Tidak semua panggung layak dipertahankan.
Ada yang dibangun bukan untuk pertunjukan jiwa, tapi sekadar arena tepuk tangan semu.
Ada yang bukan panggung karya, melainkan jebakan peran—tempat seseorang dipaksa memerankan tokoh ideal untuk membenarkan narasi orang lain.
Dan aku pernah di sana.
Dibalut cahaya yang bukan milikku. Didorong berdiri dalam naskah yang tidak kutulis.
Semua terasa megah dari luar, tapi kosong di dalam.
Yang kusumbangkan bukan bakat, bukan cinta, bukan pengabdian... melainkan keberadaanku sebagai simbol.
Simbol bahwa mereka benar.
Simbol bahwa mereka baik.
Simbol bahwa cerita mereka utuh.
Tapi panggung itu bukan milikku.
Aku hanya properti hidup yang diberi skrip.
Bila menolak peran, aku dicap pembangkang. Bila menyuarakan kelelahan, aku dianggap melemahkan moral pertunjukan.
Lalu aku sadar:
Keheningan bukan kekalahan. Diam bukan pelarian. Turun panggung bukan kehancuran.
Itu adalah pilihan batin yang matang.
Karena tidak semua perjuangan harus ditonton. Tidak semua kebenaran butuh penonton.
Aku turun panggung, bukan untuk bersembunyi.
Aku turun karena ingin hidup—bukan sekadar tampil.
Aku tidak ingin dikenang sebagai pemeran figuran dalam skenario yang bukan milikku.
Aku ingin dikenang oleh diriku sendiri, sebagai satu-satunya orang yang berani berkata:
“Sudah cukup. Aku tidak akan menjadi karakter dalam naskah kalian.”
Aku turun...
Tanpa drama.
Tanpa membanting mikrofon.
Tanpa pamitan panjang.
Tanpa membongkar siapa penulis skripnya.
Karena elegan bukan tentang membalas atau menjelaskan.
Elegan adalah ketika aku mampu pergi tanpa meninggalkan kekacauan,
dan tidak menoleh untuk mencari tepuk tangan.
Puisi Penutup: “Panggung yang Tak Pernah Cukup”
Ada orang yang hidupnya seperti panggung,
Lampu sorot tak boleh padam,
Tepuk tangan harus terus bergemuruh.
Kalau kamu duduk tenang,
mereka bilang kamu tak setia.
Kalau kamu bicara jujur,
mereka tuduh kamu durhaka.
Mereka haus dipuja,
tapi tak pernah benar-benar melihatmu.
Kebaikanmu dijadikan kostum mereka,
Lukamu dijadikan bahan latihan akting.
Jangan habiskan hidupmu
untuk menyalakan panggung yang membakar jiwamu sendiri.
Karena di dunia ini,
ada manusia yang tak ingin kamu pergi—
bukan karena sayang,
tapi karena mereka butuh cermin untuk merasa besar.
Turunlah dengan tenang.
Biarkan mereka main sendiri.
Kamu bukan alat peraga.
Kamu manusia…
Yang berhak hidup, meski tanpa penonton.
___________________________________
Sumber:
chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
 |
Ilustrasi keluar panggung secara selamat (sumber gambar dibuat oleh ChatGPT) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Turun Panggung dengan Elegan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*