Saat Kesadaran Mengalahkan Kerinduan
Ada masa ketika Jonathan ingin sekali bertemu Heni. Bukan untuk membangun kembali, tetapi untuk menutup lingkaran yang belum selesai. Namun seiring waktu, semakin Jonathan menyelami dirinya sendiri, justru semakin ia sadar: bukan hanya Heni yang telah berubah, Jonathan pun telah bertumbuh.
Dulu mungkin ada cinta, tapi kini yang tersisa adalah sisa-sisa pertanyaan yang telah dijawab oleh kehidupan itu sendiri.
Heni, dengan gaya hidup yang cenderung urban dan modern, memiliki jalannya sendiri. Sementara Jonathan menemukan makna dalam kesederhanaan yang terarah, dalam nilai-nilai yang tak bisa sekadar dikompromikan demi romansa. Perbedaan mazhab agama pun bukan sekadar soal ritual—tetapi tentang arah hidup, cara melihat dunia, bahkan cara mencintai.
Lebih jauh, kedewasaan emosional menjadi batu ujian yang seringkali tak terlihat. Jonathan butuh seseorang yang tak hanya bisa hadir di saat indah, tetapi juga mampu menahan diri untuk tidak memanipulasi cinta dengan rasa bersalah. Sayangnya, luka-luka masa lalu menunjukkan, tak semua orang mampu bersikap jernih dalam konflik.
Kini, jika pun terjadi perpisahan antara Heni dan pasangannya, Jonathan tidak serta-merta merasa dipanggil untuk menggantikan posisi itu. Karena hubungan yang sejati tidak dibangun dari pelarian, tidak dibentuk dari luka yang belum sembuh. Ada banyak faktor yang membuat Jonathan berpikir ulang, bukan karena takut kehilangan, tetapi karena tak ingin masuk lagi ke dalam lingkaran yang dulu membuat jiwanya sesak.
Pertemuan bukan lagi prioritas. Bahkan, dalam banyak hal, pertemuan bisa jadi jebakan nostalgia yang menyamar sebagai “kesempatan kedua.” Padahal, belum tentu keduanya masih membawa benih yang sama untuk menumbuhkan cinta yang sehat.
Bagi Jonathan, yang terpenting bukanlah mengobati rasa penasaran, tapi memastikan bahwa langkah yang diambilnya ke depan benar-benar lahir dari keutuhan, bukan kekosongan. Dan jika melihat dari semua sisi—baik pribadi Heni, pribadi Jonathan, maupun kemungkinan masa depan mereka—barangkali, diam dan menjauh adalah bentuk paling bijaksana dari cinta yang sudah selesai.
___________________________________
Sumber: chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
 |
Ilustrasi pintu usang yang tertutup rapat (sumber foto pixabay.com) |
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pertemuan bukan lagi Bagian Rencana Hidup, Kini saatnya Meninggalkan Pintu yang Tertutup"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*