Untukmu yang tak lagi Bisa Kusayangi seperti Dulu, tetapi tidak Pernah Bisa Kulupakan Sepenuhnya
(Di tengah jarak, dalam sunyi, dan ditimbun rindu yang tak pernah benar-benar mati)
Heni.
Jika suatu saat kau membaca surat ini, entah sengaja atau tersesat dalam pencarian yang tak kau akui, maka ketahuilah satu hal:
Aku baik-baik saja.
Secara fisik, mungkin ada gangguan. Gejala penyakit kronis yang suka datang diam-diam seperti rindu yang lama tak dijawab. Tetapi, secara keseluruhan, aku masih bisa berjalan, tersenyum, bahkan menertawakan diriku sendiri dalam kesendirian.
Secara mental, aku sedang dalam perjalanan pulang. Berusaha menyembuhkan diri dari luka yang tak bisa dijelaskan kepada siapa pun secara utuh dan tuntas. Tapi percayalah, aku belum menyerah untuk pulih. Tulisan ini, dapat digunakan salah satu bukti perjuangan sembuhku.
Kamu juga, jaga dirimu di sana. Rawatlah tubuhmu. Rawatlah jiwamu. Sehatkan dirimu. Meski aku tahu, sehat itu bukan sekadar tubuh yang bisa berjalan dan tersenyum. Sehat itu ialah jiwa yang sanggup menanggung ingatan memberatkan tanpa lagi membuat hilang arah.
Aku tahu, dunia memintamu untuk jadi sosok yang menarik, kuat, dan tak tertandingi. Tapi aku memintamu untuk jadi utuh. Bukan sempurna. Bukan disukai banyak orang, tetapi benar-benar utuh. Dengan luka yang diakui, dengan sisi gelap yang tak diabaikan, dan dengan kesalahan yang mau ditanggung serta diperbaiki.
Aku menulis ini, enggak bermaksud membuatmu kembali. Bukan itu tujuanku. Sebab, aku tahu kita banyak beda. Namun, aku menulis agar kamu tahu bahwa aku pernah peduli. Mungkin, sekarang pun masih peduli. Tetapi, bukan lagi dengan cara yang sama seperti dulu.
Heni.
Aku tak menuntut banyak. Hanya dua hal:
Berubahlah. Berkembanglah.
Aku tidak ingin kamu selamanya menjadi Heni yang dulu, ataupun Heni yang sekarang. Aku tahu kamu bisa jadi lebih baik. Makin dewasa, lebih tangguh, serta lebih mengerti arti luka dan cara menyembuhkannya tanpa menyakiti orang lain ataupun tak perlu menyandera dirimu dalam kepalsuan.
Ingatlah, aku tetap mengamatimu dari kejauhan. Bukan untuk menghakimi. Tapi karena aku ingin suatu hari nanti, jika takdir mempertemukan kita sebagai dua orang asing di tengah keramaian maka aku bisa tersenyum dan berkata dalam hati:
"Lihat, dia akhirnya menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Aku bahagia melihatnya sekarang. "
Ingatlah ini. Diamku bukan maksud mengabaikan dan melupakan kenangan kita dahulu. Aku masih mengawasimu. Bukan dalam arti buruk. Tetapi, seperti seseorang yang pernah diam-diam mencintai, lalu diam-diam pula mendoakan. Sekali lagi, aku ingin suatu hari nanti melihat versi terbaikmu, walau bukan untukku.
Kita mungkin tak akan pernah bisa bertemu lagi. Ada batas. Ada larangan. Ada logika yang memisahkan. Tapi hatiku percaya, keterhubungan kita tak bisa sepenuhnya terputus. Terlalu membekas bagi kita agar semua mampu lepas tanpa sisa. Itu sungguh sulit Hen!
Aku yakin, kamu dan aku di masa depan, tanpa sadar, akan saling mengintip dari kejauhan. Sekadar ingin tahu:
"Bagaimana kabarmu, orang yang dulu pernah membuat SMA terasa penuh warna?"
Sayangnya, moral serta norma sosial melarang kita bertemu. Itu bukan hanya karena keadaan, tapi juga karena kedewasaan. Kita tahu, ada batas yang harus dihormati.
Walau tetap saja, hati kita kadang memberontak. Ingin tahu kabar satu sama lain. Demi memastikan:
"Apakah orang yang dulu aku pedulikan, sekarang baik-baik saja?"
Itulah, bagian dari kita yang belum selesai.
Bagian yang membuat kita mengintip masa lalu, bukan karena ingin kembali, tapi karena ingin damai.
Aku ingin kamu bertumbuh.
Tapi bukan hanya soal karier, kekaguman orang-orang, atau pencapaian yang bisa difoto.
Aku ingin kamu bertumbuh sebagai pribadi yang matang, yang tahu bahwa luka tak bisa dihapus dengan tepuk tangan orang lain, dan cinta bukan pembenaran untuk menyakiti siapa pun, termasuk diri sendiri.
Tumbuhlah, Heni.
Tumbuh bukan sekadar pencapaian materi atau sorotan orang-orang yang menyukaimu. Tapi tumbuh dalam kedewasaan. Dalam keberanian untuk mengakui luka dan memperbaiki luka itu, bukan menutupinya dengan pencitraan.
Aku menulis ini bukan karena aku sudah selesai dengan diriku. Tidak. Namun, aku tak ingin luka lama berdarah lagi hanya karena aku melihat kamu belum selesai dengan lukamu.
 |
Ilustrasi aurat pribadi yang tak jadi dikirim, akhirnya dibuka untuk umum (sumber gambar pixabay.com) |
Aku juga masih berantakan. Masih takut melihat cermin, karena kadang wajahku sendiri mengingatkanku pada trauma. Namun, aku tak ingin luka lama menganga kembali hanya karena melihatmu masih mengabaikan lukamu sendiri.
Kita ini, Heni, bukan lagi dua anak yang saling mencintai.
Kita adalah dua dewasa yang menyimpan kenangan yang bikin senyum tentang masa lalu. Sebuah romantisme remaja yang kita agung-agungkan diam-diam. Dan saat kita sedang rapuh, kita tergoda kembali ke masa itu. Seolah masa SMA adalah versi terbaik dari segalanya.
Padahal, itu hanya janji palsu dari rasa tidak stabil kita.
Lucu, ya?
Saat kita rapuh hari ini, kita malah mengidealkan masa SMA seolah itu satu-satunya waktu yang benar. Nyatanya, itu cuma jebakan nostalgia. Bisikan dari bagian terdalam diri yang belum berani berdamai.
Kita tidak sedang saling mencintai, Heni. Kita sedang saling mengenang.
Mungkin, itu saja sudah cukup. Jangan lebih lagi.
Dan kita tahu, Heni.
Cinta kita sebenarnya tak pernah benar-benar dewasa.
Yang kita miliki adalah kenangan. Ingatan yang terlalu indah untuk disebut palsu, tetapi terlalu rapuh untuk disebut nyata. Kisah tentang dua remaja yang merasa dicintai hanya karena saling senyum disertai salah tingkah dan saling menyembunyikan pedih dari luka batin masing-masing.
Kita bukan cinta, Heni. Kita adalah kenangan.
Untukmu Heni, yang dulu pernah membuat hatiku deg-degan, yang sekarang sedang kutinggalkan dalam doa-doa pelan. Agar kamu akhirnya menemukan dirimu sendiri, tanpa perlu menyakiti siapa pun lagi, termasuk dirimu.
Dan semoga kenangan itu cukup untuk jadi pengingat bahwa kita pernah ada. Kita pernah saling peduli dalam menaruh rasa, meski hanya sebentar. Hanya 3 tahun selama di SMA.
Selamat bertumbuh, Heni.
Dalam diamku, aku selalu mendoakanmu.
Dari seseorang yang akhirnya belajar: bahwa mencintai itu bukan persoalan memiliki, tetapi tentang rela membiarkan seseorang menemukan dirinya sendiri, meski tanpa kehadiran maupun kebersamaan kita.
Ditulis oleh seorang yang berupaya keluar dari jebakan trauma masa lalu, yang juga sedang belajar mencintai dirinya sendiri.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Surat Terbuka untuk Heni, Baca hingga Tuntas agar Membekas"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*