Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Pilpres 2014: Siapapun Pasangan Terpilih, Indonesia harus [Semakin] “Satu”

Pilpres 2014: Siapapun Pasangan Terpilih, Indonesia harus [Semakin] “Satu”
Oleh: A. Rifqi Amin

Prolog
Sangat pantas bila tahun 2014 ini disebut sebagai tahun politik. Yakni, ketika rakyat Indonesia sedang merayakan “pesta” demokrasi. Bisa jadi tahun ini akan menjadi tonggak sejarah baru yang akan dikenang sepanjang masa dalam bidang perpolitikan dan kepemimpinan bangsa Indonesia.

Setelah melewati pileg pada tanggal 9 April lalu, kita segera disuguhi oleh agenda pilpres yang akan dilaksanakan 9 Juli nanti. Ini adalah pilpres terakhir yang mekanisme waktunya diselenggarakan secara terpisah dengan pileg. Sebab, pemilu 2019 nanti pileg dan pilpres akan diselenggarakan dengan waktu yang besamaan (satu paket).
Pada pilpres kali ini masyarakat hanya “diberi” dua pilihan pasangan Capres-Cawapres oleh partai politik. Sesuatu yang baru bagi bangsa yang besar dan beraneka ragam latar belakangnya ini. Agenda pilpres yang melibatkan rakyat secara langsung untuk ketiga kalinya ini (2004, 2009, dan 2014), sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, maka pantas bila pilpres 2014 disebut sebagai pilpres “istimewa.”
Lebih detail, perbedaan tersebut terletak pada bentuk “koalisi” partai pengusung Capres-Cawapres, figur Calon, penggalangan dukungan dari berbagai unsur masyarakat, “perang” media massa, dan adu visi-misi. Semuanya dilakukan secara habis-habisan (all out) baik untuk tenaga, pikiran, finansial, dan “emosi” yang membuat dinamika politik bangsa sekarang ini semakin menghangat.
Tak ketinggalan, “masih” ada cara jadul yang dilakukan oleh oknum pendukung pasangan Capres-Cawapres tertentu. Mereka tidak akan segan-segan untuk menggunakan strategi “kampanye hitam” melalui sosmed (sosial media), selebaran, demo, spanduk, dan orasi. Di mana hal itu merupakan tindakan yang sangat jauh dari istilah yang disebut bermutu dan berpendidikan (ilmiah). Terlebih bila dibandingkan dengan strategi kampanye “cerdas,” yang lebih mengutamakan terwujudnya kesatuan dan kemajuan Indonesia untuk masa depan.
Apabila kita telaah lebih dalam, pilpres yang dilakukan hanya satu putaran nanti merupakan sebuah pelajaran politik yang berharga bagi generasi depan Indonesia. Walaupun kenyataannya, hadirnya Capres-Cawapres yang hanya dua pasangan tersebut “ada” karena dipaksa keadaan. Yakni, dampak dari pengalaman politik (baca: ketakutan politik) partai-partai yang mengalami kegagalan pada pilpres di masa lalu. Mereka tidak berani lagi berbuat “nekat” mengusung calon presidennnya sendiri, itulah bukti sebagai wujud nyata “kesadaran” diri dalam berpolitik.
Kesadaran tersebut hadir karena adanya sosok tokoh politik baru dan benar-benar orisinal kaliber Nasional. Menurut beberapa Lembaga Survei dia memiliki tingkat elektabilitas tertinggi dan jauh dari tokoh politik lainnya. Pribadi itu tidak lain adalah Joko Widodo dengan panggilan akrab Jokowi. Oleh karena itu, wajar apabila pada tahun 2013 yang lalu banyak partai politik yang merayu (menggoda) Jokowi agar menjadi mitranya. Meskipun itu dilakukan secara tidak resmi melalui tokoh partai dan pengurusnya, tapi kenyataannya Jokowi tak bergeming.
Singkat kata, pasca deklarasi pencapresan Jokowi oleh PDI Perjuangan mengakibatkan banyak partai yang gelisah, berharap, dan kaget. Oleh karena itu, tak heran setelah “beredarnya” hasil hitung cepat pada pileg 9 April, – di mana figur Jokowi yang sudah lama melejit dan tak bisa terbendung oleh siapapun– menjadikan beberapa partai politik panik, sehingga memaksa mereka bertindak realistis dan sadar diri. Bagi mereka sosok Jokowi tak akan mungkin bisa tertandingi hanya dengan gabungan partai “tenda kecil.”
Melihat kenyataan itu, pantaslah apabila ada sebagian orang yang khawatir (termasuk saya pribadi) pasca penyelenggaraan pilpers nanti akan “bertambah” potensi perpecahan bangsa. Serta tentu ancaman jurang pemisah antar pendukung Capres-Cawepres menjadi semakin menganga bila tak segera “diluruskan” dan “disegarkan.” Betapa tidak, sampai sekarang belum ada yang berani menjamin bagi calon Presiden yang tak terpilih nanti –beserta para pendukungnya– dipastikan tidak akan “memanaskan” situasi politik. Terlebih bila selesih kekalahnnya secara presentase hanya sedikit dari pesaingnya.
Presiden Terpilih: Menjadikan Indonesia [Semakin] Menyatu
Bangsa besar ini tidak hanya membutuhkan figur Presiden yang mampu menjaga kedaulatan negera secara geografis dan membentuk kemandirian ekonomi saja. Dengan kata lain, seharusnya bangsa ini tidak hanya dijadikan “kuat” di mata Internasional –tapi kenyataannya rapuh (rentan konflik) di dalam–. Namun juga mampu menciptakan kondisi rakyat yang berjiwa dan berkarakter saling asah-asih-asuh satu sama lain dalam lingkup kesatuan bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan Presiden dan Wakil Presiden yang mampu menjadi teladan sesungguhnya, dalam menjaga kesatuan bangsa bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu aksinya adalah bersedia mendekat (blusukan) kepada seluruh kalangan masyarakat dari Sabang hingga Meraoke.
Indonesia membutuhkan Presiden dan Wakil Presiden yang berkarakter adil. Yakni, yang tidak sungkan mengunjungi dan menyelesaikan problem rakyatnya dari berbagai pelosok nusantara di manapun tempatnya tanpa pilih kasih. Selain itu juga menjadi pribadi pemimpin yang tegas, cepat dalam menyelesaikan (memutuskan) masalah, dan mampu meredam konflik berbau SARA. Dan yang paling penting adalah ikhlas mengajak (tidak menyingkirkan) “golongan” pendukung Capres-Cawapres tak terpilih untuk membangun bangsa. Setidaknya, minimal memberikan kebebasan kepada mereka dalam membangun bangsa walau tak dimasukkan pada barisan pemerintah.
Selama ini kesan pemerataan pembangunan di Indonesia masih belum begitu nampak. Masih ada daerah-daerah tertentu yang belum mendapat perhatian, sentuhan hati, bahkan belum pernah di datangi oleh Presiden. Memang itu kelihatannya hal yang sepele, tapi bagi rakyat kecil jangankan dikunjungi Presiden, daerahnya dikunjungi Walikota atau Gubernur pun senangnya minta ampun. Memang idealnya tidak hanya sekedar kunjungan seremonial saja, tapi ada komunikasi batin yang lebih merakyat dan bersifat memberikan solusi. Dengan demikian, akan lebih tepat bila kunjungan tersebut bukan dinamakan sebagai “kunjungan Presiden,” tapi blusukan Presiden.
Lebih lanjut, diharapkan Presiden dan Wapres yang baru nanti tidak hanya melakukan agenda-agenda besar kenegaraan di daerah-daerah tertentu saja. Baik yang bersifat nasional maupun internasional serta dalam bidang wisata, ekonomi, maupun acara keagamaan. Misalnya selama ini acara-acara tersebut lebih didominasi dilakukan di Bali, Manado, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan sebagainya. Akan tetapi selayaknya juga “berani” mengadakan agenda besar tersebut di bumi Papua, NTT, Aceh, NTB, dan daerah berpotensi lainnya. Bahkan bila memungkinkan nanti pelantikannya dilakukan di daerah yang selama ini dikesankan kurang mendapat perhatian, misalnya Papua.
Dengan membuktikan tindakan itu secara konsisten maka pantas bila dikatakan Pemimpin bangsa ini telah memberikan perhatian terhadap seluruh elemen rakyatnya, tak terkecuali satupun akan diabaikan. Yakni, di bidang emosional (kejiwaan), pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, keamanan, dan hukum di Indonesia ditegakkan secara merata. Mengingat karakter rakyat Indonesia masih rentan terjadi konflik, serta psikisnya (jiwa) masih mudah terbakar sehingga rawan terjadinya letupan-letupan.
Intinya, Presiden terpilih nanti harus mampu menjaga kesatuan bangsa. Tidak hanya dalam tataran simbolik dan basa-basi saja. Namun benar-benar mendidik anak bangsa secara berkelanjutan dengan keteladanan pemimpin, agar warga negaranya memiliki karakter mencintai tanah air dan bergotong royong menciptakan kesatuan bangsa. Tentu ego nasionalisme (rasa memiliki Indonesia) bagi semua anak bangsa juga harus dibangun dengan konsisten. Tak pandang bulu tentang suku, agama, ras, golongan, kaya-miskin, strata sosial, profesi, asal, dan organisasi semuanya “diwajibkan” membuktikan kecintaannya pada bangsa.
Implikasi
Bila Pilpres tahun 2014 ini sukses, baik dari tataran proses dan hasilnya maka bukan suatu kemustahilan jika bangsa ini akan menjadi bangsa Indonesia “baru.” Tentu juga akan pantas bila disebut sebagai bangsa yang “satu” secara hakiki. Yakni, bangsa yang memiliki visi, misi, tujuan, dan tekad (komitemen) yang sama yaitu untuk memajukan dan membangun Indonesia. Bukan “menghancurkannya” demi ego kelompok, ego organisasi, ego pribadi, dan ego-ego lainnya karena disebabkan “kekalahan,” yang bahkan itu bisa merugikan seluruh rakyat ini.
Lebih aktualnya, tentu kita tidak ingin “menderita” seperti Negara Thailand dan Ukraina yang baru saja meletup. Kejadian itu “ada” karena sebagian rakyatnya memendam uneg-uneg sejak lama. Disebabkan uneg-uneg-nya tersebut tidak mendapat respon dari Pemimpinnya –bisa saja pemimimpinnya tidak peka atau bahkan cuek– sehingga menjadi bom waktu yang kapan saja meledak seperti sekarang ini. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan Presiden beserta Wakilnya yang terpelih nanti harus mampu “menjinakkan” petasan atau beberapa bom waktu yang setiap saat bisa menggegerkan.
Bila perlu mereka mampu mengganti bom waktu itu dengan berbagai “peralatan musik,” yang siapa saja boleh memegang asalkan berkompeten. Dengan kata lain, “mainan” mereka harus diganti dari “memendam” bom waktu diganti instrumen musik yang beraneka ragam. Bukan mustahil dari perbedaan kompetensi bermusik itu akan dihasilkan “suara musik” yang merdu dan enak untuk didengar, terutama oleh rakyat kecil yang lebih butuh “hiburan” dari pada teror “ledakan.” (BanjirEmbun/01/06/14)

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2014/06/01/pilpres-2014-siapapun-pasangan-terpilih-indonesia-harus-semakin-satu-655944.html
 




Baca tulisan menarik lainnya:

Pilpres 2014 sebagai Momen Kemesraan Dua Kutub: NU dan Muhammadiyah

Pilpres 2014 sebagai Momen Kemesraan Dua Kutub





Baca tulisan menarik lainnya: