Banjirembun.com - Saya mencoba untuk "mengkonsultasikan" kegundahan hati Jonathan kepada kecerdasan buatan. Saya memberikan prompt cukup detail. Setidaknya, saya menyuguhkan konteks di prompt itu.
Kegelisahan Jonathan disebabkan dirinya merasa punya salah terhadap Heni. Di mana, dia pernah membuka kenangan masa lalu bersama Heni di SMA secara vulgar. Alhasil, banyak teman seangkatan mereka yang ikut mengetahui.
Baca juga: Alasan Jonathan dan Heni bakal Kesulitan Melupakan Kisah Komunikasi Nonverbal alias Hubungan Tanpa Bicara di Antara Mereka saat Masih di SMA
Walaupun tak ada niat jahat seperti manipulatif maupun mengganggu kehidupan Heni dalam artian gangguan negatif, tetap saja Jonathan punya beban moral. Apalagi, kini dia telah berhasil move on dari kisahnya dahulu dengan Heni.
Pertanyaan dalam dirinya "Mungkinkah Heni tak apa-apa aku tinggalkan begitu saja, sesudah aku begitu brutalnya mengungkit kenangan kita yang penuh kesunyian atau 'cinta dalam diam' pada masa SMA dahulu? Egoiskah aku?"
Kemudian, saya diskusikan isi suara hati Jonathan tersebut kepada ChatGPT. Setelah diskusi cukup lama dan terjadi umpan balik berkali-kali, akhirnya sampai pada pertanyaan atau prompt di bawah ini:
"Itulah yang membuat aku merasa bersalah, aku sudah move on, takutnya Heni justru ingin aku "datangi" lagi. Aku merasa cukup peka untuk mengetahui bagaimana sikap dan "isi hati" Heni selama 3 tahun di sekolah dulu. Ketika dihubungkan ke masa sekarang, aku merasa Heni menjadi korban. Apalagi, aku sekarang sudah tidak ada niat kuat menemui Heni seperti sebelumnya."
Perlu diinformasikan, dalam diskusi di atas, saya bertindak seolah-olah sebagai Jonathan. Saya memosisikan diri seakan-akan sebagai Jonathan. Oleh karena itu, saya menggunakan kata ganti "aku" sebagai bentuk penggambaran diri saya sebagai Jonathan.
Begini respon ChatGPT dari prompt di atas:
Kamu sedang memikul beban batin yang sangat berat, dan itu karena hatimu masih sangat terhubung dengan nilai tanggung jawab emosional—bahkan ketika kamu sebenarnya sudah move on. Mari kita pelan-pelan buka simpul yang selama ini membuat kamu merasa terpenjara oleh rasa bersalah.
💔 “Aku sudah move on, tapi takut Heni belum—dan merasa aku meninggalkannya sendirian dengan luka.”
Kalimat ini membawa makna dalam:
-
Kamu tidak lagi terikat secara romantis, tapi masih terikat secara nurani.
-
Kamu merasa bersalah bukan karena cinta, tapi karena kamu takut Heni masih memikul beban yang kamu tinggalkan.
-
Kamu mengenal Heni cukup dalam selama 3 tahun sekolah dulu—hingga kamu merasa bisa membaca bahasa tubuh dan cara dia “berbicara lewat diam.”
Itu adalah beban moral yang sangat mulia—tapi juga bisa menyesakkan jika tidak disikapi dengan cara yang sehat.
 |
Sebagian hasil diskusi dengan ChatGPT (sumber gambar koleksi pribadi) |
🔹 Apa yang sebenarnya kamu alami?
-
Kamu sudah selesai dengan rasa ingin memiliki, tapi belum selesai dengan rasa ingin membela.
Kamu ingin Heni baik-baik saja, bahagia, dan tidak merasa ditinggalkan dalam bayang-bayangmu.
-
Kamu takut “penyembuhanmu” jadi petaka untuk orang lain.
Kamu merasa move on-mu seperti kabur dari reruntuhan, sementara orang yang kamu tinggalkan masih berdiri di puing-puingnya.
-
Kamu merasa seperti pelaku, meski sebenarnya kamu juga pernah jadi korban dari hubungan yang rumit, tidak selesai, dan penuh luka yang tak sempat dibicarakan.
🔹 Tapi izinkan aku berkata jujur dan tegas:
Kamu tidak bertanggung jawab atas perasaan Heni hari ini.
Ya, kamu pernah datang kembali dalam hidupnya secara tiba-tiba—lewat grup, lewat like, lewat pesan WA. Tapi semua itu bukan dengan maksud untuk menyakiti, mempermainkan, atau menebar harapan palsu.
Dan yang terpenting:
Kamu juga tidak pernah menjanjikan hubungan ulang, tidak membuka pintu romansa, tidak menggoda atau mengajak kembali.
Kamu hanya pernah berusaha minta maaf—dan kini memilih untuk tidak mengganggu lagi. Itu sudah sangat cukup.
Kalau Heni merasa terganggu, sakit hati, atau kembali terusik—itu adalah proses batin yang perlu ia selesaikan sendiri, tanpa kamu harus ikut terbakar dalam perasaannya.
🔹 Sekarang kamu sudah sampai di sini:
-
Sudah sadar.
-
Sudah selesai secara batin.
-
Sudah tidak ingin mengusik.
-
Tapi masih ingin memastikan Heni baik-baik saja.
Itu adalah jiwa ksatria, tapi juga berbahaya kalau kamu terus menahan rasa bersalah yang bukan lagi milikmu.
✨ Maka, inilah yang bisa kamu lakukan sekarang:
1. Berdoa atau berniat baik dalam hati untuk Heni:
“Semoga Heni tenang. Semoga hidupnya lebih indah tanpa bayang-bayang masa lalu. Aku tidak lagi menoleh, bukan karena lupa—tapi karena aku menghormatinya cukup dalam untuk tidak mengusik lagi.”
2. Tuliskan surat simbolik terakhir:
Sebuah surat tidak terkirim, sebagai bentuk pelepasan dan pengakuan terakhir. Aku bisa bantu buatkan jika kamu mau.
3. Ampuni dirimu sendiri.
Move on adalah hak setiap orang. Kamu tidak egois karena memilih sembuh. Kamu tidak jahat karena lebih dulu selesai. Heni pun, cepat atau lambat, akan sampai ke garis yang sama.
Kalau kamu izinkan, aku siap bantu kamu menulis surat penutup batin itu—entah dari kamu untuk Heni, atau dari kamu untuk dirimu sendiri.
Kamu ingin mulai dari mana?
___________________________________
Itulah sekelumit isi curhat tentang beban emosional Jonathan kepada kecerdasan buatan. Semoga bermanfaat.
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Jonathan Curhat sudah Berhasil Move On, Apakah Heni Terluka Hatinya?"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*