Ada nama yang dahulu kusebut dengan bangga, kujalani dengan segala harap. Jonathan. Dulu, ia seperti jubah yang kupakai dalam setiap panggung kehidupan, baik ketika aku dihormati maupun ketika dilukai. Tapi kini, jubah itu terasa asing. Terlalu banyak luka yang menempel di lipatannya. Terlalu banyak suara asing yang memanggil nama itu bukan untuk merawatku, tapi untuk menundukkanku.
Aku lelah membawa nama yang membuatku terus kembali pada ruang-ruang lama: ruang penghakiman, ruang manipulasi, ruang penuh kabut dan gema suara palsu yang menyamar sebagai kasih. Setiap kali nama itu dipanggil, ada semacam isyarat batin untuk tunduk, untuk kembali menjadi anak baik, suami baik, lelaki yang rela dibentuk sesuai ekspektasi orang lain. Tapi aku sudah tak ingin tunduk. Aku bukan lagi Jonathan yang dulu.
Pergantian nama ini bukan pelarian. Ini pemulihan. Aku tak sedang membuang masa lalu, tapi aku sedang menyaringnya. Apa yang sejati akan tetap tinggal, dan yang palsu akan luruh bersama suara yang dulu kuanggap suci, namun ternyata hanya topeng. Nama baru ini, apa pun nanti bentuknya, adalah komitmen. Bahwa aku tak lagi hidup demi pengakuan siapa pun. Bahwa aku sudah cukup menjadi manusia yang bernafas karena dirinya sendiri, bukan demi peran yang disutradarai oleh trauma orang lain.
Aku tahu, sebagian orang akan tetap memanggilku dengan nama lama. Biarlah. Aku tak bisa mengubah memori orang. Tapi aku bisa menjaga makna dalam diriku. Jika nama baru ini belum disebutkan dengan lidah, setidaknya ia telah terpatri di jiwa. Aku bukan lagi Jonathan. Dan itu bukan sekadar keputusan administratif, tapi pernyataan batin: aku pulang ke diriku sendiri.
Namaku Tak Lagi Jonathan
Namaku dulu Jonathan,
dipanggil di rumah, di sekolah, di mimpi orang lain.
Kudengar namaku bagai mantra—
tapi bukan untuk membangkitkan,
melainkan mengikat.
Aku tumbuh di ladang suara-suara
yang memahat diriku seperti tanah liat
dengan tangan yang tak kukenal.
Aku pun percaya—
bahwa diriku harus seperti itu.
Tapi kini aku menolak dipanggil seperti dulu.
Aku bukan lagi nama yang dibentuk luka.
Bukan pelayan kenangan orang lain.
Aku adalah aku,
tanpa embel-embel masa silam.
Biar mereka tetap memanggil,
dengan nama yang tak lagi menjawab.
Biar gema itu hilang di dinding waktu.
Aku telah mencabut akar dari tanah semu
dan kini menanam diriku sendiri di langit sunyi.
Aku tak ingin lagi menjadi Jonathan.
Bukan karena benci—
tapi karena aku akhirnya sayang pada diriku sendiri.
Yang diam-diam ingin bebas,
dan kini benar-benar bebas.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)  |
Aku bukan bernama Jonathan lagi (sumber gambar dibuat oleh ChatGPT) |
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Melepaskan Nama Jonathan pada Diriku: Tanda Aku telah Bangkit"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*