Banjirembun.com - Mantan istriku memang bajingan. Aku mengucapkan kalimat tersebut dengan tujuan disematkan padanya tanpa disertai rasa sesal. Sebab, kelakuan buruknya telah keterlaluan amat parah. Aku sudah tak tahan menahan beban yang terpendam.
Sebelum persidangan cerai, aku selama ini hanya berasumsi dan curiga tanpa ada rasa yakin bahwa istri punya perilaku kurang ajar di belakangku. Alasannya, aku tak punya bukti, kecuali minim. Lagian, aku mengacu prinsip berupa asas praduga tak bersalah. Lebih pilih berprasangka baik saja.
Baca juga: Arti Prinsip "Asas Praduga tak Bersalah" dalam Kehidupan Sehari-hari Beserta Contohnya
Selama hidup bersamanya, aku sekadar merasakan ada kejanggalan dan hal yang tak beres. Sayangnya, itu semua tanpa disertai keterangan atau informasi dari orang lain, bukti kuat, maupun fakta terang benderang yang membuatku benar-benar yakin tentang akhlak buruknya.
Aku juga ogah mengorek bagaimana kelakuan busuk mantan istri pada teman kerjanya, tetangga, maupun orang-orang yang dimusuhinya. Meski aku sangat curiga, tetap saja aku tahan diri. Dengan kata lain, aku tidak memata-matai guna mencari aib-aibnya. Itu sangat aku cegah.
Nah, barulah saat sidang perceraian, diperparah sekarang ini yang masih hangat yaitu pada sidang gugatan pembagian harta bersama atau gono-gini, makin membuatku betul-betul yakin bahwa mantan istri memang bajingan. Tambah mantap aku disertai tanpa sesal telah berpisah dengannya.
Lidahnya sangat lihai memelintir atau membolak-balikan fakta, mukanya yang terlihat polos ternyata menyembunyikan pemikiran busuk, otaknya sungguh licik dalam membuat taktik agar ambisinya tercapai, hingga berkarakter minim empati. Itulah hal-hal negatif yang aku ingat darinya.
Aku tahu betul bagaimana perilaku dia sehari-hari. Sebab, aku sudah bertahun-tahun hidup dengannya. Selama berumah tangga itu, aku menyimpulkan bahwa dia bukanlah perempuan yang patut untuk dijadikan istri. Alih-alih untung besar, justru menjadi pasangannya akan menerima kemalangan nasib.
 |
Ilustrasi proses peradilan yang alot (sumber gambar dimodifikasi dari pixabay.com) |
Sesudah ini, aku yakin dia tak akan menikah lagi dengan alasan yang dikemukakannya berupa mengalami trauma berumah tangga denganku. Aku cuma dijadikan kambing hitam sebagai penyebab dia menolak menikah lagi lantaran khawatir gagal lagi. Dengan dalih, takut terulang konflik rumah tangga.
Nyatanya, mayoritas kisruh kami malah dialah biang keroknya. Dalam banyak "benturan" verbal tanpa penganiayaan yang terjadi di rumah tangga, dia amat lihai secara sengaja memancing amarahku. Dia tahu betul bagaimana membuat darahku mendidih tanpa terkendali.
Sadisnya, fakta yang berbentuk marah besar yang aku lakukan telah dia pelintir. Mengatakan bahwa aku telah menganiaya dirinya. Nyatanya, aku marah besar tanpa melakukan kekerasan fisik. Tetangga juga sudah banyak mendengar amukanku tatkala aku marah yang sulit aku kendalikan pada mantan istri.
Pendek kalimat, aku hanya dijadikan alibi sebagai penyebab dia enggan menikah lagi. Biar tidak ada beban ketika ditanya temannya "Kapan nikah lagi?" Tentulah, langsung dijawab dengan cara menjelek-jelekkan aku. Padahal, aku berasumsi dia hanya tak ingin hartanya berkurang digerogoti oleh pasangan barunya sesudah nikah kembali.
Kalaupun menikah, aku yakin hanya dengan pria yang .... (mohon maaf cuma berupa titik-titik karena demi menjaga etika). Itupun, sangat kecil kemungkinannya. Mana mampu dia menikah lagi dengan pria yang berprofesi dosen, anak dari orang kaya bertanah luas, dan punya tabungan rekening bank di awal nikah minimal 32 juta? Siapa pria yang mau? Lihat saja nanti!
Dipikir pakai logika saja, aku dengan dia sudah lama mengalami konflik besar secara verbal sejak awal tahun 2020 (masa pandemi). Masak baru sekarang bilang mengalami trauma. Lagi pula, saat diujung pernikahan sebelum cerai, konflik yang terjadi masih kalah besar dibanding sebelum-sebelumnya yang cukup kerap terjadi.
Baca juga: Tiga Alasan Akan Banyak Pasangan Bercerai Saat Wabah COVID-19 Berakhir
Anehnya, menikah selama 7,5 tahun, kok baru sekarang mantan istri bilang mengalami traumatis hidup bersamaku? Sebaliknya, malah, aku yang sesungguhnya trauma menikah dengan perempuan seperti dia. Lebih dari itu, di waktu sebelumnya, aku sudah memberinya saran untuk pisah atau bercerai saja daripada ribut terus. Akan tetapi, dia menolak.
Lantas, kenapa baru akhir-akhir ini dia mengajukan gugatan perceraian? Patut aku curiga, penyebabnya adalah hal-hal yang menjadi rencana hidupnya bakal gagal ketika dia tetap berumah tangga denganku. Artinya, aku sudah tak punya potensi bisa dimanfaatkan dia lagi. Ibarat kata, habis manis sepah dibuang.
Berikut 5 alasan kenapa aku sudah dianggap tak menguntungkan lagi olehnya:
1. Aku gagal berhaji dengannya di tahun 2025 ini. Kegagalan haji disebabkan orang tua kandungku tidak mau membiayaiku untuk berhaji. Di sisi lain, mantan istri pun tidak mau membiayaiku. Liciknya, kendati orang tua kandungku mau membiayai, aku yakin bakal diklaim oleh mantan istri bahwa dialah yang membiayai berhaji.
2. Dia merasa tak mampu menguasai rumahku yang dibelikan oleh orang tua kandung. Ditambah pula, menganggap dirinya berpotensi gagal atau bakal kesulitan menguasai tanah ukuran amat luas yang kelak aku peroleh dari orang tua kandungku.
3. Salah satu orang tua kandung mantan istri meninggal. Mertuaku tersebut sudah mewanti-wanti untuk jangan bercerai. Mantan istri pun, takut bercerai saat orang tuanya masih hidup.
4. Penghasilan uang yang aku peroleh turun. Parahnya, mantan istri menunjukkan gelagat bahwa aku seolah suami pengangguran tanpa pendapatan duit sama sekali. Dia menonjolkan diri sebagai istri yang membiayai seluruh hidup suami selama pernikahan. Padahal, faktanya tidak begitu.
5. Aku sudah tidak bisa diatur dan diperdaya olehnya lagi. Terbukti, tak lama sebelum cerai, aku sengaja memberikan ketegasan pada dia terkait harta benda dan hal-hal semacamnya, yang itu membuatnya merasa jadi pihak yang kelak tak diuntungkan. Aku bertindak seperti itu memang sengaja supaya dia mengajukan gugatan perceraian. Bersyukurnya, aku berhasil.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Sanggahan (disclaimer): Tulisan ini dibuat oleh pria bernama Kode X. Tentunya, sebuah identitas samaran. Itu semata-mata demi menjaga privasi dan mempertahankan nilai moralitas. Untuk membaca cerita-cerita tentangnya silakan baca rubrik curhat.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Di Ruang Mediasi di Hadapan Mediator pada Pengadilan Agama, Aku Menyebut Mantan Istri dengan Ungkapan "Bajingan!""
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*