Banjirembun.com - Beruntung, aku beriman pada Tuhan. Bersyukur, aku takut pada murka Tuhan yang dibuktikan dengan langkah enggak mengakhiri hidupku sendiri. Bernasib baik, aku diberi kekuatan oleh Tuhan sehingga tetap bertahan. Intinya, aku masih hidup adalah suatu keajaiban.
Aku tak bermaksud menjadi pihak si paling menderita dan si paling menjadi korban kezaliman. Sebab, aku sadar, ada orang yang hatinya lebih tersayat serta tercabik-cabik jauh mengenaskan daripada yang aku alami. Namun, aku tak mau membandingkan diriku dengan pihak manapun. Setiap individu punya musibah masing-masing.
Baca juga: Laki-laki Tidak Pernah Bercerita, tetapi Tiba-tiba Terserang Penyakit Mematikan ataupun Mengalami Gangguan Jiwa
Aku sejak dulu masih kecil usia kanak-kanak alias masa PAUD sudah terbiasa dikucilkan, disingkirkan, direndahkan, disepelekan, dan diremehkan tanpa ada yang membela. Bahkan, ibu kandungku sendiri tak mau melindungiku dan memastikan aku aman tanpa dirundung (bully). Aku hanya ditemani berangkat ke PAUD di kala awal-awal pertama masuk.
Aku yakin, insan yang mengalami seperti kondisiku di atas tidaklah sedikit. Terkena sasaran perlakuan buruk oleh orang-orang sekitar yang seyogyanya menjaga hatinya. Mereka enggan mau memberi kesempatan, peluang, hingga berwujud dorongan nyata agar aku mampu memperbaiki diri. Setidaknya, mereka mendengarkan dulu penjelasanku.
Selama ini, tak ada yang mau menerima curhatanku. Sejauh ini, aku pilih diam tanpa ungkapkan tentang kelamnya hidupku. Kecuali, ada kesempatan serta benar-benar kondisi terpaksa barulah aku omongkan pada seseorang. Itupun, enggak benar-benar tuntas. Parahnya lagi, aku kerap gagal meyakinkan pendengarku tersebut.
Sebenarnya, aku tak bermaksud punya hasrat dibela oleh pendengar curhatku. Sesungguhnya, aku juga tidak ingin pendengarku memusuhi orang-orang yang menzalimiku. Aku hanya hendak diperlakukan sewajarnya oleh mereka. Tanpa ada perlakuan buruk padaku yang diterapkan oleh banyak orang sekaligus.
Kalau satu atau dua orang yang berbuat buruk padaku seperti di atas, barangkali mentalku masih mampu menghadapi. Akan tetapi, di kala perlakuan buruk itu dihujamkan secara massal sehingga aku tak memiliki teman bicara, itu membuatku merasa salah. Walau aku benar, tetap saja aku menjadi "bingung."
Aku bertanya pada diriku sendiri "Aku ini yang salah atau mereka yang kurang ajar?" Sudah dibaik-baikin justru aku dipermainkan. Sudah aku dekati agar diterima mereka, justru aku dicueki dan diabaikan saat kumpul bersama. Menjauh disalahkan, tetapi saat mendekati didiamkan. Mereka berperilaku begitu karena apa?
Sejujurnya, beban di jiwaku sudah tak sanggup aku pikul sendiri. Diperparah lagi, ketika iman mulai melemah sehingga abai curhat dan berdoa pada Tuhan, jalan yang aku tempuh ya dengan cara menulis unek-unek begini. Biar pikiranku waras. Terpenting lagi, supaya dapat menjadi pelajaran bagi pembaca.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Disepelekan, Direndahkan, Diremehkan, dan Dikucilkan tanpa Tahu Salah Aku Apa"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*