Banjirembun.com - Bahasa bersifat dinamis. Bukan hanya mengalami perubahan logat, struktur huruf, ataupun fungsi pengucapan. Pergeseran bahasa dapat pula terjadi pada penekanan emosi serta kondisi saat mengungkapkannya.
Lebih detailnya, dulu sebuah ucapan memiliki pemaknaan yang dianggap kasar dan tabu diucapkan. Tidak sembarangan diucapkan. Namun, sekarang kata kasar tersebut dijadikan bahasa sehari-hari sehingga kehilangan sifat sangarnya.
Baca juga: Mulut Biadab Mantan Istri
Dahulu hanya orang yang "pemberani," ditakuti, atau angker yang lantang berkata kasar misalnya menyebut cocot dan congor. Kini, kata-kata tersebut sudah jamak diterapkan banyak kalangan. Bahkan, anak kecil pun ikut-ikutan.
Kendati persebarannya di dunia maya, hal itu justru makin gampang diterima serta ditiru oleh banyak pihak. Terutama dilakukan oleh akun media sosial anonim, akun diprivasi, maupun akun menggunakan identitas palsu.
 |
Ilustrasi mulut individu jahat (sumber gambar pixabay.com) |
Istilah cocot maupun congor yang memiliki arti "mulut" merupakan sama-sama mempunyai makna kasar. Sangat menyakitkan bagi pemilik mulut yang disebut dengan ungkapan itu. Bayangkan saja, apa mau mulutnya disamakan dengan mulut hewan?
Berikutnya, dari kedua kata kasar di atas, yang paling kasar yaitu congor. Sebab, kata congor biasanya disematkan kepada mulut hewan. Sedangkan, cocot umumnya hanya diterapkan kepada sesama manusia.
Arti Ungkapan Cocote Tonggo dan Congore Bolo
Cocote tonggo memiliki arti kebahasaan secara ringkas berupa "mulutnya tetangga." Adapun, congore bolo punya arti bahasa berupa "mulutnya teman." Dari sini, semestinya sudah dapat dipahami bahwa fokus ungkapan itu yaitu pada "keadaan" sebuah mulut.
Kata congor dan cocot dalam pengungkapan di atas dijadikan objek pembicaraan yang pembahasannya ke arah negatif. Alasannya, saking jengkelnya dan sebalnya pada kelakuan mulut tersebut membuat pengucap menyebut mulut memakai istilah kasar.
Mulut tetangga dan mulut teman dianggap biadab sehingga pantas untuk melabelinya dengan memakai istilah congor dan cocot. Mulutnya dirasa tak mampu dijaga dan tidak dikendalikan bagai hewan tanpa majikan. Alhasil, dirinya disebut menjadi korban ulah mulut itu.
Seharusnya, daripada berkata kasar seperti di atas, ungkapan standar dan bersifat netral yang dipakai di hadapan publik ialah lambe serta yang lebih halus tutuk. Adapun di bawah lambe, ada ucapan yang tak terlalu kasar yaitu cangkem.
Dalam keadaan biasa-biasa saja, tanpa ada rasa kesal serta marah terhadap tetangga ataupun teman, alih-alih mengeluarkan kalimat cocote tonggo dan congore bolo, yang paling disarankan berupa perkataan lambene tonggo dan cangkeme bolo.
Sayangnya, sekarang ini banyak orang yang bermental rapuh. Sedikit-dikit langsung berkata kasar. Padahal, masih bisa ditahan dulu demi memastikan diri sendiri belajar beradaptasi menghadapi "konflik sosial." Akan tetapi, seketika frontal menyerang.
Meski kata-kata kasar diucapkan di belakang individu yang jadi bahan pembicaraan dan diluapkan pada media sosial, tetap saja enggak etis. Sebaiknya, fokus dulu introspeksi diri sekaligus mencari solusi tatkala menghadapi tetangga atau teman yang tak sesuai harapan.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Arti Ungakapan "Cocote Tonggo" dan "Congore Bolo" dalam Bahasa Jawa"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*