Dalam Sunyi Grup WA di Kala Rindu
Grup WhatsApp alumni SMA itu tiba-tiba ramai. Seperti biasanya, sebagian besar hanya membahas nostalgia masa sekolah, kabar atau informasi terkini, atau sekadar bercanda ria, termasuk kirim stiker lucu.
Tapi kali ini, Jonathan mengirim satu pesan yang mungkin membuat beberapa orang berhenti scroll:
"Ada yang tahu nomor Heni?"
Singkat. Padat. Seolah Jonathan sedang mencari tukang servis ponsel atau teman SD yang lama hilang. Padahal, bukan sekadar itu. Ada guncangan kecil di ujung jemari Jonathan saat menulisnya.
Ada denyut di dada yang tak bisa dia tenangkan meski ditahan dengan kalimat yang tampak biasa. Hari itu Jonathan memutuskan nekat. Dengan niat, untuk kebaikan dia dengan Heni. Tentu, demi menyelamatkan guncangan jiwanya sendiri.
Pertanyaan itu, terlalu biasa bagi sebuah ledakan batin yang telah lama terkubur. Tak ada penjelasan. Tak ada konteks. Hanya sebuah nama yang perlahan membuat udara di ruang chat menjadi sedikit lebih padat.
Tak lama, ada yang langsung memberi kontak Heni, tanpa basa-basi seketika dikirim ke grup. Ada yang merespons, tetapi isi chatnya bukan yang diinginkan Jonathan. Padahal, suasana hati Jonathan sedang kalut.
 |
Ilustrasi tetesan-tetesan air kerinduan (sumber gambar pixabay.com) |
Dalam beberapa hari berikutnya, Jonathan mulai membagikan artikel curhat dan puisi. Semuanya terasa sangat personal. Tentang kehilangan, tentang rindu yang mengering, tentang seorang cewek yang tak disebutkan namanya tapi terasa sangat nyata.
Setelah kehadiran Jonathan terlalu "frontal" dengan puisi-puisi yang bernapas rindu,
artikel-artikel yang terlalu jujur untuk disebut fiksi, sampai akhirnya, satu teman bertanya dengan penasaran di grup, yang kurang lebih chatnya:
“Sebenarnya, siapa sih mantanmu waktu SMA, Jon?”
Dialog Jonathan (dalam hati):
“Kalau kujawab ‘Heni’, apa yang akan mereka lakukan? Tertawa? Kepo? Menghubungi dia diam-diam?”
“Ini bukan gosip, bukan bahan bercanda.”
“Ini luka yang kupeluk erat—bukan untuk ditunjukkan seperti medali. Tapi untuk kupahami, untuk kudamaikan.”
“Jika mereka benar-benar ingin tahu, biarlah mereka membaca puisi-puisiku. Biarlah mereka tenggelam dalam isyarat, karena aku bukan anak SMA yang ingin semua orang tahu siapa yang dulu kucintai.”
Hati Jonathan bergetar. Bukan karena ingin menjawab, tapi karena tahu, dia tak akan menjawab.
Jonathan tidak membalas.
Hanya membaca.
Kadang, menyebut nama seseorang di ruang publik terasa lebih menakutkan daripada kehilangan itu sendiri. Karena nama mengandung kenangan. Nama membawa luka-luka yang pernah tak kita bagi.
Karena menyebut nama Heni di sana—di tengah forum bercanda, adalah seperti mengupas luka di tengah pasar ramai, memamerkan perih kepada yang tak tahu rasanya.
Jonathan memilih diam bukan karena takut. Tapi karena Jonathan sedang belajar menghormati luka.
Jonathan tidak ingin kisahnya dengan Heni menjadi candaan.
Tak ingin nama Heni hanyut dalam obrolan ringan, lalu tenggelam dalam tawa pendek yang mereka sendiri tak paham artinya.
Bagi yang bertanya siapa mantan Jonathan di waktu SMA, bacalah puisi-puisi itu. Saring maknanya.
Biarlah...
biarlah pembacanya menebak.
Siapa yang jeli akan tahu.
Siapa yang peduli akan membaca.
Dan siapa yang pernah patah akan mengerti.
Jonathan lebih memilih mereka menyimpulkan dari potongan-potongan yang dibagikan: dari puisi yang mengulang kata "pohon kelengkeng", dari artikel yang menyebut tingkah Heni yang anggun serta membekas di kenangan, dari bait yang mendoakan Heni bahagia, tanpa pernah meminta Heni kembali.
Jonathan tak ingin menyebut namanya karena dia ingin kau tetap utuh dalam kesunyian. Tak terjamah, tak tersentuh, tapi nyata.
Dan jika kamu bisa merasakan sesuatu tanpa Jonathan menyebutkan nama, maka mungkin kamu pernah mencintai seperti Jonathan.
Tamat.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Cerpen Kisah Nyata: "Aku Tidak Menyebut Namamu, Tapi Biarlah Mereka Membaca Sendiri""
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*