Aku tak ingin lagi jadi tokoh sabar dalam kisah orang lain.
Aku tak mau lagi diam dan mengangguk hanya karena tak enak hati.
Bukan karena aku tak mampu bertahan,
tetapi karena aku sudah selesai mempertaruhkan jiwaku hanya untuk membuktikan:
“Kau sama saja seperti mereka.”
Aku bisa menebak arahnya dari gerak-gerik yang nyaris tak kentara.
Nada halus yang terasa menggiring.
Pujian samar yang mengundang rasa bersalah.
Ketidaktegasan yang mendadak menjadi senjata saat aku mulai menetapkan batas.
Dulu, aku akan memberi waktu.
Memberi manfaat dari keraguan.
Berharap entah siapa yang akan berubah duluan—aku atau dia.
Tapi sekarang tidak.
Aku tak menunggu lagi untuk dicabik-cabik,
hanya agar punya alasan “pantas” untuk pergi.
Aku sudah cukup terluka di tempat-tempat yang orang lain anggap sepele.
Dan aku memilih kali ini menyelamatkan diri
sebelum terlambat.
Mungkin menurutmu aku berlebihan.
Tapi aku tahu persis gejalanya.
Aku tak mau menunggu jadi korban agar dianggap wajar menjauh.
Bukan karena aku takut padamu.
Tapi karena aku menghormati diriku sendiri.
Apa Artinya sebuah Pembuktian ketika Hampir Dipastikan justru Menorehkan Luka di Jiwa?
Dulu, aku selalu merasa perlu luka besar sebagai tiket keluar.
Perlu ditinggalkan, dihancurkan, atau dikhianati dulu,
baru aku punya dalih untuk menyelamatkan diri tanpa rasa bersalah.
Tapi sekarang aku tahu:
Langkah yang Tak Perlu Berdarah
sudah cukup untuk menunjukkan bahwa aku akhirnya belajar menghargai diriku sendiri.
Aku tak lagi membutuhkan pengkhianatan terang-terangan
atau kalimat menusuk agar merasa "berhak" untuk pergi.
Aku tak lagi butuh drama sebagai tanda akhir.
Karena kini aku sadar,
rasa tak nyaman yang terus berulang,
kesan samar yang tak pernah jujur,
dan tarikan emosional yang melelahkan—
itu pun sudah cukup menjadi alarm.
Aku tak menunggu dicabik-cabik jiwaku dulu,
hanya demi mendapatkan validasi dari luar bahwa
“Memang pantas kamu mundur.”
Aku memutuskan menyelamatkan diri,
sebelum hal-hal kecil yang kulalui berubah menjadi kuburan kejiwaanku sendiri.
Aku bukan hakim untuk menentukan siapa kamu,
tapi aku punya hak penuh untuk menjaga siapa yang boleh tinggal dalam hidupku.
Dan jika aku harus berjalan menjauh,
itu bukan karena aku membencimu.
Melainkan karena aku melihat cukup tanda-tanda—
Langkah yang Tak Perlu Berdarah, hanya Demi Menemukan Sebuah Bukti Kuat tentang Siapa Sebenarnya Dirimu.
Mungkin menurutmu aku terlalu cepat menilai,
tapi aku tahu apa yang pernah kulalui,
dan aku menolak untuk mengulangi neraka yang sama hanya dengan pemeran berbeda.
Ini bukan tentang menyerah,
ini tentang keberanian memutuskan bahwa aku tak harus binasa dulu
untuk membuktikan siapa yang pantas dipercaya.
Aku pulang.
Ke tempat yang tak membutuhkan penjelasan rumit.
Ke ruang sunyi yang tak lagi mengkhianati naluriku sendiri.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Ada perubahan kata sedikit, demi kenyamanan pembaca)
 |
Ilustrasi sedang menyembuhkan luka di jiwa (sumber gambar pixabay.com) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Langkah yang Tak Perlu Berdarah, hanya Demi Menemukan Sebuah Bukti Kuat tentang Siapa Sebenarnya Dirimu"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*