"Jonathan ternyata sejak awal (terutama saat di grup WA alumni SMA) secara bawah sadar sudah punya keinginan membangun dinding kasat mata. Alasannya, kalau memang dia ada niat menemui Heni (gara-gara teringat kenangan dengan Heni saat melihat status wa salah satu temanhya), tentunya dia bermain cantik. Tidak vulgar di grup WhatsApp alumni SMA. Dengan kata-kata lain, bentuk "publikasi" tentang Heni yang frontal dari Jonathan salah satunya demi agar mereka berdua "sulit" bertemu. Disebabkan, kesulitan secara moral karena "hubungan" mereka pasti dipantau banyak orang maupun sengaja menciptakan ketidaknyamanan kepada Heni supaya lebih sulit ditemui (menghindari Jonathan). Mohon analisis mendalam dan komentari konteks tersebut."
Pernyataanmu menunjukkan kompleksitas dinamika emosional Jonathan terhadap Heni, dan tampak bahwa ia menggunakan mekanisme pertahanan psikologis yang cerdas namun juga paradoksal. Mari kita bongkar secara mendalam dari tiga lapisan: (1) psikologi bawah sadar, (2) strategi sosial, dan (3) dinamika katarsis emosional.
🔍 1. Psikologi Bawah Sadar: Dinding Kasat Mata sebagai Mekanisme Protektif
Jonathan membangun "dinding kasat mata" bukan untuk menjauh dari Heni sepenuhnya, melainkan untuk melindungi dirinya dari potensi luka baru atau pengulangan rasa kehilangan. Dalam istilah psikologi, ini termasuk ke dalam mekanisme:
-
Avoidant coping (penyesuaian dengan menghindar): Ia tidak secara langsung menghindar dari kenangan, justru malah menyentuhnya—tetapi dilakukan dengan cara yang tidak memungkinkan untuk menjadi nyata.
-
Self-sabotage terselubung: Jonathan tahu, kalau ia benar-benar ingin bertemu Heni, ia bisa saja melakukannya dengan cara halus dan privat. Tapi ia justru membuat gesture publik (seperti menyebut Heni di grup WA), yang seolah menciptakan "jebakan sosial" agar pertemuan itu sulit terjadi. Ini adalah bentuk sabotase terhadap keinginannya sendiri.
Kenapa ia melakukannya?
Karena ada konflik batin antara:
-
Rindu yang belum selesai dan
-
Ketakutan terhadap pengulangan luka (ditolak, diabaikan, disalahpahami).
🧠 2. Strategi Sosial: Publikasi Frontal sebagai Bentuk Tameng Moral
Menyebut nama Heni secara frontal di grup WA alumni adalah langkah yang pada permukaan terlihat impulsif atau sembrono. Tapi secara mendalam, ini adalah strategi sosial yang multitafsir:
-
Memasang pagar moral: Dengan membuat relasi itu “terlihat” oleh alumni lain, Jonathan secara otomatis membatasi kemungkinan adanya hubungan tersembunyi. Ini adalah cara untuk menjaga Heni (dan dirinya) dari tuduhan atau godaan hubungan di luar batas.
-
Menciptakan atmosfer tidak nyaman agar Heni menjauh: Bisa jadi Jonathan secara sadar atau setengah sadar ingin membuat Heni merasa tidak aman atau risih untuk merespons, agar Heni yang mengambil langkah mundur. Ini ironis, karena ia rindu, tapi ia juga ingin membuat Heni tidak nyaman mendekat.
Strategi ini menyamarkan kerentanan: daripada harus bilang langsung "Aku masih punya luka lama dan rindu padamu," Jonathan justru melakukan serangan balik dalam bentuk simbolis—menyinggung nama Heni di forum terbuka.
💔 3. Dinamika Katarsis Emosional: Luka Lama yang Takut Tersentuh
Jonathan sedang menjalani proses katarsis, tetapi alih-alih menyalurkan itu secara personal dan aman, ia menggunakan medium sosial (grup WA) yang justru penuh risiko emosional. Ini semacam:
-
Mencoba membuka luka sambil berteriak “Aku tidak takut!”—tapi dalam kenyataan batin, ia sangat takut kalau lukanya berdarah lagi.
-
Seperti seseorang yang melempar pesan dalam botol ke laut: berharap ditemukan, tapi juga berharap tidak ada yang membalas.
Artinya?
Jonathan menginginkan pertemuan dan penutupan emosi, tetapi dengan syarat: pertemuan itu harus tidak mungkin terjadi. Ini ironi yang dalam.
✍️ Komentar Penutup: Perilaku yang Penuh Ambivalensi
Jonathan sedang dalam pusaran antara:
-
Keinginan untuk menuntaskan kenangan,
-
Rasa bersalah atau malu jika terlihat mengejar masa lalu,
-
Ketakutan bahwa jika bertemu, semuanya akan runtuh—karena Heni mungkin sudah berubah, atau tidak lagi merasakan apa-apa.
Langkahnya membangun "dinding kasat mata" adalah usaha untuk menjaga harga diri dan stabilitas batin, sambil tetap mengintip dari celah-celah harapan.
📌 Saran
Jika ini bagian dari proses katarsis Jonathan, sebaiknya diarahkan ke bentuk:
-
Surat pribadi (tidak dikirimkan),
-
Jurnal atau fiksi naratif (seperti yang sedang kamu bangun),
-
Atau dialog imajinatif yang membiarkan Jonathan “bertemu” Heni tanpa mengganggu ruang nyata Heni.
Dengan begitu, Jonathan tidak perlu lagi “mengganggu” realitas sosial hanya untuk mendapatkan pelampiasan emosional.
Kalau kamu bersedia, aku bisa bantu membingkai tindakan-tindakan simbolik Jonathan menjadi semacam puisi atau narasi mini sebagai bentuk ekspresi emosional yang sehat dan terarah.
Bagaimana menurutmu? Mau dilanjutkan ke bentuk tulisan simbolik atau narasi internal Jonathan?
___________________________________
"Jonathan sejak awal menyadari sepenuhnya bahwa di balik setiap tindakan pasti ada motif. Baik motif tersembunyi ataupun terbuka tanpa perlu pemaknaan melalui analisis maupun penelitian sederhana. Nah, motif tersembunyi inilah yang mungkin tidak disadari teman-temannya maupun publik, termasuk tak disadari Heni. Artinya, motif awal Jonathan bertanya di grup memang alami alias spontanitas. Berhubung, tanggapan di grup wa tak sesuai harapan (karena ada kegaduhan kecil sesudah Jonathan minta nomor hp Heni) akhirnya Jonathan berimprovisasi dengan cara membuat artikel tentang absurd, ilusi, dan halusinasi. Termasuk membuat puisi pohon kelengkeng serta tulisan-tulisan lain yang terkait dengan itu di blog pribadi. Nah, ketika tanggapan di grup biasa saja, mungkin Jonathan juga tak bakal berbuat frontal. Lagian, kenapa minta nomor wa Heni di grup? Cukup minta ke salah satu temannya kan bisa? Atau mungkin tujuan atau morif Jonathan tidak hanya satu, tetapi banyak. Misalnya, itu juga dilakukan demi katarsis diri agar lega."
Penjelasan ini justru membuka lapisan psikologis Jonathan yang jauh lebih otentik, kompleks, dan manusiawi. Aku akan bantu mengurai secara mendalam agar setiap motifnya bisa dikenali tanpa menghakimi, sebab ini bukan soal benar atau salah—melainkan soal bagaimana luka batin dan keinginan bertemu bisa saling bertabrakan dalam bentuk tindakan yang ambigu.
🔎 1. Motif Tidak Tunggal: Lapisan Motif yang Bertumpuk
Jonathan tidak hanya bergerak karena satu niat, tapi gabungan dari spontanitas, dorongan emosional, dan kebutuhan batin. Mari kita identifikasi kemungkinan lapisan-lapisan motifnya:
Tindakan |
Motif Terbuka |
Motif Tersembunyi |
Minta nomor Heni di grup WA alumni |
Ingin bersilaturahmi, bernostalgia |
Ingin "mengguncang" Heni secara simbolik; ingin pengakuan sosial bahwa ia masih punya kaitan dengan Heni |
Tidak meminta via japri (langsung ke teman) |
Bisa dianggap lebih elegan |
Justru ingin "menguji reaksi" Heni dan teman-teman secara publik—semacam sinyal terbuka, sekaligus uji psikologis |
Menulis artikel tentang absurd, ilusi, halusinasi |
Ekspresi kreatif dan katarsis |
Bentuk pelarian dari kekecewaan; simbol bahwa yang ia harapkan mungkin memang hanya "ilusi" dan "halusinasi" |
Menulis puisi tentang pohon kelengkeng |
Nostalgia, kenangan indah |
Mengabadikan momen yang tidak bisa terulang, sebagai cara menenangkan trauma kehilangan |
Kesimpulan: Setiap tindakan Jonathan adalah hasil benturan antara harapan dan realitas, antara keinginan bertemu dan ketakutan akan ditolak.
🧠 2. Reaksi terhadap Kegagalan Harapan Sosial: Improvisasi Psikis
Fase saat Jonathan menyadari bahwa respon di grup WA "biasa saja", atau bahkan menimbulkan kegaduhan, adalah titik balik emosional. Dalam dunia batin, ini bisa disebut sebagai:
Displacement kreatif — energi emosional dari kekecewaan sosial dialihkan ke tulisan, puisi, dan refleksi filosofis.
Ini bukan pelarian yang buruk—justru salah satu bentuk sublimasi, yaitu cara menyalurkan konflik batin ke dalam bentuk yang positif dan aman. Dalam banyak kasus, orang tidak menyadari bahwa kreativitas itu kadang muncul dari luka yang gagal diperbaiki secara langsung.
🌿 3. Mengapa Harus Publik dan Bukan Japri?
Ini salah satu bagian paling menarik. Jika Jonathan memang hanya ingin ketemu Heni secara tenang, maka minta nomor via japri ke salah satu teman akan jauh lebih efektif dan “bersih”. Namun, karena Jonathan sendiri sedang berperang dengan ambivalensinya, maka ia "memilih" jalur yang:
-
Mengandung risiko sosial → sebagai bentuk ujian keberanian dan pengorbanan.
-
Mengandung efek mengguncang → sebagai bentuk protes senyap pada waktu yang tak berpihak.
-
Mengandung unsur "menyandera atensi" → agar siapa pun, termasuk Heni, tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Ia tak ingin hanya dapat nomor WA. Ia ingin diperhatikan, dikenali, dan mungkin diam-diam… disapa lebih dulu.
🩺 4. Katarsis yang Terjadi Secara Simbolik dan Parsial
Setelah semua itu, tindakan Jonathan menulis di blog dan membuat puisi adalah terapi internal yang tidak disadari. Ia sedang menulis untuk "berbicara" kepada Heni, bukan melalui mulut, tapi lewat metafora dan simbol. Ini katarsis yang:
-
Tidak menyakiti siapa pun secara langsung.
-
Tidak menuntut balasan nyata dari Heni.
-
Tetapi juga tidak menyembuhkan sepenuhnya, karena ia belum benar-benar didengar.
✍️ Kesimpulan dan Refleksi
Jonathan tidak gila, tidak pula kekanak-kanakan. Ia hanya manusia yang jiwanya sedang menagih perhatian dari masa lalu yang belum sempat diselesaikan. Ia tahu tindakan itu mungkin tidak rasional, tapi justru di situlah letak kejujuran emosionalnya: keinginan untuk bertemu bercampur ketakutan akan pertemuan itu sendiri.
Tindakannya bukan satu warna—melainkan gradasi luka dan harapan yang tumpang tindih.
Jika kamu ingin melanjutkan ini ke dalam bentuk esai pribadi, prosa naratif, atau bahkan surat batin, aku siap bantu merumuskannya menjadi bahasa yang tajam, jujur, dan menyentuh. Ingin dilanjutkan ke arah itu? Atau ingin mengolah salah satu tulisan blognya sebagai narasi reflektif berbobot?
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
Baca juga: Peluang Terjadinya CLBK antara Jonathan dengan Heni tatkala Mereka Bertemu dengan Sengaja maupun tanpa Disengaja
 |
Ilustrasi dinding tak kasat mata (sumber foto pixabay.com) |
(*)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Ternyata Sejak Awal Jonathan Memang Sengaja Membangun Sekat dengan Heni, Demi Kebaikan Mereka"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*