Ada masa ketika kita merasa: mereka hanya belum sadar. Kita mencoba lebih sabar. Memberi ruang. Merendah. Bertahan. Bahkan membiarkan diri diinjak dengan harapan mereka suatu saat akan melihat siapa yang tulus.
Namun hari-hari pun berlalu. Bulan berganti. Tahun menua. Dan luka kita hanya makin dalam. Mereka tetap seperti itu. Bahkan seringkali makin halus dalam menjebak, makin lihai menyembunyikan taring di balik senyum, makin pandai memakai topeng simpati untuk mendapatkan kembali kendali.
Sampai satu titik kita mulai menyadari: bukan kita yang terlalu sensitif, tapi mereka yang terlalu manipulatif. Bukan kita yang tak mampu bersabar, tapi mereka yang memang tak mengenal empati. Apa pun bentuk kebaikan yang kita beri, hanya akan dipelintir menjadi senjata. Ketulusan kita ditafsir sebagai kelemahan. Keheningan kita dibaca sebagai ruang untuk menguasai.
Kita pernah percaya mereka akan berubah. Kita mengira mereka bisa disadarkan. Tapi kebenaran pahitnya adalah: mereka tidak mau berubah. Karena dalam dunia mereka, merekalah pusatnya. Segalanya harus tunduk, harus sesuai kehendak mereka. Jika tidak, mereka akan menjadikan kita musuh, atau boneka. Tidak ada di antara.
Maka hari ini, kita berhenti. Bukan karena menyerah. Tapi karena sadar: mempercayai mereka hanya akan merusak kewarasan sendiri. Mengharapkan perubahan dari mereka sama dengan menyiram batu dengan air mata—takkan tumbuh, hanya membuat kita kedinginan.
Kita berhak hidup damai. Kita berhak sembuh. Dan untuk sembuh, kita harus memilih: menjauh, melepaskan, dan membiarkan mereka hidup dalam dunia mereka sendiri—tanpa kita.
Karena kadang, yang paling menyelamatkan bukanlah kasih yang terus diberi, tapi batas yang tegas dijaga. Kita mencintai hidup kita sendiri, lebih dari ilusi bahwa mereka bisa menjadi seseorang yang sejatinya tak pernah mereka minati untuk "menjadi."
Kita dulu berharap, bahkan percaya, bahwa mereka mau berubah—menjadi seseorang yang jujur, empatik, dewasa, dan benar-benar menyayangi kita. Kita membayangkan, mungkin jika kita cukup sabar, cukup berkorban, mereka akan bertransformasi.
Tapi kenyataannya: mereka tak pernah benar-benar berniat menjadi itu.
Perubahan yang kita harapkan—hanyalah ilusi yang kita bangun sendiri.
Mereka bisa saja pura-pura peduli, pura-pura sadar, pura-pura berubah. Tapi dalam diam mereka justru menikmati posisi dominan, tak ingin melepas kendali, dan sama sekali tak minat tumbuh menjadi versi lebih sehat dari diri mereka.
Jadi kalimat itu menyatakan keputusan penting:
Lebih baik mencintai hidup kita sendiri—mencintai kedamaian, kewarasan, dan kebebasan kita—daripada terus berpegang pada angan kosong bahwa mereka akan menjadi seseorang yang bahkan tidak mereka cita-citakan untuk "menjadi."
Itu momen ketika kita berhenti menyiram kaktus berharap tumbuh mawar.
Karena akhirnya… kita memilih hidup. Bukan delusi.
___________________________________
Sumber:
chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
 |
Ilustrasi perubahan yang memberikan harapan baru (sumber gambar pixabay.com) |
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Percuma Memedulikan, Mempercayai, dan Mengharapkan suatu Perubahan dari Mereka"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*