Banjirembun.com - Luka batin akibat kerumitan kisah cinta pertama merupakan salah satu trauma yang sulit terlupakan. Meski mungkin sayatan itu tak terlalu menyakitkan, tetapi tatkala ada faktor lain yang memperparah, tentulah tetap berujung derita berkepanjangan.
Hal inilah yang dialami oleh Jonathan. Barangkali, Heni pun merasakan rasa sakit yang sama. Beda pemicu, dengan luka jiwa yang hampir setara. Oleh sebab itu, diperlukan terapi kesehatan mental. Demi memastikan kenangan cinta mereka tak lagi meninggalkan beban emosional.
Tiga cara yang ditempuh oleh Jonathan dalam melakukan katarsis supaya "sembuh" dari trauma cinta pertama di antaranya:
1. Mengirimkan surat terbuka ditujukan kepada Heni di blog pribadi.
2. Menulis narasi fiksi "Jika aku kembali pada masa lalu bertemu Heni di SMA maka..."
3. Membaca surat yang seolah-olah ditulis Heni yang dibuat bertahun-tahun setelah mereka lama berpisah.
Di mana, tiga metode katarsis di atas difokuskan pada saat kejadian mereka berdua di bawah pohon kelengkeng sekolah. Hal itu, sebagaimana yang telah diceritakan pada bagian pertama pada novel berjudul "Di Tanah Perantauan." Silakan baca novelnya di https://www.banjirembun.com/2025/02/isi-novel-berjudul-di-tanah-perantauan.html.
Berikut adalah tiga cara katarsis demi menyembuhkan luka di hati Jonathan akibat kegagalannya menghubungkan perasaan di jiwa kepada Heni secara elegan:
1. Surat Terbuka dari Jonathan untuk Heni
(Adaptasi dari puisi berjudul Tragedi di Bawah Pohon Kelengkeng Sekolah diubah menjadi prosa naratif personal)
Kepada Heni, perempuan yang dulu pernah duduk bersamaku di bawah pohon kelengkeng,
Maaf jika surat ini terlalu lama tertunda. Seharusnya aku menulisnya bertahun-tahun lalu, pada hari itu juga, ketika kita masih berseragam putih abu-abu, duduk berhadapan di kursi beton yang melingkar. Tapi waktu itu, aku kalah. Aku takut. Aku diam. Aku salah.
Hari itu, aku ingin mengatakan sesuatu. Bukan untuk menembakmu, bukan memaksamu mencintaiku, tapi hanya untuk jujur—bahwa aku menyukaimu. Bahwa kehadiranmu mengisi hari-hariku tanpa pernah kuminta. Bahwa aku menyayangimu dalam diam dan kesendirian, dengan cara yang bahkan aku sendiri tak pahami saat itu.
Jika saja aku berani jujur maka mungkin aku akan merasa bebas. Bebas dengan cara yang elegan—tanpa perlu menyimpan rasa secara sembunyi-sembunyi. Tanpa perlu berpura-pura menjadi teman biasa seangkatan SMA. Tanpa perlu tersenyum dan cari perhatian di depanmu, lalu "bersembunyi" merenungi nasib sendiri di lantai dua Masjid sekolah kala malam datang.
Dan seandainya kamu menolak, aku akan menerimanya. Karena tujuanku bukan untuk memilikimu, tapi untuk tidak menyakiti diriku sendiri dengan terus menyembunyikan apa yang begitu nyata kurasakan. Bahkan, rasa cintaku padamu waktu itu, mampu menaklukkan derita trauma masa kecilku.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku membisu, dan kamu menjauh. Lalu tahun-tahun berjalan begitu cepat. Kita lulus. Kita dewasa. Kita menikah—dengan orang yang berbeda. Walau kini aku telah bercerai. Kita punya cerita hidup masing-masing. Namun satu hal yang tidak pernah berubah: penyesalanku.
Ada satu kalimat yang terus terngiang sejak hari itu: “Firasat kita sama. Kita memang saling suka.” Entah benar atau tidak, aku percaya kamu juga merasakan hal yang sama.
Tapi seperti aku, kamu pun memilih diam. Tanpa mau memulai langsung membuka percakapan denganku. Kita sama-sama menunggu, dan akhirnya sama-sama kehilangan.
Kini, aku menulis ini bukan untuk membuka luka lama, tapi untuk menyembuhkan diriku sendiri. Mungkin ini bentuk paling jujur dari keberanianku yang tertunda.
Jika suatu hari kamu membaca surat ini, anggaplah ini sebagai salam damai dari seseorang yang pernah menyayangimu dalam senyap. Dan meski kita tidak bisa kembali ke bawah pohon kelengkeng itu, aku percaya... saat itu, kita pernah berada dalam frekuensi yang sama.
Dengan segala ketulusan,
Jonathan
2. Adegan Naratif Fiksi dari Sisi Jonathan yang Menurutnya seharusnya Terjadi– “Satu Hari di Bawah Pohon Kelengkeng pada Masa Akhir SMA”
Hening. Hanya desir angin menyapu dedaunan kelengkeng di atas kepala Jonathan. Matahari hampir memuncak di tengah langit, memancarkan cahaya terang di sela-sela dua gedung kelas sekolah yang berdiri sejajar membetuk angka 11.
Jonathan setengah menunduk. Di hadapannya, tiba-tiba Heni datang bersama satu temannya. Dia menggeser posisi duduknya di kursi melingkar yang terbuat dari semen cor, seakan tahu sesuatu akan diucapkan.
“Hen…” Jonathan menarik napas dalam. Hatinya bergemuruh. Tapi lidahnya kelu.
Heni menatapnya—lama. Matanya menyiratkan harapan. Seolah berkata: “Katakan saja. Aku mendengarkan.”
Tapi Jonathan diam. Kata-kata itu hanya berputar di kepalanya. Ia ingin bilang: “Aku menyukaimu, Hen. Bukan untuk pacaran. Aku cuma ingin jujur.”
Tapi yang keluar hanya lamunan, lalu senyum dipaksakan. Ia bangkit berdiri. “Aku ke kelas duluan, ya.”
Heni mengangguk. Namun sorot matanya redup. Seperti ada yang ia tunggu, tapi akhirnya pupus.
Saat Jonathan melangkah pergi, ia tahu. Ia baru saja kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.
Dalam hatinya, Heni pun berbisik: “Aku juga punya firasat yang sama. Setidaknya, kamu sudah berusaha menyapaku.”
Tanpa dinyana, Jonathan segera datang kembali menuju Heni. Membawa dua lembar kertas yang menyatu. Hasil pencopotan paksa dari tengah-tengah buku tulisnya. Sembari memberikan kerta itu, Jonathan berucap lirih: “Baca ini. Nanti saat di rumah, jangan baca sekarang.”
Isi surat itu: "Aku ada rasa suka padamu. Maaf, tetapi aku belum siap pacaran. Terpenting, kamu sudah tahu isi hatiku, yang telah terpendam sejak awal masuk SMA."
Setelah memberikan surat itu, hati Jonathan menjadi lega. Heni pun, walau belum tahu isinya, ia seketika membatin "Inilah yang aku tunggu selama tiga tahun, sebuah usaha nyata darimu, mengungkapkan sesuatu padaku. Tanpa aku peduli, kamu cinta padaku atau tidak."
Esoknya, Heni memberi balasan surat dari Jonathan secara langsung. Tanpa penghubung atau perantara. Ditulis di atas kertas tebal berwarna-warni. Dimasukkan pada amlop bernuansa ceria. Isinya:
“Untuk Jonathan. Aku mengakui, sejujurnya perasaan kita sama. Aku juga tak menuntutmu dalam bentuk apapun. Aku menghargai keputusanmu. Semoga ini terbaik untuk kita. Dari Heni.”
Akhirnya, mereka berdua sama-sama mampu melepaskan rasa yang selama 3 tahun terpendam. Tanpa ada omongan. Tanpa ada kepastian. Berujung penuh kebingungan.
Kini, semua sudah pasti. Tiada lagi rasa penasaran. Tak ada lagi penderitaan akibat tindakan "membingungkan" tanpa kata-kata. Heni dan Jonathan berbahagia hatinya sebelum kelulusan SMA tiba.
3. Membaca Surat dari Heni di Masa Sekarang tentang “Firasat Kita Sama”
Heni – bertahun-tahun kemudian menulis surat demi pelepasan dan penutupan kisah secara damai:
Kepada Jonathan,
Seharusnya kamu tahu di mana tempat yang paling menyimpan luka saat di SMA dulu. Aku masih ingat tempat itu—di bawah pohon kelengkeng sekolah. Di kursi bundar melingkari pohon yang hanya bisa menampung enam orang. Tempat para siswa sering berbagi cerita, tawa, dan diam.
Hari itu aku berharap sesuatu darimu. Entah kata, isyarat, atau keberanian yang sederhana. Tapi yang kuterima hanya tingkah kikuk dan langkah menjauh tanpa sepatah kata apapun.
Aku tahu kamu menyukaiku. Aku juga. Tapi tak ada yang bicara. Tak ada yang berani mengambil risiko. Kita terlalu takut merusak yang sudah nyaman. Padahal, rasa diam-diam itu lama-lama jadi sesak.
Setelah kamu pergi dari sekolah, aku berharap kamu pamit. Tapi tidak. Kamu pergi begitu saja.
Saat itu, aku merasa tak berada lagi di matamu. Aku merasa… mungkin aku salah mengira. Tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu: firasat kita sama. Kita memang saling suka.
Sekarang, ketika aku tahu kamu pernah merasa bersalah, aku tak marah. Hanya sedih. Karena aku juga punya beban yang tak pernah selesai kutuliskan.
Andai saja kita bicara waktu itu…
Mungkin kita tetap berpisah. Tapi setidaknya, kita tidak akan saling menyalahkan diam sendiri-sendiri.
Semoga, setelah kita sama-sama tahu dengan jelas bagaimana seharusnya akhir cerita kita di SMA, tak ada lagi beban di hatimu.
Aku pun, sudah memaafkanmu. Aku juga berterima kasih atas kejujuranmu. Walaupun terlambat kamu ucap, aku tetap menghargai niat baikmu.
Setelah ini, semoga kita bisa menjalani jalan hidup masing-masing dengan tenang. Tiada lagi ingatan atau kenangan antara kita yang mengganjal pikiran.
Aku ingin hidupmu bahagia, sebagaimana yang pernah kamu tuliskan di blog pribadimu, yang juga menginginkan kehidupanku bahagia bersama suami serta anak-anakku.
Sekian.
Dari Heni
Ketiga bentuk katarsis di atas —surat terbuka Jonathan, adegan naratif "Andai aku dulu...," dan surat dari Heni dewasa di masa sekarang— bisa menjadi pemulihan emosional bagi Jonathan yang mengalami trauma terkait cinta pertama. Di mana, langkah tersebut bisa ditiru oleh seseorang yang mengalami kasus mirip Jonathan.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tulisan di atas diedit dari tanggapan panjang kecerdasan buatan bernama ChatGPT yang menyarankan melakukan 3 bentuk katarsis di atas.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "3 Cara Katarsis Demi Sembuh dari Trauma "Pohon Kelengkeng" Akibat Kegagalan Jonathan Menghubungkan Perasaannya kepada Heni secara Elegan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*