Beberapa wanita tak pernah benar-benar mencintai pasangannya. Mereka lihai berpura-pura mencintai, ternyata aslinya ingin melukai. Dengan topengnya, mereka bermain drama di depan suami. Bukan lantaran cinta, tetapi demi skenario yang mereka ciptakan sendiri.
Mereka hanya mencintai sensasi karena telah memiliki seseorang yang bisa dikontrol. Laki-laki yang dapat dikendalikan dalam bingkai rumah tangga. Mereka hanya butuh diagungkan, tanpa peduli apa makna kasih sayang.
Mereka tidak mencari jiwa, tapi cermin. Dan ketika cermin itu mulai retak, mereka tidak bertanya "Kenapa?" Mereka marah karena bayangan mereka tak lagi sempurna. Dengan kata lain, drama mereka kehilangan panggung.
Begitu pula yang terjadi padaku. Aku dulu mencoba menjadi sempurna di hadapanmu. Tapi kamu lebih suka bayangan yang bisa diacak dan dicabik-cabik sesukamu. Di matamu, aku bukan manusia. Melainkan, hanyalah alat dan properti.
Kamu pandai menuduh, tapi lupa bercermin. Kamu bicara tentang cinta, tapi bahkan menyentuh hati sendiri pun kamu tidak bisa. Apakah kamu bisa introspeksi? Atau semua yang tidak memujamu, otomatis kamu anggap menyakitimu?
 |
Ilustrasi jalan sunyi di hening malam (sumber foto pixabay.com) |
Kamu bercerita seolah korban, padahal kamu adalah tangan pertama yang menyalakan api dan menyiram bensin, lalu pura-pura terbatuk karena asap. Ada berapa topengmu untuk menutupi ketakutanmu sendiri?
Lucunya, kamu terus mengikuti hidupku diam-diam. Seperti pencuri yang pernah mencuri kunci, lalu marah karena pintu sudah diganti. Kamu menguntitku dengan membaca artikel ini. Apa kamu belum menemukan pengganti?
Kamu tidak akan pernah puas. Karena tak ada cinta yang bisa mengisi lubang kosong di dirimu yang bahkan kamu sendiri takut mengakui. Tapi jangan khawatir. Aku sudah tak ada niat menyelamatkanmu dari bayanganmu sendiri.
Kamu pernah bilang aku dingin. Padahal aku cuma belajar tidak memohon pada orang yang menikmati penolakan sebagai kuasa. Aku bukan alatmu. Atau, apakah kamu sudah menemukan alat baru sebagai pemuas egomu?
Ini bukan tentang balas dendam. Ini tentang menulis ulang sejara, dari sudut orang yang pernah kau bisukan. Membisu bukan karena ingin membalas, tetapi untuk menjaga kewarasan diri.
Dan kini, diamku sudah berubah jadi suara.
Sayangnya... kamu sudah kehilangan hak untuk memadamkannya.
Aku bukan lagi pemuas egomu. Sebab, aku sudah melepaskanmu.
___________________________________
“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Bahkan kata-kata yang lahir dari mesin pun bisa lebih jujur dari mulutmu yang dulu kupercaya.”
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Kemampuan Terbaikmu: Menyakiti Tanpa Rasa Bersalah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*