(Refleksi dari seorang anak lelaki yang mulai tersadar dari "kebingungan" lalu bertanya)
Aku pernah berpikir, semua bentuk kasih sayang dari ibu adalah kebenaran mutlak. Sebab dia melahirkanku. Sebab dia menyusuiku. Sebab dia mendidikku. Sebab dia berdoa untukku. Dan sebab-sebab lain yang berderet panjang, terlalu sakral untuk dibantah.
Tapi, semakin aku tumbuh, ada sesuatu yang mengganjal—sebuah pertanyaan yang lama kupendam:
"Ini sayang atau penjajahan batin?"
Aku tak bisa melupakan suara keras itu.
Kalimat makian yang menyusup ke kamar.
Nada kecewa yang tak pernah benar-benar bisa kulunasi dengan prestasi apapun.
Tatapan yang membuatku merasa menjadi anak gagal, hanya karena aku tak setuju.
Dan senyuman yang berubah menjadi bentakan dalam hitungan menit yang disebabkan aku menjawab dengan jujur, bukan dengan patuh.
Tapi selalu kutelan semuanya, karena itu "dari ibu".
Setiap kali aku mempertanyakan sesuatu, ada jawaban siap pakai:
“Kamu berani melawan ibu sendiri?”
“Ibu sudah berkorban segalanya demi kamu.”
“Lihat anak-anak lain, tak ada yang seperti kamu.”
Dan aku kembali diam.
Aku kembali menjadi anak baik.
Tapi baik yang tak bahagia.
Aku ingin mencintai ibuku. Dan aku memang mencintainya.
Tapi aku mulai menyadari bahwa cinta tak boleh membungkam jati diri.
Bahwa berbakti bukan berarti membiarkan diriku dihancurkan pelan-pelan.
Bahwa menuruti bukan berarti tidak punya suara.
Bahwa menghormati bukan berarti menyerahkan hidupku sepenuhnya.
Aku ingin bebas menjadi diriku sendiri tanpa harus merasa bersalah pada sosok yang melahirkanku.
Banyak yang bilang, anak durhaka itu pasti masuk neraka.
Tapi apakah mempertahankan kesehatan mental, menolak dikendalikan, dan menjauh agar tidak terus terluka—itu disebut durhaka?
Atau itu justru bentuk tertinggi dari mencintai diri sendiri, agar aku tidak menjadi ayah yang melanjutkan luka ini ke anak-anakku nanti?
Aku tak pernah ingin membenci.
Aku hanya ingin dipahami, bukan dikendalikan.
Aku hanya ingin dimanusiakan, bukan dijinakkan.
Dan jika suatu hari aku benar-benar diam, menjauh, atau hanya pulang sebentar tanpa peluk canggung...
Maka itu bukan karena aku tak cinta,
melainkan karena aku ingin cinta itu tumbuh di ruang yang bebas, bukan di bawah bayang-bayang ketakutan.
Ini bukan tentang siapa yang salah.
Tapi tentang keberanian seorang anak laki-laki,
yang akhirnya bertanya:
"Ini sayang... atau penjajahan batin?"
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
 |
Ilustrasi ruang yang seharusnya menjadi tempat melindungi justru medan penjajahan (sumber foto pixabay.com) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Ini Sayang atau Penjajahan Batin?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*