Seketika saya diam.
Kota Singkawang, Oktober 2012
Bertambah hari anak kami makin menunjukkan sifat lucu dan gemas sehingga bikin hati saya ketagihan terpikat padanya. Suasana hati saya tentu hari demi hari dipenuhi sumringah. Intinya, si kecil berangsur-angsur telah mampu menepiskan ingatan trauma masa lalu.
Pada satu hari, saat saya bercanda penuh ceria dengan anak kita, Heni meledek "Duh, anaknya terus yang dipegang, emaknya dianggurin."
Saya berdalih "Alhamdulilah, anak kita jarang nangis, enggak rewel, kamu pinter dalam mendidik anak Hen."
Heni tak terima "Jangan mengalihkan pembicaraan."
Saya merespon "Kamu kok cemburu pada anak sendiri?... Suatu saat kamu akan merindukan suasana bersama anak kecil yang masih bayi dan belum sekolah, nikmatilah, buatlah kenangan indah bersama anak kita."
Heni masih belum lega "Iya, aku tahu, tapi aku tetap cemburu."
Saya memberi alasan "Yang penting saat aku bersama anak kita di situ juga ada kamu. Aku masih di dekatmu setiap hari."
Heni menyanggah "Enggak di kasur, di teras, di dapur, kamar mandi, semuanya yang dilihat dan dipegang dulu bayinya, giliran emaknya hanya sisa."
Sangat tumben. Heni begitu banyak bicara, kerap protes, dan menunjukkan gelagat ganjil. Saya rasa ini bukan Heni yang dulu. Semoga firasat saya salah.
Sebagai suami, saya sempat terbesit bahwa saya menyadari kuantitas dan kualitas interaksi dialogis maupun sentuhan fisik dengan Heni amat berkurang jauh. Durasi serta frekuensi pelukan yang membuatnya tenang, aman, dan nyaman sudah tak seperti dulu.
Kota Singkawang, November 2012
Di awal bulan November ini saya mengajak dialog Heni dengan membuka pertanyaan "Kamu kok suka ngelamun, hayo ngelamuni apa?"
Heni menimpal balik "Kamu sendiri orangnya sering melamun."
Saya menanggapi "Itu kebiasaanku sejak kecil, aku saat SD sudah biasa melamun, berimajenasi, banyak hal khayalan yang aku buat,... tapi walau aku terlihat santai duduk atau rebahan, otakku tetap terus bekerja."
Heni mencoba memperpanjang percakapan "Mikirin apa?"
Saya jawab "Banyak lah. Mulai dari gambaran hidup beberapa bulan ke depan sampai puluhan tahun yang akan datang."
Heni mulai terpancing "Pantesan kamu selalu over thinking. Gampang curiga, selalu mikirin hal negatifnya dulu, kadang juga malah sulit untuk diberi masukan."
Saya menyetujui apa yang dikatakan Heni "Iya, itu salah satu dampaknya orang yang terlalu sering banyak mikir, terlalu asyik dengan dunia sendiri."
Beberapa menit kemudian, kami pun kembali ke topik utama pembicaraan.
Heni memulai dialog dengan berterus terang "Sejujurnya aku pertama di sini, enggak betah, tapi aku kuatkan hatiku, sekarang setelah aku mulai terkondisikan di sini, justru aku kamu abaikan."
Saya tak percaya "Bentar, aku dulu lihat kamu tampak baik saja, kalau pun terlihat canggung di sini, menurutku itu masih wajar, hampir semua perantau mengalami."
Heni mulai menyangkal membabi buta "Pokoknya aku minta kamu kembali seperti dulu, di awal-awal kita nikah sampai kelahiran bayi kita."
Saya mulai mengalah "Kalau itu maumu, aku akan berusaha menjadi diriku yang kamu mau... Anak kita tetap aku pedulikan, tetapi tak melebihi kamu,... lagian dia dapat kasih saya dari ibu dan bapaknya, sedang kamu hanya dariku."
Kota Singkawang, Desember 2012
Toko yang didirikan Heni mulai ada perkembangan. Meski ada saja gangguan, tetapi bagi istri saya itu bukan hal menyulitkan. Sebut saja seperti konsumen berhutang lama membayar, pengutilan, barang dagangan yang rusak akibat pembeli ceroboh maupun faktor lain, barang sudah kadaluarsa sebelum laku, hingga sekarang ini kondisi hujan yang sedikit-banyak juga berpengaruh.
Apalagi, di awal-awal buka toko dulu juga masih butuh penyesuaian terkait barang dagangan apa yang paling laku dan yang tidak laku. Di kala itu, Heni cukup gesit dalam mencari distributor maupun cari sendiri di pasar atau pusat grosir guna mengisi stok barang. Bahkan, dia menyediakan "cadangan" barang jualan yang paling laku itu di belakang toko.
Menurut penuturan Heni, barang yang tak laku menyebabkan modal tertahan sehingga perputaran uang macet. Begitu pula, barang dangan yang laku keras dengan stok jualan yang terbatas lantas habis bakal membuat pembeli kecewa. Maklum saja, namanya juga toko kelontong, lebih banyak menjual kebutuhan sehari-hari.
Saya melihat Heni tampak semangat berjualan. Dia begitu getol hendak memastikan pelanggan tak kecewa agar di lain hari mau datang lagi. Heni begitu bahagia saat berada di toko. Seolah dia menemukan hidup baru. Di mana, kini konsumennya bukan hanya tetangga dekat. Melainkan, jarak jangkaunya telah melebihi 50 meter.
Sebagai suami, tentu saya kadang membantu Heni "memakmurkan" tokonya. Peran saya di toko sebagai tukang angkat-angkat. Walau saya yakin Heni mampu mengatasinya sendiri, tetapi sebagai wujud peduli padanya, saya tetap ingin menunjukkan perhatian saya dengan aksi nyata.
Kota Singkawang, Januari 2013
Di malam hari, sesudah toko tutup, saya mengajak mengobrol Heni. Kalau boleh jujur, sudah sekitar sepuluh bulan hubungan kami beku melebihi dinginnya salju. Kendati mengobrol, itu demi tetap menjaga kewarasan. Masak tinggal satu rumah tak pernah mengobrol sama sekali?
Saya mencoba menunjukkan peran penting Heni dalam hidup "Anak kita dan kamu telah membuat hidupku tetap normal,.. jiwaku bisa menjadi stabil."
Heni tidak terima "Tuh kan, anaknya yang didahulukan, jadi sebelum ada anak kita, kamu itu masih belum bisa pulih dari trauma?"
Saya menanggapi "Trauma yang kualami ini tak bisa disembuhkan, hanya bisa dikendalikan,... dikekang dengan cara hidup bahagia agar kenangan dan ingatan buruk di masa lalu tak berhasil mengganggu."
Heni tetap menyanggah "Jadi sebelum lahirnya bayi kia kamu tak sebahagia sekarang?"
Saya membela diri "Apa salahnya seorang ayah mencintai anaknya melebihi ibunya? Toh itu bisa menjadi pemulih traumaku. Apakah kamu lebih suka saya cuek dan tak peduli pada anak kita?"
Heni terkaget dengan jawaban saya sembari berkata "Bukan begitu maksudku, kamu seharusnya tahu siapa yang diutamakan dan dinomorsatukan."
Saya tetap pada keteguhan hati "Kamu kok bersaing sama anak sendiri, anak kita masih bayi, kasihan menanggung beban perasaan sejak lahir."
Heni tetap enggak mau menerima "Aku yang pertama hadir di hatimu."
Tidak mau memperpanjang, akhirnya saya putuskan memunggungi Heni lantas mengambil posisi tidur dengan memulai memejamkan mata. Sedangkan anak kami, tidur di ranjang mungilnya sendiri.
Kota Singkawang, Maret 2013
Heni memandangi saya penuh arti. Sorotan lembut nan menawan. Menjadikan saya teringat lagi zaman SMA dahulu.
Saya berkata "Tatapanmu itu loh, bikin aku terkenang masa-masa ABG dulu."
Heni tersenyum "Kenapa memangnya? Kangen masa SMA ya?"
Saya jawab enteng "Enggak, yang aku kangenkan dari masa SMA adalah karena ada kamu, sekarang kamu di sini."
Heni berujar "Kamu sih, orangnya enggak gentle."
Saya sanggah "Bagiku, soal perasaan itu sangat menyulitkan dan membingungkan untuk aku hadapi."
Heni berseloroh penuh ejek "Cinta itu mudah, yang rumit itu kamu."
Saya tanggapi "Mudah bagimu, bagiku enggak. Sederhana bagimu, bagiku enggak."
Heni menimpali "Tinggal bilang aku cinta kamu, gitu aja."
Saya membanyol "Aku cinta kamu, sudah kan?"
Heni tertawa. Sudah lama saya tak melihat wajah riangnya itu. Hampir satu tahun yang lalu terakhir kalinya.
Kota Singkawang, Maret 2013
Setiap pulang dari kerja, punggung telapak tangan saya hampir pasti selalu disambut oleh kecupan dari Heni, lalu saya balas dengan pelukan ringan dan kecup kening. Itu sudah menjadi kebiasan rutin kami yang enggak bakal membosankan.
Namun, kali ini aku memeluk Heni cukup erat dan mengecup berdurasi lama.
Heni terheran "Tumben, kamu kok nempel banget peluknya?"
Saya jawab spontanitas "Aku ingin berbagi kehangatan denganmu, itu saja, nyaman banget rasanya..."
Heni menyela "Bilang aja kedinginan dan menghilangkan penat."
Saya kekeh menjawab "Beneran, aku tadi, lihat ada sepasang suami istri yang sudah sepuh, mereka berdua sangat rekat bagai muda mudi yang baru saja berpasangan. Boleh kan, aku iri pada mereka?"
Heni mengimbuhi "Tak terbayang, indahnya menua bersama tanpa gangguan."
Heni adalah indivudu yang secara garis utama dan pokok memiliki banyak kesamaan orientasi hidup dengan saya. Entah karena dia mengalah mengikuti saya atau memang sudah menjadi harapannya semenjak dulu?
Tak berlebihan ketika saya menyatakan Heni satu-satunya manusia yang “pantas” untuk saya rindukan. Jika saya enggak kenal Heni, maka hanya Tuhan entitas yang saya rindukan berjumpa dengan-Nya.
Kota Singkawang, April 2013
Makin tumbuh besar anak kami, tambah rekat kembali hubungan saya dengan Heni. Seolah, anak kami telah dewasa dan lepas dari dekapan hangat dari orang tua.
Lagi pula, meski usia tepat 1 tahun di bulan maret kemarin, anak kami sangat cerdas. Tahu cara menghibur diri dan bagaimana memahami situasi serta memosisikan diri
Boleh dikata, anak kami sudah nampak "mandiri." Tentulah, ukuran kemandiriannya standar anak Balita. Bahkan, tingkat inisiatif dan kreatifnya melebihi anak seumuran.
Selain amat jarang menangis, ia juga tak nampak ada sifat egois, semisal ingin semua keinginan harus segera dituruti. Tentunya, ia tak manja, seperti kerap minta gendong maupun gampang merengek.
Kota Singkawang, Mei 2013
Saat saya sedang memandangi layar HP, serta-merta Heni memberi protes secara halus "Kamu kok senyum-senyum sendiri begitu? Hayo, aku cemburuan orangnya."
Saya justru semakin tersenyum lebar "Apa sih kamu, masa kamu cemburu pada dirimu sendiri, ini loh aku lihat foto nikah kita, ini lihatin."
Anak kecil kami terlihat celingukan heran "memikirkan" tingkah orang tuanya.
Di akhir bulan Mei, saya mengajak Heni membicarakan tentang visi dan misi atau lebih gampangnya terkait harapan serta impian ke depan bagaimana.
Saya beserta Heni hanyalah manusia biasa yang berharap punya kehidupan indah di masa depan dan cita-cita bersama sukses tergapai.
Barangkali, tujuan hidup kami tidak sesuai standar teman maupun keluarga. Namun, kami bahagia punya keinginan pribadi serta target bersama tersebut yang menjadi fokus utama kami.
Sebagai penutup, patut diketahui impian saya saat kecil yaitu ingin camping di hutan, ingin menjelajah alam, berpetualang di aliran sungai deras menggunakan perahu, dan puncak impian saat SMP yaitu merantau di kalimantan.
Sebenarnya bapak kandung saya melarang saya untuk merantau ke Kalimantan. Beliau tak ingin anaknya kenapa-kenapa di sana. Baik menyangkut ekonomi, keselamatan, keamanan, maupun gangguan gaib alias mistis.
Berhubung ada Heni yang tampak mau saya nikahi, saya putuskan nekat merantau demi masa depan. Di mana, Heni sudah pernah saya beritahukan terkait hal tersebut.
Adapun ibu kandung saya, ketika saya 4 bulan pertama merantau di Singkawang, kisaran April 2010, sudah mulai ada tanda-tanda menganggu kenyamanan saya bekerja di sini. Ibu tampak tidak senang melihat saya hidup tenang.
Kota Singkawang, Juni 2013
Sepertinya, sata terlahir di bumi memang anti kemapanan dan mencegah status quo. Di mana, alih-alih mempertahankan keadaan "meringankan," malahan saya mencari kejanggalan.
Terbukti, di situasi yang damai nan tenang saya bertanya pada Heni "Apakah kamu bahagia dengan keadaan hidup yang sekarang?"
Seakan tak tahu tabiat atau kebiasaan saya yang suka bertanya-tanya semacam itu, Heni masih saya menunjukkan muka kaget "Kenapa lagi tanya begitu?"
Saya menanggapi "Enggak apa-apa,... andai kamu putuskan tinggal di Kediri dan menikah dengan orang lain, hidupmu berpeluang besar bergelimang harta. Bisnismu bakal moncer dengan pasanganmu yang bisa mengimbangi jiwa wirausahamu itu."
Heni mengingatkan "Jangan begitu, kita menikah itu sudah takdir dari Tuhan... Janganlah beranda-andai maupun mengungkit-ungkit masa lalu yang menyebabkan kita tidak bersyukur maupun menggunggat kehendak Tuhan yang telah Tuhan perbuat."
Dengan keras kepala saya berucap "Kamu bahagia tidak hidup denganku?"
Heni menjawab penuh lembut "Aku bahagai bersamamu. Apalagi sekarang kita sudah punya anak... Lengkap sudah bahagiaku yang bisa melaharikan bayi sempurna."
Saya mulai tenang sembari berkata "Aku berharap bahagiamu itu awet, karena sampai saat ini aku masih merasa belum bisa membahagiakanmu."
Heni tersenyum ringan "Mulai gombal lagi, kamu itu enggak jago ngegombal tahu."
Saya menambahi "Aku orangnya yang membosankan dan menyebalkan seperti ini, tetapi tidak bikin kamu marah, kecewa, dan murung saja itu bagiku salah satu keberhasilan hidupku."
Kota Singkawang, Juli 2013
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Isi Novel "Di Tanah Perantauan" Bagian ke-7 Anugerah Terindah, Awal Perjuangan Menuju Bahagia"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*