Banjirembun.com - Aku difitnah oleh mantan istri telah menjadi suami yang penuntut alias semua hal yang aku minta harus dituruti. Baik itu dalam urusan seksual maupun masalah keuangan. Padahal, aku enggak pernah marah ketika apa yang aku harapkan tak dipenuhi.
Tatkala permintaanku tak dituruti, aku pilih jalan diam. Kalau memang sikap acuh mantan istri sudah kelewat kurang ajar, barulah aku boikot dia. Aku diamkan. Jangankan mengajak bicara, menatap wajahnya pun tidak. Itu bisa berlangsung hitungan beberapa bulan.
 |
Ilustrasi laki-laki galau gara-gara punya istri kurang ajar (sumber foto pixabay.com) |
Kalau memang aku penuntut, aku pasti sudah memanfaatkan atau mengeksploitasi mantan istri. Baik secara fisik tubuhnya maupun materi hartanya. Namun, justru aku cenderung menjadi suami pasif. Jika tak dilayani maka aku pilih mandiri.
Aku tipe suami yang enggan mengatur-atur. Suami yang pilih menghindari untuk memulai, berinisiatif, ataupun mengambil keputusan berumah tangga secara sepihak. Aku bukan suami pemaksa. Sebab, aku sendiri orangnya ogah dipaksa.
Buktinya, dalam urusan perceraian yang telah terjadi, aku lebih pilih digugat cerai ketimbang mentalak di hadapan Pengadilan. Biarkan istri sebebasnya atau semaunya mengajukan cerai gugat. Aku tidak mencegah. Aku enggak melarangnya.
Aku Trauma Punya Istri yang Kurang Ajar seperti Mantan
Istri yang tidak tahu terima kasih, enggak tahu balas budi, dan tak bisa diajak kerja sama untuk timbal balik. Malah, yang terjadi aku terus yang harus mengalah. Selalu di bawahnya, yang punya karakter intimidatif dan bersifat mendominasi pada suami.
Kalau ada yang tanya, kenapa aku tak bersemangat untuk berusaha secara medis maupun non medis demi bisa memiliki anak kandung? Jawabannya, aku sangat ragu ketika anakku diasuh oleh ibu seperti mantan istriku yang berakhlak buruk.
Jangankan mempercayakan anak pada mantan istri, aku sungguh "jijik" ketika pergi haji bareng bersamanya. Padahal, tahun 2025 sekarang jadwal keberangkatan dia berhaji. Tentulah, aku sebagai suami boleh ikut serta haji bersamanya. Apalagi, pada tahun 2019 aku sudah daftar haji.
Baca juga: Cara Daftar Haji, Agar Bisa Dapat Nomor Porsi Antrian Pemberangkatan Haji
Kenapa aku "malas" berhaji dengannya? Alasan pertama, dia tidak mau membiayaiku haji. Kalaupun aku dibiayai oleh orang tua kandungku, aku amat yakin itu bakal dia klaim bahwa dialah yang membiayaiku. Artinya, mulutnya bakal berkata pada pihak manapun bahwa hajiku dibiayai dia.
Kedua, aku "risih" berdekatan dengan istri di muka umum. Terlebih lagi saat haji. Aku kapok dia berulang kali melakukan hal-hal yang menyakitkan hatiku saat jalan bersamanya di area publik. Tentunya, haji yang aku jalankan bakal berpeluang tidak khusuk dan tak berkualitas.
Ketiga, aku bercita-cita umroh dulu, barulah sesudah itu melaksanakan haji. Aku punya keinginan latihan atau membiasakan diri beraktivitas di Tanah Haram. Sayangnya, mantan istri pada tahun 2024 telah berumroh tanpa mengikutsertakan aku.
Sebenarnya, masih ada sejumlah alasan lain yang membikin aku trauma menikah lagi sehingga memutuskan jomblo saja. Barangkali, di kemudian hari bakal aku ceritakan secara gamblang supaya menjadi bahan pelajaran bagi pembaca.
Semoga cerita ini bermanfaat.
Sanggahan (disclaimer): Tulisan ini dibuat oleh pria bernama Kode X. Tentunya, sebuah identitas samaran. Itu semata-mata demi menjaga privasi dan mempertahankan nilai moralitas. Untuk membaca cerita-cerita tentangnya silakan baca rubrik curhat.
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Aku Trauma Menikah lagi, Lebih Baik Menjomblo dengan Berbagai Alasan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*