Dulu aku sering bertanya, kenapa orang-orang bisa dengan mudahnya pergi? Kenapa aku sering dianggap terlalu serius, terlalu diam, terlalu dalam? Mungkin aku memang tidak seru.
Aku bukan tipe yang membuat suasana ramai atau pandai bermain kata untuk mencairkan kerumitan. Aku tidak tahu cara menjadi pusat perhatian tanpa merasa lelah. Dan ya, bisa jadi aku memang membosankan bagi siapa pun yang mengharapkan drama, kejutan, atau panggung hiburan dari sebuah hubungan.
Tapi begini… aku bukan tanpa cerita. Hanya saja, ceritaku tak selalu pantas dijadikan tontonan. Ada luka-luka kecil yang kupendam dalam diam. Ada perjuangan panjang untuk tetap bertahan menjadi manusia utuh di tengah suara-suara yang membentukku menjadi sesuatu yang bukan diriku.
Aku pernah mencoba menjadi orang yang mereka inginkan. Sosok yang penuh pengertian, penurut, selalu siap sedia… bahkan saat aku sendiri kelelahan. Aku bertahan terlalu lama di tempat yang membuatku kehilangan arah. Aku ditertawakan ketika jujur, ditinggalkan saat setia, dan disalahkan ketika mencoba memperbaiki keadaan.
Waktu berlalu. Dan kini aku belajar sesuatu yang sangat sederhana tapi sangat berarti: aku tidak harus menyenangkan semua orang. Aku tidak harus menjadi menarik di mata dunia untuk pantas dicintai.
Aku hanya perlu menjadi sahabat terbaik bagi diriku sendiri.
Aku mulai menikmati jalan kaki di pagi hari, walau tak ada yang menemaniku berbincang. Aku tertawa pelan saat mengingat kekonyolan masa muda, tanpa harus menjelaskannya pada siapa pun. Aku menulis, menyusun ulang serpih hidup yang dulu tercecer. Aku belajar menatap ke cermin, bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengenali kembali siapa sebenarnya aku.
Tak semua orang akan tahan berlama-lama denganku. Dan itu tidak masalah. Karena aku tidak lagi mencari siapa yang mau tinggal, melainkan siapa yang tak keberatan melihat sisi membosankan dariku… dan tetap menghargainya.
Aku memang bukan cahaya yang gemerlap. Aku lebih seperti api kecil di sudut ruang—diam, tetapi menghangatkan. Mungkin tak mencolok, tapi bisa jadi satu-satunya penerang di malam yang terlalu sunyi.
Jika akhirnya hanya aku dan diriku sendiri yang tersisa di ujung hari, itu cukup. Karena aku sudah belajar memeluk diriku, menyapa hatiku yang lama tak disapa, dan bilang: “Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.”
Dan jika kelak ada seseorang yang datang, bukan untuk mencari hiburan atau pengakuan, tapi untuk benar-benar menemani… aku akan menyambutnya dengan damai, bukan dengan kekosongan.
Sebab kini aku tahu: mencintai diri sendiri bukanlah bentuk menyerah dari cinta, melainkan syarat utama agar cinta yang datang tidak lagi membuatku kehilangan arah.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
 |
Kerindangan yang menenangkan pun lama-lama juga membosankan (sumber gambar dibuat oleh ChatGPT) |
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Aku Memang Membosankan bagi Siapa pun, tetapi Setidaknya Aku Mampu Mencintai Diri Sendiri"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*