Banjirembun.com - Mulut harus dijaga dan dipelihara. Jangan sampai bebas liar bagai hewan yang tak punya majikan. Akibatnya, dapat berpeluang mengganggu serta membahayakan. Apalagi, yang jadi korban berkali-kali orang sekitar. Diimbuhi, kerapnya "sayatan" lidah lebih menyakitkan daripada cubitan peringatan.
Ngomong-ngomong terkait mulut, dari sekian banyak mulut, dirasa mulut tetangga maupun mulut teman, keduanya sama-sama punya potensi bikin resah. Apalagi, perilaku buruk mereka tak hanya di dunia nyata saat kumpul bersama. Melainkan pula, ketika di media sosial. Baik itu di grup medsos ataupun kirim pesan secara pribadi.
Baca juga: Arti Ungakapan "Cocote Tonggo" dan "Congore Bolo" dalam Bahasa Jawa
Ketika dipikir-pikir, kenapa mulut tetangga serta mulut teman berpeluang meresahkan? Alasannya ialah karena mereka orang yang sering berdekatan saban hari dengan seseorang yang dijadikan sasaran pembicaraan. Meski jarang melihat tubuhnya, enggan saling tatap wajah, dan lama enggak pernah mengobrol, ternyata mereka tetap saja usil.
Penyebab selanjutnya yaitu mereka merasa tersaingi serta iri hati dalam bidang tertentu. Sikap tak mau kalah atau hendak menangan sendiri yang ditempuh secara antagonis sudah menjadi ciri akhlak buruk mereka. Alih-alih bersaing sehat, justru mengganggu hidup individu tertentu melalui mulutnya yang mengumbar omongan.
Berikutnya, ada momen tertentu saat interaksi yang amat mengusik hidup sehingga sulit dilupakan. Berhubung tak memungkinkan membalas dengan berhadap-hadapan antar muka langsung, akhirnya dipilihlah melukai hati individu yang menjadi target serangan dengan cara membicarakannya dari belakang.
Lebih Menyakitkan Cocote Tonggo atau Congore Bolo?
Secara umum, barangkali boleh dibilang bahwa ucapan di belakang tanpa tatap muka dari mulut tetangga lebih menyakitkan dibanding mulut teman. Alasannya, tetangga lebih sering berdekatan secara fisik. Diperparah lagi, mereka cenderung bergerombol punya kompelotan dalam membicarakan pihak tertentu.
Tetangga lain yang awalnya netral menjadi ikut-ikutan termakan omongan. Alhasil, turut memusuhi individu yang dijadikan bahan atau topik percakapan. Nah, akibatnya saat beraktivitas sehari-hari di sekitar rumah sensasinya berubah menjadi kikuk. Bahkan, sekadar ke halaman depan pun merasa tak nyaman.
 |
Ilustrasi suasana kehidupan bertetangga (sumber gambar pixabay.com) |
Dalam mengatasi atau menempuh jalan keluar pun lebih sulit ketika gangguan mulut tetangga sudah ke level parah. Sebab, kalau merasa tak tahan lagi menghadapi risiko mulut teman, caranya berupa memutuskan hubungan. Mengatasi ulah mulut eman di tempat kerja juga bisa ditempuh dengan langkah mengundurkan diri alias resign.
Nah, bagaimana tatkala tak kuat lagi menerima rasa pahit akibat ulah mulut tetangga? Mau pindah rumah, tentunya lebih rumit dan butuh biaya. Mau diberi bingkisan serta berbasa-basi belum tentu hasilnya permanen. Amat mungkin di kemudian hari mulut tetangga menjadi "liar" kembali tanpa penjagaan.
Hal lainnya, fitnah atau tuduhan dusta yang berasal dari mulut tetangga jauh lebih mengganggu daripada mulut teman. Sebab, dampak buruknya dapat diterima oleh orang satu rumah. Baik itu orang tua, saudara kandung, pasangan, atau anak kandung. Kerabat jadi ikut kena getah. Minimal, merasa ikut terusik.
Itulah sebabnya ada ungkapan "Memilih dan membeli rumah jangan hanya melihat kondisi fisik unit, tetapi pahami juga bagaimana karakter orang-orang di sekitarnya." Belilah rumah yang kebiasan hidup sehari-hari para tetangga sesuai dengan kondisi mental. Jangan hanya karena harga murah langsung saja dibeli.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Ketika di Belakang tanpa Tatap Muka, Masih Mengerikan "Cocote Tonggo" atau "Congore Konco?""
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*