Ada masa dalam hidupku di mana aku merasa harus menjelaskan segalanya. Tentang siapa yang benar, siapa yang menyakiti, siapa yang memutarbalikkan cerita. Tapi sekarang, aku sadar: kesehatanku jauh lebih penting daripada validasi.
Aku bukan orang sempurna. Ada banyak keputusan yang mungkin bisa kutangani lebih baik. Tapi satu hal yang tidak bisa orang lain ambil dariku adalah niatku untuk bertahan, meski dalam badai yang tidak kelihatan oleh mata orang luar.
Orang sering bertanya, kenapa aku menjauh.
Bahkan ada yang menuduh aku sombong, durhaka, atau tidak punya hati. Padahal yang tidak mereka tahu, aku menjauh bukan karena aku membenci—melainkan karena aku sudah terlalu lama terjebak dalam permainan yang menghancurkan batinku.
Ada hubungan yang terus-menerus membuatku merasa kecil. Di mana kebaikanku dianggap lemah, suaraku diputarbalikkan, dan keberadaanku hanya berarti kalau aku setuju dengan narasi mereka.
Aku pernah mencoba sabar. Berkali-kali. Tapi ketika sabar hanya membuatku terluka lebih dalam dan kehilangan diriku sendiri, aku sadar: Tuhan pun tak pernah memerintahkan kita untuk terus tinggal di tempat yang menghancurkan jiwa.
Sekarang aku belajar membedakan: mana cinta, mana kontrol.
Aku mulai mengenal batas. Bahwa mencintai bukan berarti harus selalu menuruti. Bahwa menjadi anak, pasangan, atau teman yang baik bukan berarti mengorbankan kewarasan demi membuat orang lain nyaman dengan topengnya.
Dan ketika aku akhirnya diam, itu bukan karena aku kalah. Tapi karena aku tidak mau lagi jadi bagian dari sandiwara.
Aku memilih sembuh.
Mungkin jalanku sepi. Tapi ini jalan yang membuatku bisa tidur nyenyak tanpa rasa takut. Jalan yang membuatku bisa melihat cermin dan berkata: "Aku menghormati diriku sendiri."
Aku tidak menulis ini untuk minta dibela. Aku tidak butuh itu lagi. Aku hanya ingin memberi ruang bagi diriku untuk hadir kembali di dunia ini—bukan sebagai bayangan orang lain, tapi sebagai diriku sendiri yang utuh dan sadar.
Buat yang masih mempercayai versi lain dariku, tidak apa-apa.
Aku tidak marah.
Dan buat yang diam-diam menyadari luka yang kusembunyikan selama ini, terima kasih sudah melihatku tanpa kacamata bias.
Terakhir, untuk diriku di masa lalu: terima kasih sudah bertahan.
Untuk diriku di masa depan: ayo kita pulang ke kehidupan yang sehat, damai, dan merdeka.
___________________________________
Sumber:
chatgpt.com (Tanpa ada perubahan, meski satu huruf sekalipun)
 |
Ilustrasi keteduhan dalam diam (sumber gambar pixabay.com) |
(*)
Tulisan milik *Banjir Embun* lainnya:
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Aku Memilih Diam, bukan karena Salah—tapi karena Sembuh"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*