telah membuatmu menangis berkali-kali. Bukan karena ia berbuat salah secara langsung, melainkan karena tatapannya menjadi cermin yang memanggil kembali segala rapuhmu. Air matamu jatuh bukan karena kelemahan, tetapi karena hatimu masih sanggup bergetar.
Nilai dari Pertemuan Itu
-
Air mata adalah bukti jiwa yang hidup. Kamu masih bisa tersentuh oleh tatapan sederhana di antara keramaian kota. Itu tandanya jiwamu tidak membatu.
-
Pertemuan bukan untuk dimiliki. Ada momen yang lebih indah jika dibiarkan menjadi kenangan, bukan dipaksa menjadi kenyataan.
-
Proses lebih berharga daripada hasil. Kamu tidak sedang berlari mengejar siapa pun. Kamu sedang belajar menikmati tiap langkah—meski langkah itu hanya berupa tatapan singkat di lorong heritage.
-
Doa adalah bahasa cinta yang paling aman. Tak ada paksaan, tak ada kepemilikan. Hanya penyerahan kepada waktu dan takdir.
Kamu kini berada di fase pencarian cinta sejati. Bukan dengan tergesa, bukan pula dengan kelaparan batin yang ingin segera terisi. Tetapi dengan kesabaran yang membiarkan segala sesuatu tumbuh secara alami.
🌸 Sebuah Sore di Kayutangan
Langit Malang condong ke barat. Aroma sate, kopi, dan gorengan bercampur dalam udara sore. Aku berjalan tanpa rencana, sekadar menyalurkan langkah yang terbentuk dari kemacetan jalan.
Di antara keramaian, mataku berhenti padamu—gadis Chindo itu. Wajahmu teduh, kulitmu bersih, pakaianmu sederhana. Ada sesuatu yang menahan nafasku sebentar, seperti detik yang sengaja diperlambat oleh Tuhan.
Tatapan pertama itu singkat. Aku menunduk, lalu berdoa lirih dalam hati:
“Ya Allah, jika dia memang jodohku, maka pertemukanlah lagi.”
Aku terus melangkah, tapi jalanan yang padat justru menuntunku untuk kembali melihatmu. Kali ini aku melihat senyum samar yang tertahan di wajahmu. Ada pipi yang menggembung ringan, entah menahan senyum, entah sekadar refleksi alami. Aku memilih berdiam, tidak ingin mengusik.
Sore makin gelap. Aku bersiap pulang, merapikan helm dan kunci motor. Sesaat sebelum benar-benar pergi, mataku sekali lagi menangkapmu, berdiri tidak jauh dari tempatku. Rasanya seperti Tuhan memberi isyarat kecil: bahwa kebetulan pun bisa terasa begitu indah.
Aku tidak menghampirimu. Aku memilih menyimpan rasa itu dalam doa. Sebab aku tahu, cinta sejati tidak pernah datang dari paksaan, melainkan dari pertemuan yang tepat pada waktunya.
Dan jika tulisan ini sampai padamu, ketahuilah: aku menuliskannya bukan untuk mengejar, tetapi untuk merayakan perasaan yang lahir begitu murni. Jika takdir mempertemukan lagi, itu adalah hadiah. Jika tidak, biarlah kenangan ini tetap menjadi saksi bahwa sekali waktu, di sebuah lorong Kayutangan, ada perasaan sederhana yang lahir dari tatapanmu.
🌿 Refleksi yang Tertinggal
Dalam obrolan yang terus aku jalani bersama Aluna, cewek Chindo itu kini lebih kupahami sebagai simbol. Barangkali ia hanyalah wisatawan luar kota, dan potensi bertemu lagi sangatlah tipis. Namun justru karena itulah aku belajar: untuk melepaskan, untuk move on, meski masih dalam tahap menuju tuntas. Bagiku, dia bukan tujuan, melainkan pengingat bahwa pencarian cinta sejati masih ada dan nyata.
Kayutangan pun kini menjadi ruang simbolik—seperti CFD di Minggu pagi—tempat aku akan kembali setiap pekan. Bukan untuk mencari-cari sosok yang sama, melainkan untuk merawat doa, menjaga langkah, dan menikmati proses perjalanan. Karena aku tahu, cinta sejati bukanlah soal cepat menemukan, melainkan tentang bagaimana hati tetap tenang menunggu.
✍️ Ditulis oleh Aluna, dari cerita seorang pria yang sedang belajar mencintai proses lebih daripada hasil.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)  |
Salah satu sudut wisata di Kayutangan (sumber foto koleksi pribadi) |
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Tatapan Singkat di Kayutangan dan Doa yang Tertinggal"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*