KISAH KASIH AKTIVIS
Beranda » Arsip untuk April 2012
Kamis, 26 April 2012
Rabu, 25 April 2012
Problematika dan Solusi dalam Pemanfaatan Media Pembelajaran
PROBLEMATIKA DAN SOLUSI DALAM PEMANFAATAN
MEDIA PEMBELAJARAN
Baca tulisan menarik lainnya:
Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Proses Pembelajaran
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS PROSES PEMBELAJARAN
Baca tulisan menarik lainnya:
Komponen Proses Pembelajaran
Komponen Proses Pembelajaran
Oleh: A. Rifqi Amin
Tujuan pembelajaran merupakan
komponen utama dan yang paling terpenting dalam system pembelajaran, karena ia
akan membawa alam berfikir peserta didik dalam proses pembelajaran tersebut ke
arah yang diinginkan. Mengenai kompenen pembelajaran Wina Sanjaya menyatakan
“proses pembelajaran terdiri dari beberapa komponen yang satu sama lain saling
berinteraksi dan berinterelasi (berhubungan). Komponen-komponen tersebut adalah
tujuan, materi pelajaran, metode atau strategi pembelajaran, media dan evaluasi.”[1]
Ada bebearapa
komponen dalam proses pembelajaran yang harus dilakukan guru agar tujuan dari
proses pembelajaran tercapai yaitu:
1.
Menentukan tujuan yang
spesifik, tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara spesifik dalam bentuk
perilaku akhir peserta didik. Setiap pendidik harus menyadari bahwa penentuan
tujuan dalam proses pembelajaran adalah penting. Perumusan tujuan itu harus
jelas yaitu bagaimana seharusnya peserta didik berperilaku pada akhir
pembelajaran.
2.
Pelaku pembelajaran secara
langsung yaitu guru dan peserta didik.
3.
Materi pelajaran, teridiri dari
materi formal yang di dapat dari buku-buku teks resmi (buku paket) sekolah dan
materi informal yang di dapat dari lingkungan sekitar dengan maksud agar proses
pembelajaran lebih relevan dan aktual.
4.
Metode pembelajaran.
5.
Media pembelajaran,
keberhasilan program pembelajaran tidak tergantung dari canggih atau tidaknya
media yang digunakan, tetapi dari ketepatan dan keefektifan media yang
digunakan oleh pendidik.
6. Faktor administrasi dan finansial, seperti
jadwal pelajaran, kondisi gedung dan ruang belajar.[2]
7. Mengadakan penilaian pendahuluan, pendidik
memeriksa perilaku awal peserta didik, langkah ini didasarkan dalam perubahan. Hal
ini untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan pada diri siswa dengan membandingkan
antara kondisi awal dengan kondisi akhir setelah belajar. Dengan penilaian
pendahuluan, pendidik dapat mengetahui apakah siswa sudah atau belum memiliki
jenis perilaku yang hendak dikembangkan, karena mungkin kemampuan siswa jauh
lebih besar dari pada yang diperkirakan guru, begitu pula sebalikanya. Selain
itu dengan penilaian pendahuluan, guru dapat mengetahui keadaan setiap peserta
didik yang mungkin memerlukan variasi tujuan dan prosedur pembelajaran. Dapat
penulis simpulkan bahwa dengan tindakan penilaian pendahuluan guru dapat
mengidentifikasi dan menganalisa kebutuhan peserta didik agar tidak tejadi pemberian materi ajar yang tidak
terbutuhkan.
8. Merencanakan program pengajaran, pada
langkah ini guru merencanakan program pembelajaran yang dapat mengantarnya
untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Tujuan yang telah dirumuskan
dengan jelas sangat membantu guru dalam membuat program perencanaan.
9. Evaluasi, untuk menetapkan apakah tujuan
telah tercapai atau belum maka penilaian harus memainkan fungsi dan peranannya.
Dengan kata lain, penilaian berperan sebagai barometer untuk mengukur tercapai
atau tidaknya tujuan yang telah ditetapkan.[3] Kondisi komponen-kompenen yang digunakan pada setiap lembaga sekolah
berbeda satu sama lain dan komponen tersebut senantiasa mengalami perubahan,
terutama komponen peserta didik.
Baca tulisan menarik lainnya:
Independensi Cendekiawan pada Era Modern
Oleh:
Artikel
ini ditulis pada tahun 2008
Di dalam
kamus besar Bahasa Indonesia yang diterima secara luas oleh berbagai kalangaan,
bahwa yang dimaksud cendekiawan adalah Pertama, orang yang cerdik, pandai,
orang intelek. Kedua, orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus
meningkatkan kemampuan berfikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami
sesuatu. Menurut kami yang perlu digarisbawahi adalah pada pengertian kedua
yakni pada kalimat "terus menerus meningkatkan kemampuan berfikir".
Hal itu bermakna bahwa seorang cendekiawan bisa mengembangkan pola pikirnya
bahkan bisa meralatnya.
Cendekiawan
idealnya tidak hanya berkutat hingga ’berbicara’ di sekitar politik atau
pemerintahan. Melainkan cendekiawan juga ikut bertanggung jawab dalam mengatasi
’bencana’ sosial-lingkungan. Salah satu masalah yang perlu diatasi ialah adanya
berbagai bentuk ’penyeragaman’ paradigma berfikir. Penyeragaman tersebut bisa
jadi terus digencarkan oleh sistem kekuasaan ( tidak hanya kekuasaan
pemerintah/pemimpin) beserta ideologi-ideologi dan pemikiran-pemikiran yang
telah dibawanya. Namun demikian, untuk mendekontruksi tatanan seragam
tersebut cendekiawan bisa memilih untuk turut campur dalam siste tersebut lalu
"merusaknya" dari dalam maupun melakukan serangan dari luar sistem.
Baik
berada di dalam maupun di luar sistem yang rusak maka cendekiawan harus tetap
mempertahankan independensinya. Tidak hanya sebagai identitas, independensi
harus menjadi prinsip hidup. dengan tidak ’menjual’ pemikiran-pemikirannya atau
dengan rela dan ikhlas mengkebiri kebenaran lain hanya karena ’fanatisme’ yang
dibawa sejak lahir. Walau ada sebuah pendapat bahwa cendekiawan berhak untuk
memperoleh nafkah dari apa yang telah dia karyakan dalam bentuk
pemikiran-pemikiran yang telah diolahnya tersebut.
Dari
pengertian cendekiawan di atas tergambar jelas bahwa tidak tersinggung sama
sekali kalau insan cendekiawan itu boleh atau tidak ’bermain’ di sistem
pemerintahan atau ikut campur bahkan ’menjual’ gaya berfikirnya untuk
kepentingan politik. Dengan demikian Cendekiawan bebas untuk menentukan arah,
tempat, tujuan, bahkan metode apa yang ia gunakan untuk berkarya. Tentu sekali
lagi, kebebasan itu terikat dengan prinsip independesi serta idealisme yang
selalu melekat padanya.
Di satu
pihak terdapat kumpulan pendapat tentang cendekiawan bahwa itu sah untuk
kepentingan sistem ekonomi, pemerintah, dan sistem yang dibidanginya. Yakni,
demi terwujudnya sistem tatanan yang damai, aman, dan tentram. Akan halnya
berbeda dengan lain pihak, ada hipotesa bahwa kaum cendekiawan harus berada di
luar ’sistem’ tersebut dan berbagai paham yang bersifat mengikat. Hal tersebut
disebabkan para cendekiawan harus aktif bertindak sebagai fungsi sosial yang
bermanfaat bagi masyarakat (moral force), pengontrol kekuasaan sistem,
penegak kebenaran (kebenaran hakiki), dan sekaligus mereka harus menjadi contoh
bagi kelas menengah (kaum elite) lainnya untuk membangun bangsa Indonesia
tercinta.
Cendekiawan
dituntut untuk memiliki sikap independensi dalam lingkup berfikir bebas (tidak
bablas) dengan tidak terpengaruh oleh budaya, agama, rasial, dan faham yang
kental di kehidupan masyarakat. Sebab dengan jalan yang ditempuh ini mereka
sebagai kaum intelek berkelanjutan mengaktualisasikan cara berfikirnya selaras
dengan perkembangan seluruh sektor kehidupan masyarakat. Bukan berarti mereka
harus mengurung diri dan tidak boleh masuk ke dalam institusi tertentu atau
masuk ke lini-lini golongan yang ada. Kecendekiawanan harus bebas dari belenggu
semua kekuasaan (hegemoni), terutama hegemoni ’isme’ yang mengakar di kalangan
masyarakat.
Paradigma
cendekiawan bukanlah tidak mungkin kalau di’ajar’kan dan sebarluaskan kepada
masyarakat akan berdampak positif. Bisa melahirkan atau meng-elaborasi faham
yang sedang berkembang dan sudah ada menjadi sebuah faham baru. Di aman, tujuan
awalnya ialah sebagai solusi dari kelemahan faham yang lama. Kemudian
’memaksakan’ ideologi yang baru itu untuk dijadikan pedoman, dan itu indikasi
mengarahkan satu pemikiran yang ’sama’ sehingga terjadilah penyeragaman pola
pikir dan cara pandang.
Contoh
ada sebuah dongeng dari Zaman sebelum masehi di Yunani, Socrates seorang
filosof dianggap sebagai filosof sekaligus cendekiawan di zamannya, yang
berkarakter untuk berfikir bebas. Konon, dia tidak mau dikungkung oleh
institusi pemerintahan Athena beserta ajaran agamanya. Dia juga mengajarkan
golongan muda untuk berfikir bebas. Dengan tindakan yang dilakukan tersebut dia
lantas ditangkap untuk diadili dengan dipaksa meminum racun. Setelah
kematiannya, salah satu muridnya yang bernama Plato melanjutkan perjuangan
gurunya. Socrates dan Plato merupakan tokoh kebebasan berfikir.
’Anteseden’
itu berlawanan dalam kenyataan sekarang (zaman modern). Di aman, lembaga
pendidikan terutama perguruan tinggi lebih banyak melakukan praktik
penyeragaman. Terutama penyeragaman berfikir, berorganiasi, dan memilih mazhab
dari pada harus menjunjung tinggi kebebasan berfikir. Antiomi inilah yang
akan mempengaruhi independensi bagi calon cendekiawan yang sedang mencari ilmu
di perguruan tinggi. Tempat yang seharusnya menjadi alat pendewasaan
kenyataannya malah menciptakan kaum fanatik baru.
Penyeragaman-penyeragaman
di semua sektor baik pendidikan, interpretasi beragama, berfaham (isme), dan
berfikir menyebabkan manusia menjadi kuper (kurang pergaulan). Hal itu menjadi
anti klimaks sekaligus antipati akan bukti pembunuhan terhadap kreativitas dan
bahkan memenjarakan ’alam fikir’ masyarakat. Mereka akan menjadi manusia yang
mudah disetir (dikendalikan) oleh pihak-pihak yang telah menyetel pikiran
tertentu yang telah diseragamkan.
Yesus
(nabi Isa) hampir mirip dengan Socrates dan muridnya itu, lebih mengedapankan
kebebasan berfikir. Ajaran yang ia sampaikan adalah antitesis dari buah
akumulasi dari penyeragaman berfikir yang dilakukan oleh pemimpin ajaran
sebelumnya yaitu Yahudi dan kekuasaan Romawi. Akhirnya (menurut cerita) Yesus
ditangkap, dan diadili. Namun setelah menghilangnya Yesus dari dunia, para
muridnya berhasil membuat "institusi" baru. Walau pada awalnya Yesus
mengajarkan murid-muridnya tentang kebebasan berfikir akan tetapi pada
perjalanan selanjutnya telah di rubah. Pengelolaan institusi yang didirikan
tersebut di kemudian hari mengalami suatu pembatasan dalam berfikir. Bahkan
pada abad pertengahan upaya pembatasan berfikir dan pemaksaan dilakukan dengan
bentuk hukuman mati apabila menolak ajaran gereja.
Di
Indonesia, agama-agama modern dapat dijadikan alat oleh ’kekuasaan’ tertentu
untuk mengadakan propaganda penyeragaman pola pikir masyarakat. Hal-hal yang
berada di luar institusi agama seperti aliran kepercayaan, ekstrim kanan-kiri,
’sempalan’ agama, aliran ’sesat’, dan kawan-kawannya tidak dibenarkan
keberadaannya. Presumpsi itu diperkuat dengan tidak diakui keberadaan mereka
atau bahkan mereka ’boleh’ dibinasakan dari bumi nusantara dengan cara
kekerasan maupun hukuman. Alangkah lebih elok bila memerangi
"pemikiran" maupun "isme" bukan dengan kekerasan (cara
fisik) namun menggunakan serangan pemikiran juga.
Paradoks
Cendekiawan,
begitu kaum intelek itu membawa dan menyampaikan sikap berfikir bebasnya kepada
orang lain, lebih-lebih dengan membawa paham atau ’isme’ dan institusi baru,
maka yang terjadi kemudian adalah sebuah pengekangan dan penyeragaman berfikir.
Kenyataannya mereka seakan memaksa masyarakat untuk menjadikan buah pikir
sebagai pedoman. Tantangan ini hadir begitu jelas yang dihadapi cendekiawan,
bukan hanya sekedar mereka harus membebaskan diri dari isme tertentu, namun
juga membebaskan diri dari niat untuk mengajarkan dan memaksakan gagasannya
kepada masyarakat.
Masyarakat
pada dasarnya memang cenderung suka dikuasai, senang ditindas, mau membayar
upeti, senang dilakukan tidak adil (diskriminatif) dll. Dan di lain sikap
seperti itu, mereka juga menuntut untuk dilindungi, dibina, dibela haknya,
diarahkan dan diberi pedoman serta hiburan. Mereka butuh tempat berlindung.
Baik perlindungan secara fisik maupun rohani. Mereka merasa sadar bahwa mereka
lemah dan serba tidak tahu. Oleh sebab itu, mereka senantiasa mencari dan ingin
menemukan sosok intelek yang bisa dijadikan pedoman.
Dizaman
pra-Modern masyarakat dengan sukarela dikuasai oleh raja, dewa-dewi dan nabi.
Bahkan masyarakat ’kecil’ itu begitu bangga jika anak gadisnya diperselir oleh
pemimpinnya. Mereka pun bangga bila putranya dimasukan dalam jajaran prajurit
peperangan. Dengan kehadiran penguasa itu masyarakat bisa aman dan enak
hidupnya karena perlindungan, layanan, dan pedoman hidup yang telah penguasa
berikan untuk masyarakat. Inilah yang terjadi pada masyarakat terdahulu.
Di zaman
modern ini bahkan era postmodern para nabi sudah tidak hadir lagi. Namun
masyarakat, tetap mau dikuasai dan minta perlindungan serta pedoman. Bila
cendekiawan tidak mampu menghadirkan pedoman baru maka para penguasalah yang
akan hadir untuk memberikannya. Tentu pedoman tersebut bukan dihasilkan dari
hasil kejernihan berfikir. Namun, lahir dipengaruhi oleh kepentingan dan ego
politik semat. Apakah kenyataan hari ini cendekiawan bisa melaharikan pedoman
baru yang bisa ditaati oleh masyarakat?
Negeri
Amerika nan jauh di sana, masyarakatnya senang sekali dikuasai oleh uang, media
massa, kehadiran bintang film dll. Untuk itu masyarakat mau diperbudak duduk di
depan televisi, mau membawa tiket, dan menghabiskan waktu untuk itu semuanya.
Sebagai imbalan kerja keras mendapat uang, mereka memperoleh hiburan dan
pedoman hidup. Tentu pedoman hidup itu mereka dapat dari para "cendekiawan"
yang bermental kapitalis. Yakni, cendekiawan hasil produk dari pemerintah.
Massa
(sekelompok individu) ibaratnya adalah manusia bodoh yang mudah digiring ke
mana-mana. Individu yang lemah hanya merasa dirinya aman apabila bergabung
dengan individu lainnya. Pada akhirnya mereka akan mengelompok menjadi massa
dengan segala institusinya. Untuk menjaga kekompakan kelompok tersebut tentu mereka
harus punya pedoman berfikir. Biasanya pedoman itu mereka dapat dari pemimpin
mereka atau bisa jadi dari pihak yang telah memberikan uang pada mereka.
Idealnya,
cendekiawan harus menjadi sosok insan yang kuat dan bebas. Dia tidak
membutuhkan perlindungan, kekangan, dan pimpinan. Hanya dengan memelihara dan
mengembangkan kecendekiawannya maka para intelektual tidak akan menjelma
menjadi "binatang buas". Makhluk yang hanya fokus untuk masalah nafsu
yang meliputi makan, minum, seks, pengakuan kelompok, ingin menjadi paling
terkuat, dan sebagainya. Tugas cendekiawan adalah senantiasa mengaktualisasikan
sikap pikirannya agar bebas dari kekuasaan apapun, termasuk kekuasaan
intelektualnya sendiri untuk bernafsu membentuk isme/institusi baru. Wallauh
A’lam Bishawab
Cendekiawan (sumber gambar seratkembara)
|
Baca tulisan menarik lainnya:
Contoh Tulisan pada Majalah Lama (Tahun 1981)
SCHIZOPHRENIA SEBAGAI KULTUS[1]
Ditulis ulang oleh: A. Rifqi Amin
Hakikat
ajaran yang kita kenal sebagai Kristianisme adalah anti-jasmani, memusuhi
daging sebagai pemberian tuhan. Di dalamnya wadat merupakan suatu cita-cita
menyempurnakan diri. Paulus yang meletakkan arah pemikiran Kristen dan
menentukan arah pemikiran Kristen memberi teori dan praktis perwadatan.
Baca tulisan menarik lainnya:
PUISI POLITIK
Oposisi
Oleh: Banjier Emboen
Demokrasi dan keadilan datang tidak dengan sendirinya….
Demokrasi dan keadilan harus kita perjuangkan………
Kekuasaan tidak harus kita perebutkan…………
Tapi kekuasaan harus kita kontrol pelaksanaannya…….
Pemerintahan yang ‘lemah’ tidak harus kita caci
Tapi terus dampingi hingga terwujud masyarakat yang sejahtera
Pemimpin tidak harus yang ada di strutur birokrat teratas
Pemimpin bisa bersama masyarakat mengontrol kinerja birokrat
Sikap beroposisi harus ada…
Sebagai penyeimbang bukan penguat atau penghancur tatanan penguasa
Beroposisi sebagai ‘pedamping’ pemerintah bukan musuh pemerintah
Tapi Oposisi suatu saat juga bisa menduduki struktur birokrat teratas!!!!
Baca tulisan menarik lainnya:
Senin, 23 April 2012
Prinsip-prinsip dalam Memilih Media Pembelajaran
Topik lain:
Prinsip-prinsip dalam Memilih Media Pembelajaran
Prinsip-Prinsip dalam Memilih Media Pembelajaran
Oleh: A. Rifqi Amin
Memilih
media yang terbaik untuk tujuan instruksional bukan pekerjaan mudah. Mengingat media merupakan salah satu
sarana untuk meningkatkan kegiatan proses belajar mengajar. Seringkali seorang
pendidik bukannya mengkaji secara sistematik kelebihan dan kelamahan berbagai
jenis media dalam proses pembelajaran, melainkan mereka hanya memilih media
hanya didasarkan pada faktor-faktor luar seperti nilai guna media bagi pendidik
dalam mengajar, ketersediaan media dan kelayakan pakai media pembelajaran. Dengan beraneka ragamnya jenis media tersebut
(sebagaimana yang telah dipaparkan penulis sebelumnya), maka masing-masing
media mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Untuk itu pemilihnya dilakukan
dengan cermat dan tepat agar dapat digunakan secara tepat guna. Yusufhadi
Miarso berpendapat bahwa tidak ada satupun cara yang terbaik dalam hal
pemilihan media pembelajaran. Jarang sekali adanya keputusan yang terbaik,
biasanya pemilihan media dilakukan dengan suatu kompromi.[1] Maka kelompok kerja guru mata
pelajaran sangat berperan untuk
berdiskusi dan menyamakan presepsi dalam penggunaan media pembalajaran pada
mata pelajaran tertentu. Karena sudah pasti ada mata pelajaran yang membutuhkan
media pembelajaran tersendiri di mana
media itu tidak bisa digunakan untuk mata pelajaran lainnya. Oleh sebab itu
dalam memilih media pembelajaran ada beberapa pertimbangan yang harus
diperhatikan, antara lain yaitu:
a. Media
yang dipilih hendaknya selaras dan menunjang tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Dalam penetapan
media harus jelas dan operasiaonal, spesifik dan benar-benar tergambar dalam
bentuk perilaku (behavior).
b. Aspek materi menjadi pertimbangan yang dianggap penting dalam memilih media
sesuai atau tidaknya antara materi dengan media yang digunakan akan berdampak
pada hasil pembelajaran siswa.
Perlu ditekankan penulis di sini bahwa
dalam setiap media pembelajaran memiliki keunggulan masing – masing, maka dari
itulah guru diharapkan dapat memilih media yang sesuai dengan kebutuhan atau
tujuan pembelajaran. Dengan harapan bahwa penggunaan media akan mempercepat dan
mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan media pembelajaran, yaitu :
a. Harus ada kejelasan tentang maksud dan tujuan
pemilihan media pembelajaran. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran,
untuk informasi yang bersifat umum, ataukah sekedar hiburan saja mengisi waktu
kosong. Lebih khusus lagi, apakah untuk pembelajaran kelompok atau individu dan
apakah sasarannya siswa masyarakat pedesaan ataukah masyarakat perkotaan.
b. Karakteristik Media Pembelajaran (familiaritas
media), Setiap media pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu, baik
dilihat dari keunggulannya, cara pembuatan maupun cara penggunaannya.
c. Alternatif Pilihan, yaitu adanya sejumlah media
yang dapat dibandingkan atau dikompetisikan. Dengan demikian guru bisa
menentukan pilihan media pembelajaran mana yang akan dipilih, jika terdapat
beberapa media yang dapat dibandingkan. [2]
Selain yang telah penulis paparkan di
atas, prinsip pemilihan media pembelajaran menurut Harjanto yaitu tujuan,
keterpaduan (validitas), keadaan peserta didik, ketersediaan, mutu teknis,
biaya. Beliau juga menekankan bahwa
tidak ada satu mediapun yang sifatnya bisa menjelaskan semua permasalahan atau
materi pembelajaran secara tuntas. [3] Oleh karena itu dalam memilih media harus
melihat keadaan dan kemampuan guru, sekolah dan peserta didik dalam
mengplikasikan media pembelajaran. Kehadiran pendidik dalam proses pembelajaran
dan posisi pendidik tidak bisa tergantikan oleh media pembalajaran apapun
kecuali pendidik itu terlibat langsung sebagai media pembelajaran tersebut.
Karena pendidik adalah penjelas,
pengarah dan memahamkan maksud dan tujuan apa yang ada dalam media pembelajaran
tersebut.
Prosedur pemilihan media sebagaimana yang
dikemukaka oleh Arif S Sadiman yang dikutip oleh Asnawir dan Basyirudin Usman
bahwa ada 3 model yang dapat dijadikan prosedur dalam pemilihan media yang akan
digunakan, yakni: 1). Model flowchart, model ini menggunakan sistem
pengguguran (eliminasi) dalam pemutusan pemilihan. Biasanya terjadi pada media
jenis jadi/sudah tersedia (by utilization) dan pendidik hanya tinggal
menggunakannya, 2) Model matrik, berupa penangguhan proses pengambilan
keputusan pemilihan sampai seluruh kriteria pemilihannya diidentifikasi. Biasanya
digunakan pada media jenis rancangan (by design), 3). Model checlist,
yang menangguhkan keputusan pemilihan sampai semua kriterianya dipertimbangkan.
Biasanya digunakan pada media jenis jadi maupun
rancangan.[4]
Selain masalah ketertarikan siswa
terhadap media, keterwakilan pesan yang hendak disampaikan guru juga hendaknya
dipertimbangkan dalam pemilihan media. Setidaknya ada tiga fungsi yang bergerak bersama dalam keberadaan media. Pertama¸
fungsi stimulasi yang menimbulkan ketertarikan untuk mempelajari dan mengetahui
lebih lanjut segala hal yang ada pada media. Kedua, fungsi mediasi yang
merupakan perantara antara guru dan siswa. Dalam hal ini, media menjembatani
komunikasi antara guru dan siswa. Ketiga, fungsi informasi yang
menampilkan penjelasan yang ingin disampaikan guru. Dengan keberadaan media,
siswa dapat menangkap keterangan atau penjelasan yang dibutuhkannya atau yang
ingin disampaikan oleh guru.[5] Faktror lain yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam pemilihan media
menurut Arif. S. Sadiman di antaranya adalah “karakteristik siswa, strategi
pembelajaran, organisasi kelompok besar, alokasi waktu pembelajaran, sumber
belajar yang tersedia serta prosedur penilain.”[6]
Fungsi stimulasi yang melekat pada
media dapat dimanfaatkan guru untuk membuat proses pembelajaran yang
menyenangkan dan tidak membosankan. Kondisi ini dapat terjadi jika media yang ditampilkan oleh guru adalah
sesuatu yang baru dan belum pernah diketahui oleh siswa baik tampilan fisik
maupun yang non-fisik. Selain itu, isi pesan pada media tersebut hendaknya juga
merupakan suatu hal yang baru dan atraktif, misalnya dari segi warna maupun
desainnya. Semakin atraktif bentuk dan isi media, semakin besar pula keinginan
siswa untuk lebih jauh mengetahui apa yang ingin disampaikan guru atau bahkan
timbul keinginan untuk berinteraksi dengan media tersebut. Jika siswa mendapatkan
suatu informasi atau pengalaman berharga dari media tersebut, di sinilah titik
sentral terjadinya belajar. [7]
Penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam
memilih media pembelajaran hendaknya dilakukan secara selektif, jeli, telaten dan membutuhkan prosedur serta
memerlukan waktu. Karena pada hakikat pemilihan media pada akhirnya adalah
keputusan untuk memanfaatkan, tidak memanfaatkan, atau mengadaptasi media yang
bersangkutan. Sebagaimana di ungkapkan oleh Ronald Anderson bahwa pemilihan
media seharusnya berdasarkan pada sesuai-tidaknya media itu dengan macam-macam
latar belakang, umur, kebudayaan, kemampuan produksi, fasilitas dan anggaran.
Yang pada akhirnya keputusan pemilihan media harus disaring lagi melalui ’tes
pengembangan’. Hasil tes inilah yang akan menentukan apakah media yang dipilih
itu diterima untuk dimanfaatkan, direvisi, atau bahkan dites lagi.[8] Selain itu untuk pihak sekolah dan
pendidik harus lebih sabar dalam mempergunakan media pembelajaran yaitu tidak
telalu terburu nafsu untuk mendapatkan hasil
yang instan dari penggunaan media tersebut, tapi lebih menekankan pada
proses. Tentunya penggunaan media pembelajaran di sekolah maupun luar sekolah
tidak malah menjadikan degradasi prestasi pada siswa atau pendidik itu sendiri,
karena media pembalajaran tidak hanya bisa di terapkan di dalam kelas akan
tetapi pemanfaatan media juga bisa dilakukan di luar kelas atau di luar jam
pelajaran. Oleh karena itu pendidik selaku penanggung jawab terlaksananya
proses dan hasil pembelajaran harus mengetahui secara benar manakah media yang
cocok untuk materi pembalajaran yang sedang diajarkan dan manakah media yang
cocok untuk diterapakan di dalam lokal (kelas) maupun luar lokal/kelas.
Penulis juga mengasumsikan bahwa pekerjaan
mengajar tidak selalu harus diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi
pelajaran. Meskipun menyajikan materi pelajaran memang merupakan bagian dari
kegiatan mengajar, tetapi bukanlah satu-satunya. Masih banyak cara lain yang
dapat dilakukan guru untuk membuat siswa belajar. Peran yang seharusnya
dilakukan guru adalah mengusahakan agar setiap siswa dapat berinteraksi secara
aktif dengan berbagai media pembelajaran yang ada. Karena Guru hanya merupakan
salah satu (bukan satu-satunya) sumber belajar bagi siswa. Selain guru, masih
banyak lagi sumber-sumber belajar yang lain.
Guru
sebagai seorang pembaharu diharapkan dapat menjadi motor penggerak (motivator) di daerah kerjanya, serta
menjadi pelopor perkembangan masyarakat. Hal demikian sesuai dengan fungsi
sekolah yaitu sebagai wadah pembaharuan dan perubahan sosial, dengan asumsi
pembaharuan bisa terjadi dengan segera apabila kompetensi guru untuk
memanfaatkan pembelajaran modern (khusunya teknologi informasi) diharuskan
sangat mumpuni, karena era saat ini adalah era pembaharuan dari tradisional ke
era informasi. Oleh karena itu seorang pendidik harus mampu memanfaatkan media
pembelajaran dari yang sederhana hingga yang fleksibel, dari yang mulai media
tradisional hingga media modern, sehingga kemampuan tersebut bisa mengantarkan
peserta didiknya dapat mengimbangi perkembangan masyarakat khusunya di sekitarnya dan pada umunya masyarakat
dunia yang lebih dahulu melesat
teknologi informasinya. Berdasarakan analisis penulis di atas, maka seorang
pendidik harus mempelajari dan mencari ilmu pengetahuan terbaru sesuai dengan
keadaan gejolak perkembangan masyarakat
yang kemudian diaplikasikan di daerah kerjanya.
[1]Ronald Anderson, ”Pemilihan dan
Pengembangan Media untuk Pembelajaran”, dalam Selecting and Developing Media
for Instruction, ed.Yusufhadi Miarso et.al. (Jakarta: Pt RajaGrafindo
Persada, 1994), XI.
[2]Rahardjo, Teknologi Komunikasi 62-63.
[3]Harjanto, Perancanaan Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 238-239.
[4]Sabri, Strategi Belajar Mengajar, 127.
[5]Mohammad Fadil,
“Pemanfaatan Media”, diakses tanggal 13 Juni 2009, pukul 18.59 WIB.
[6]Arief S. Sadiman, Media Pendidikan:
Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatanya (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2002), 81.
[7]Mohammad Fadil,
“Pemanfaatan Media”, diakses tanggal 13 Juni 2009, pukul 18.59 WIB.
[8]Anderson, ”Pemilihan dan Pengembangan”, 16