Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Kisah Kasih Aktivis

KISAH KASIH AKTIVIS 




Baca tulisan menarik lainnya:

Problematika dan Solusi dalam Pemanfaatan Media Pembelajaran





 PROBLEMATIKA DAN SOLUSI DALAM PEMANFAATAN
MEDIA PEMBELAJARAN




Baca tulisan menarik lainnya:

Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Proses Pembelajaran

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS PROSES PEMBELAJARAN




Baca tulisan menarik lainnya:

Metode Pembelajaran




 Metode Pembelajaran




Baca tulisan menarik lainnya:

Komponen Proses Pembelajaran


 Komponen Proses Pembelajaran
Tujuan pembelajaran merupakan komponen utama dan yang paling terpenting dalam system pembelajaran, karena ia akan membawa alam berfikir peserta didik dalam proses pembelajaran tersebut ke arah yang diinginkan. Mengenai kompenen pembelajaran Wina Sanjaya menyatakan “proses pembelajaran terdiri dari beberapa komponen yang satu sama lain saling berinteraksi dan berinterelasi (berhubungan). Komponen-komponen tersebut adalah tujuan, materi pelajaran, metode atau strategi pembelajaran, media dan evaluasi.”[1] Ada bebearapa komponen dalam proses pembelajaran yang harus dilakukan guru agar tujuan dari proses pembelajaran tercapai yaitu:
1.      Menentukan tujuan yang spesifik, tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara spesifik dalam bentuk perilaku akhir peserta didik. Setiap pendidik harus menyadari bahwa penentuan tujuan dalam proses pembelajaran adalah penting. Perumusan tujuan itu harus jelas yaitu bagaimana seharusnya peserta didik berperilaku pada akhir pembelajaran.
2.      Pelaku pembelajaran secara langsung yaitu guru dan peserta didik.
3.      Materi pelajaran, teridiri dari materi formal yang di dapat dari buku-buku teks resmi (buku paket) sekolah dan materi informal yang di dapat dari lingkungan sekitar dengan maksud agar proses pembelajaran lebih relevan dan aktual.
4.      Metode pembelajaran.
5.      Media pembelajaran, keberhasilan program pembelajaran tidak tergantung dari canggih atau tidaknya media yang digunakan, tetapi dari ketepatan dan keefektifan media yang digunakan oleh pendidik.
6.      Faktor administrasi dan finansial, seperti jadwal pelajaran, kondisi gedung dan ruang belajar.[2]
7.      Mengadakan penilaian pendahuluan, pendidik memeriksa perilaku awal peserta didik, langkah ini didasarkan dalam perubahan. Hal ini untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan pada diri siswa dengan membandingkan antara kondisi awal dengan kondisi akhir setelah belajar. Dengan penilaian pendahuluan, pendidik dapat mengetahui apakah siswa sudah atau belum memiliki jenis perilaku yang hendak dikembangkan, karena mungkin kemampuan siswa jauh lebih besar dari pada yang diperkirakan guru, begitu pula sebalikanya. Selain itu dengan penilaian pendahuluan, guru dapat mengetahui keadaan setiap peserta didik yang mungkin memerlukan variasi tujuan dan prosedur pembelajaran. Dapat penulis simpulkan bahwa dengan tindakan penilaian pendahuluan guru dapat mengidentifikasi dan menganalisa kebutuhan peserta didik agar tidak  tejadi pemberian materi ajar yang tidak terbutuhkan.
8.      Merencanakan program pengajaran, pada langkah ini guru merencanakan program pembelajaran yang dapat mengantarnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki. Tujuan yang telah dirumuskan dengan jelas sangat membantu guru dalam membuat program perencanaan.
9.      Evaluasi, untuk menetapkan apakah tujuan telah tercapai atau belum maka penilaian harus memainkan fungsi dan peranannya. Dengan kata lain, penilaian berperan sebagai barometer untuk mengukur tercapai atau tidaknya tujuan yang telah ditetapkan.[3] Kondisi komponen-kompenen yang digunakan pada setiap lembaga sekolah berbeda satu sama lain dan komponen tersebut senantiasa mengalami perubahan, terutama komponen peserta didik.




[1]Sanjaya, Strategi Pembelajaran,56.
[2] W. Gulo, Strategi Belajar-Mengajar (Jakarta: Grasindo, 2005), 8-9.
[3] Sabri, Strategi Belajar Mengajar,36.




Baca tulisan menarik lainnya:

Independensi Cendekiawan pada Era Modern

   Oleh: 

Artikel ini ditulis pada tahun 2008

Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia yang diterima secara luas oleh berbagai kalangaan, bahwa yang dimaksud cendekiawan adalah Pertama, orang yang cerdik, pandai, orang intelek. Kedua, orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berfikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Menurut kami yang perlu digarisbawahi adalah pada pengertian kedua yakni pada kalimat "terus menerus meningkatkan kemampuan berfikir". Hal itu bermakna bahwa seorang cendekiawan bisa mengembangkan pola pikirnya bahkan bisa meralatnya.




Cendekiawan idealnya tidak hanya berkutat hingga ’berbicara’ di sekitar politik atau pemerintahan. Melainkan cendekiawan juga ikut bertanggung jawab dalam mengatasi ’bencana’ sosial-lingkungan. Salah satu masalah yang perlu diatasi ialah adanya berbagai bentuk ’penyeragaman’ paradigma berfikir. Penyeragaman tersebut bisa jadi terus digencarkan oleh sistem kekuasaan ( tidak hanya kekuasaan pemerintah/pemimpin) beserta ideologi-ideologi dan pemikiran-pemikiran yang telah dibawanya.  Namun demikian, untuk mendekontruksi tatanan seragam tersebut cendekiawan bisa memilih untuk turut campur dalam siste tersebut lalu "merusaknya" dari dalam maupun melakukan serangan dari luar sistem.

Baik berada di dalam maupun di luar sistem yang rusak maka cendekiawan harus tetap mempertahankan independensinya. Tidak hanya sebagai identitas, independensi harus menjadi prinsip hidup. dengan tidak ’menjual’ pemikiran-pemikirannya atau dengan rela dan ikhlas mengkebiri kebenaran lain hanya karena ’fanatisme’ yang dibawa sejak lahir. Walau ada sebuah pendapat bahwa cendekiawan berhak untuk memperoleh nafkah dari apa yang telah dia karyakan dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang telah diolahnya tersebut.


Dari pengertian cendekiawan di atas tergambar jelas bahwa tidak tersinggung sama sekali kalau insan cendekiawan itu boleh atau tidak ’bermain’ di sistem pemerintahan atau ikut campur bahkan ’menjual’ gaya berfikirnya untuk kepentingan politik. Dengan demikian Cendekiawan bebas untuk menentukan arah, tempat, tujuan, bahkan metode apa yang ia gunakan untuk berkarya. Tentu sekali lagi, kebebasan itu terikat dengan prinsip independesi serta idealisme yang selalu melekat padanya.


Di satu pihak terdapat kumpulan pendapat tentang cendekiawan bahwa itu sah untuk kepentingan sistem ekonomi, pemerintah, dan sistem yang dibidanginya. Yakni, demi terwujudnya sistem tatanan yang damai, aman, dan tentram. Akan halnya berbeda dengan lain pihak, ada hipotesa bahwa kaum cendekiawan harus berada di luar ’sistem’ tersebut dan berbagai paham yang bersifat mengikat. Hal tersebut disebabkan para cendekiawan harus aktif bertindak sebagai fungsi sosial yang bermanfaat bagi masyarakat (moral force), pengontrol kekuasaan sistem, penegak kebenaran (kebenaran hakiki), dan sekaligus mereka harus menjadi contoh bagi kelas menengah (kaum elite) lainnya untuk membangun bangsa Indonesia tercinta.


Cendekiawan dituntut untuk memiliki sikap independensi dalam lingkup berfikir bebas (tidak bablas) dengan tidak terpengaruh oleh budaya, agama, rasial, dan faham yang kental di kehidupan masyarakat. Sebab dengan jalan yang ditempuh ini mereka sebagai kaum intelek berkelanjutan mengaktualisasikan cara berfikirnya selaras dengan perkembangan seluruh sektor kehidupan masyarakat. Bukan berarti mereka harus mengurung diri dan tidak boleh masuk ke dalam institusi tertentu atau masuk ke lini-lini golongan yang ada. Kecendekiawanan harus bebas dari belenggu semua kekuasaan (hegemoni), terutama hegemoni ’isme’ yang mengakar di kalangan masyarakat.

Paradigma cendekiawan bukanlah tidak mungkin kalau di’ajar’kan dan sebarluaskan kepada masyarakat akan berdampak positif. Bisa melahirkan atau meng-elaborasi faham yang sedang berkembang dan sudah ada menjadi sebuah faham baru. Di aman, tujuan awalnya ialah sebagai solusi dari kelemahan faham yang lama. Kemudian ’memaksakan’ ideologi yang baru itu untuk dijadikan pedoman, dan itu indikasi mengarahkan satu pemikiran yang ’sama’ sehingga terjadilah penyeragaman pola pikir dan cara pandang.


Contoh ada sebuah dongeng dari Zaman sebelum masehi di Yunani, Socrates seorang filosof dianggap sebagai filosof sekaligus cendekiawan di zamannya, yang berkarakter untuk berfikir bebas. Konon, dia tidak mau dikungkung oleh institusi pemerintahan Athena beserta ajaran agamanya. Dia juga mengajarkan golongan muda untuk berfikir bebas. Dengan tindakan yang dilakukan tersebut dia lantas ditangkap untuk diadili dengan dipaksa meminum racun. Setelah kematiannya, salah satu muridnya yang bernama Plato melanjutkan perjuangan gurunya. Socrates dan Plato merupakan tokoh kebebasan berfikir.

’Anteseden’ itu berlawanan dalam kenyataan sekarang (zaman modern). Di aman, lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi lebih banyak melakukan praktik penyeragaman. Terutama penyeragaman berfikir, berorganiasi, dan memilih mazhab dari pada harus  menjunjung tinggi kebebasan berfikir. Antiomi inilah yang akan mempengaruhi independensi bagi calon cendekiawan yang sedang mencari ilmu di perguruan tinggi. Tempat yang seharusnya menjadi alat pendewasaan kenyataannya malah menciptakan kaum fanatik baru.


Penyeragaman-penyeragaman di semua sektor baik pendidikan, interpretasi beragama, berfaham (isme), dan berfikir menyebabkan manusia menjadi kuper (kurang pergaulan). Hal itu menjadi anti klimaks sekaligus antipati akan bukti pembunuhan terhadap kreativitas dan bahkan memenjarakan ’alam fikir’ masyarakat. Mereka akan menjadi manusia yang mudah disetir (dikendalikan) oleh pihak-pihak yang telah menyetel pikiran tertentu yang telah diseragamkan.


Yesus (nabi Isa) hampir mirip dengan Socrates dan muridnya itu, lebih mengedapankan kebebasan berfikir. Ajaran yang ia sampaikan adalah antitesis dari buah akumulasi dari penyeragaman berfikir yang dilakukan oleh pemimpin ajaran sebelumnya yaitu Yahudi dan kekuasaan Romawi. Akhirnya (menurut cerita) Yesus ditangkap, dan diadili. Namun setelah menghilangnya Yesus dari dunia, para muridnya berhasil membuat "institusi" baru. Walau pada awalnya Yesus mengajarkan murid-muridnya tentang kebebasan berfikir akan tetapi pada perjalanan selanjutnya telah di rubah. Pengelolaan institusi yang didirikan tersebut di kemudian hari mengalami suatu pembatasan dalam berfikir. Bahkan pada abad pertengahan upaya pembatasan berfikir dan pemaksaan dilakukan dengan bentuk hukuman mati apabila menolak ajaran gereja.

Di Indonesia, agama-agama modern dapat dijadikan alat oleh ’kekuasaan’ tertentu untuk mengadakan propaganda penyeragaman pola pikir masyarakat. Hal-hal yang berada di luar institusi agama seperti aliran kepercayaan, ekstrim kanan-kiri, ’sempalan’ agama, aliran ’sesat’, dan kawan-kawannya tidak dibenarkan keberadaannya. Presumpsi itu diperkuat dengan tidak diakui keberadaan mereka atau bahkan mereka ’boleh’ dibinasakan dari bumi nusantara dengan cara kekerasan maupun hukuman. Alangkah lebih elok bila memerangi "pemikiran" maupun "isme" bukan dengan kekerasan (cara fisik) namun menggunakan serangan pemikiran juga.


Paradoks
Cendekiawan, begitu kaum intelek itu membawa dan menyampaikan sikap berfikir bebasnya kepada orang lain, lebih-lebih dengan membawa paham atau ’isme’ dan institusi baru, maka yang terjadi kemudian adalah sebuah pengekangan dan penyeragaman berfikir. Kenyataannya  mereka seakan memaksa masyarakat untuk menjadikan buah pikir sebagai pedoman. Tantangan ini hadir begitu jelas yang dihadapi cendekiawan, bukan hanya sekedar mereka harus membebaskan diri dari isme tertentu, namun juga membebaskan diri dari niat untuk mengajarkan dan memaksakan gagasannya kepada masyarakat.


Masyarakat pada dasarnya memang cenderung suka dikuasai, senang ditindas, mau membayar upeti, senang dilakukan tidak adil (diskriminatif) dll. Dan di lain sikap seperti itu, mereka juga menuntut untuk dilindungi, dibina, dibela haknya, diarahkan dan diberi pedoman serta hiburan. Mereka butuh tempat berlindung. Baik perlindungan secara fisik maupun rohani. Mereka merasa sadar bahwa mereka lemah dan serba tidak tahu. Oleh sebab itu, mereka senantiasa mencari dan ingin menemukan sosok intelek yang bisa dijadikan pedoman.


Dizaman pra-Modern masyarakat dengan sukarela dikuasai oleh raja, dewa-dewi dan nabi. Bahkan masyarakat ’kecil’ itu begitu bangga jika anak gadisnya diperselir oleh pemimpinnya. Mereka pun bangga bila putranya dimasukan dalam jajaran prajurit peperangan. Dengan kehadiran penguasa itu masyarakat bisa aman dan enak hidupnya karena perlindungan, layanan, dan pedoman hidup yang telah penguasa berikan untuk masyarakat. Inilah yang terjadi pada masyarakat terdahulu.

Di zaman modern ini bahkan era postmodern para nabi sudah tidak hadir lagi. Namun masyarakat, tetap mau dikuasai dan minta perlindungan serta pedoman. Bila cendekiawan tidak mampu menghadirkan pedoman baru maka para penguasalah yang akan hadir untuk memberikannya. Tentu pedoman tersebut bukan dihasilkan dari hasil kejernihan berfikir. Namun, lahir dipengaruhi oleh kepentingan dan ego politik semat. Apakah kenyataan hari ini cendekiawan bisa melaharikan pedoman baru yang bisa ditaati oleh masyarakat?

Negeri Amerika nan jauh di sana, masyarakatnya senang sekali dikuasai oleh uang, media massa, kehadiran bintang film dll. Untuk itu masyarakat mau diperbudak duduk di depan televisi, mau membawa tiket, dan menghabiskan waktu untuk itu semuanya. Sebagai imbalan kerja keras mendapat uang, mereka memperoleh hiburan dan pedoman hidup. Tentu pedoman hidup itu mereka dapat dari para "cendekiawan" yang bermental kapitalis. Yakni, cendekiawan hasil produk dari pemerintah.


Massa (sekelompok individu) ibaratnya adalah manusia bodoh yang mudah digiring ke mana-mana. Individu yang lemah hanya merasa dirinya aman apabila bergabung dengan individu lainnya. Pada akhirnya mereka akan mengelompok menjadi massa dengan segala institusinya. Untuk menjaga kekompakan kelompok tersebut tentu mereka harus punya pedoman berfikir. Biasanya pedoman itu mereka dapat dari pemimpin mereka atau bisa jadi dari pihak yang telah memberikan uang pada mereka.


Idealnya, cendekiawan harus menjadi sosok insan yang kuat dan bebas. Dia tidak membutuhkan perlindungan, kekangan, dan pimpinan. Hanya dengan memelihara dan mengembangkan kecendekiawannya maka para intelektual tidak akan menjelma menjadi "binatang buas". Makhluk yang hanya fokus untuk masalah nafsu yang meliputi makan, minum, seks, pengakuan kelompok, ingin menjadi paling terkuat, dan sebagainya. Tugas cendekiawan adalah senantiasa mengaktualisasikan sikap pikirannya agar bebas dari kekuasaan apapun, termasuk kekuasaan intelektualnya sendiri untuk bernafsu membentuk isme/institusi baru. Wallauh A’lam Bishawab



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhufHkrYO5Qy3tK-N4Zg81vmPCHtnmkh6GZnLtAzKwKt07cpCKM0k7XAliwySw24Z_CjiV-AhnE1A8D8cOySoFKKIh_mssLffddVJc5bryNxPV5NEVADI6lWb53bBGh_edpwDjy-nmTP4Yr/s1600/Independensi+Cendikiawan+pada+Era+Modern.jpg
Cendekiawan (sumber gambar seratkembara)






Baca tulisan menarik lainnya:

Arah Perjuangan Mahasiswa

Hilangnya Arah Pasti Perjuangan Mahasiswa
Oleh: 




Baca tulisan menarik lainnya:

Contoh Tulisan pada Majalah Lama (Tahun 1981)

 SCHIZOPHRENIA SEBAGAI KULTUS[1]

Ditulis ulang oleh: A. Rifqi Amin
Hakikat ajaran yang kita kenal sebagai Kristianisme adalah anti-jasmani, memusuhi daging sebagai pemberian tuhan. Di dalamnya wadat merupakan suatu cita-cita menyempurnakan diri. Paulus yang meletakkan arah pemikiran Kristen dan menentukan arah pemikiran Kristen memberi teori dan praktis perwadatan.




Baca tulisan menarik lainnya:

PUISI POLITIK


Oposisi

Oleh: Banjier Emboen
Demokrasi dan keadilan datang tidak dengan sendirinya….
Demokrasi dan keadilan harus kita perjuangkan………
Kekuasaan tidak harus kita perebutkan…………
Tapi kekuasaan harus kita kontrol pelaksanaannya…….
Pemerintahan yang ‘lemah’ tidak harus kita caci
Tapi terus dampingi hingga terwujud masyarakat yang sejahtera
Pemimpin tidak harus yang ada di strutur birokrat teratas
Pemimpin bisa bersama masyarakat mengontrol kinerja birokrat
Sikap beroposisi harus ada…
Sebagai penyeimbang bukan penguat atau penghancur tatanan penguasa
Beroposisi sebagai ‘pedamping’ pemerintah bukan musuh pemerintah
Tapi Oposisi suatu saat juga bisa menduduki struktur birokrat teratas!!!!
Kediri, 27 Mei 2008




Baca tulisan menarik lainnya:

Pengertian Proses Pembelajaran





Proses Pembelajaran




Baca tulisan menarik lainnya:

Prinsip-prinsip dalam Memilih Media Pembelajaran




Topik lain:




Prinsip-prinsip dalam Memilih Media Pembelajaran






Prinsip-Prinsip dalam Memilih Media Pembelajaran



Memilih media yang terbaik untuk tujuan instruksional bukan pekerjaan mudah. Mengingat media merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kegiatan proses belajar mengajar. Seringkali seorang pendidik bukannya mengkaji secara sistematik kelebihan dan kelamahan berbagai jenis media dalam proses pembelajaran, melainkan mereka hanya memilih media hanya didasarkan pada faktor-faktor luar seperti nilai guna media bagi pendidik dalam mengajar, ketersediaan media dan kelayakan pakai media pembelajaran. Dengan  beraneka ragamnya jenis media tersebut (sebagaimana yang telah dipaparkan penulis sebelumnya), maka masing-masing media mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Untuk itu pemilihnya dilakukan dengan cermat dan tepat agar dapat digunakan secara tepat guna. Yusufhadi Miarso berpendapat bahwa tidak ada satupun cara yang terbaik dalam hal pemilihan media pembelajaran. Jarang sekali adanya keputusan yang terbaik, biasanya pemilihan media dilakukan dengan suatu kompromi.[1] Maka kelompok kerja guru mata pelajaran  sangat berperan untuk berdiskusi dan menyamakan presepsi dalam penggunaan media pembalajaran pada mata pelajaran tertentu. Karena sudah pasti ada mata pelajaran yang membutuhkan media pembelajaran tersendiri  di mana media itu tidak bisa digunakan untuk mata pelajaran lainnya. Oleh sebab itu dalam memilih media pembelajaran ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan, antara lain yaitu:
a.  Media yang dipilih hendaknya selaras dan menunjang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam penetapan media harus jelas dan operasiaonal, spesifik dan benar-benar tergambar dalam bentuk perilaku (behavior).



b. Aspek materi menjadi pertimbangan yang dianggap penting dalam memilih media sesuai atau tidaknya antara materi dengan media yang digunakan akan berdampak pada hasil pembelajaran siswa.
Perlu ditekankan penulis di sini bahwa dalam setiap media pembelajaran memiliki keunggulan masing – masing, maka dari itulah guru diharapkan dapat memilih media yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan pembelajaran. Dengan harapan bahwa penggunaan media akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran, yaitu :
a. Harus ada kejelasan tentang maksud dan tujuan pemilihan media pembelajaran. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran, untuk informasi yang bersifat umum, ataukah sekedar hiburan saja mengisi waktu kosong. Lebih khusus lagi, apakah untuk pembelajaran kelompok atau individu dan apakah sasarannya siswa masyarakat pedesaan ataukah masyarakat perkotaan.
b. Karakteristik Media Pembelajaran (familiaritas media), Setiap media pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dari keunggulannya, cara pembuatan maupun cara penggunaannya.
c. Alternatif Pilihan, yaitu adanya sejumlah media yang dapat dibandingkan atau dikompetisikan. Dengan demikian guru bisa menentukan pilihan media pembelajaran mana yang akan dipilih, jika terdapat beberapa media yang dapat dibandingkan. [2]
Selain yang telah penulis paparkan di atas, prinsip pemilihan media pembelajaran menurut Harjanto yaitu tujuan, keterpaduan (validitas), keadaan peserta didik, ketersediaan, mutu teknis, biaya. Beliau juga menekankan bahwa tidak ada satu mediapun yang sifatnya bisa menjelaskan semua permasalahan atau materi pembelajaran secara tuntas. [3] Oleh karena itu dalam memilih media harus melihat keadaan dan kemampuan guru, sekolah dan peserta didik dalam mengplikasikan media pembelajaran. Kehadiran pendidik dalam proses pembelajaran dan posisi pendidik tidak bisa tergantikan oleh media pembalajaran apapun kecuali pendidik itu terlibat langsung sebagai media pembelajaran tersebut. Karena  pendidik adalah penjelas, pengarah dan memahamkan maksud dan tujuan apa yang ada dalam media pembelajaran tersebut.
Prosedur pemilihan media sebagaimana yang dikemukaka oleh Arif S Sadiman yang dikutip oleh Asnawir dan Basyirudin Usman bahwa ada 3 model yang dapat dijadikan prosedur dalam pemilihan media yang akan digunakan, yakni: 1). Model flowchart, model ini menggunakan sistem pengguguran (eliminasi) dalam pemutusan pemilihan. Biasanya terjadi pada media jenis jadi/sudah tersedia (by utilization) dan pendidik hanya tinggal menggunakannya, 2) Model matrik, berupa penangguhan proses pengambilan keputusan pemilihan sampai seluruh kriteria pemilihannya diidentifikasi. Biasanya digunakan pada media jenis rancangan (by design), 3). Model checlist, yang menangguhkan keputusan pemilihan sampai semua kriterianya dipertimbangkan. Biasanya digunakan pada media jenis jadi maupun rancangan.[4]
Selain masalah ketertarikan siswa terhadap media, keterwakilan pesan yang hendak disampaikan guru juga hendaknya dipertimbangkan dalam pemilihan media. Setidaknya ada tiga fungsi yang bergerak bersama dalam keberadaan media. Pertama¸ fungsi stimulasi yang menimbulkan ketertarikan untuk mempelajari dan mengetahui lebih lanjut segala hal yang ada pada media. Kedua, fungsi mediasi yang merupakan perantara antara guru dan siswa. Dalam hal ini, media menjembatani komunikasi antara guru dan siswa. Ketiga, fungsi informasi yang menampilkan penjelasan yang ingin disampaikan guru. Dengan keberadaan media, siswa dapat menangkap keterangan atau penjelasan yang dibutuhkannya atau yang ingin disampaikan oleh guru.[5] Faktror lain yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam pemilihan media menurut Arif. S. Sadiman di antaranya adalah “karakteristik siswa, strategi pembelajaran, organisasi kelompok besar, alokasi waktu pembelajaran, sumber belajar yang tersedia serta prosedur penilain.”[6]
Fungsi stimulasi yang melekat pada media dapat dimanfaatkan guru untuk membuat proses pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan. Kondisi ini dapat terjadi jika media yang ditampilkan oleh guru adalah sesuatu yang baru dan belum pernah diketahui oleh siswa baik tampilan fisik maupun yang non-fisik. Selain itu, isi pesan pada media tersebut hendaknya juga merupakan suatu hal yang baru dan atraktif, misalnya dari segi warna maupun desainnya. Semakin atraktif bentuk dan isi media, semakin besar pula keinginan siswa untuk lebih jauh mengetahui apa yang ingin disampaikan guru atau bahkan timbul keinginan untuk berinteraksi dengan media tersebut. Jika siswa mendapatkan suatu informasi atau pengalaman berharga dari media tersebut, di sinilah titik sentral terjadinya belajar. [7]
Penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam memilih media pembelajaran hendaknya dilakukan secara selektif, jeli, telaten dan membutuhkan prosedur serta memerlukan waktu. Karena pada hakikat pemilihan media pada akhirnya adalah keputusan untuk memanfaatkan, tidak memanfaatkan, atau mengadaptasi media yang bersangkutan. Sebagaimana di ungkapkan oleh Ronald Anderson bahwa pemilihan media seharusnya berdasarkan pada sesuai-tidaknya media itu dengan macam-macam latar belakang, umur, kebudayaan, kemampuan produksi, fasilitas dan anggaran. Yang pada akhirnya keputusan pemilihan media harus disaring lagi melalui ’tes pengembangan’. Hasil tes inilah yang akan menentukan apakah media yang dipilih itu diterima untuk dimanfaatkan, direvisi, atau bahkan dites lagi.[8] Selain itu untuk pihak sekolah dan pendidik harus lebih sabar dalam mempergunakan media pembelajaran yaitu tidak telalu terburu nafsu untuk mendapatkan hasil  yang instan dari penggunaan media tersebut, tapi lebih menekankan pada proses. Tentunya penggunaan media pembelajaran di sekolah maupun luar sekolah tidak malah menjadikan degradasi prestasi pada siswa atau pendidik itu sendiri, karena media pembalajaran tidak hanya bisa di terapkan di dalam kelas akan tetapi pemanfaatan media juga bisa dilakukan di luar kelas atau di luar jam pelajaran. Oleh karena itu pendidik selaku penanggung jawab terlaksananya proses dan hasil pembelajaran harus mengetahui secara benar manakah media yang cocok untuk materi pembalajaran yang sedang diajarkan dan manakah media yang cocok untuk diterapakan di dalam lokal (kelas) maupun luar lokal/kelas.
Penulis juga mengasumsikan bahwa pekerjaan mengajar tidak selalu harus diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi pelajaran. Meskipun menyajikan materi pelajaran memang merupakan bagian dari kegiatan mengajar, tetapi bukanlah satu-satunya. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan guru untuk membuat siswa belajar. Peran yang seharusnya dilakukan guru adalah mengusahakan agar setiap siswa dapat berinteraksi secara aktif dengan berbagai media pembelajaran yang ada. Karena Guru hanya merupakan salah satu (bukan satu-satunya) sumber belajar bagi siswa. Selain guru, masih banyak lagi sumber-sumber belajar yang lain.
Guru sebagai seorang pembaharu diharapkan dapat menjadi motor penggerak (motivator) di daerah kerjanya, serta menjadi pelopor perkembangan masyarakat. Hal demikian sesuai dengan fungsi sekolah yaitu sebagai wadah pembaharuan dan perubahan sosial, dengan asumsi pembaharuan bisa terjadi dengan segera apabila kompetensi guru untuk memanfaatkan pembelajaran modern (khusunya teknologi informasi) diharuskan sangat mumpuni, karena era saat ini adalah era pembaharuan dari tradisional ke era informasi. Oleh karena itu seorang pendidik harus mampu memanfaatkan media pembelajaran dari yang sederhana hingga yang fleksibel, dari yang mulai media tradisional hingga media modern, sehingga kemampuan tersebut bisa mengantarkan peserta didiknya dapat mengimbangi perkembangan masyarakat khusunya  di sekitarnya dan pada umunya masyarakat dunia  yang lebih dahulu melesat teknologi informasinya. Berdasarakan analisis penulis di atas, maka seorang pendidik harus mempelajari dan mencari ilmu pengetahuan terbaru sesuai dengan keadaan gejolak perkembangan masyarakat  yang kemudian diaplikasikan di daerah kerjanya.




[1]Ronald Anderson, ”Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran”, dalam Selecting and Developing Media for Instruction, ed.Yusufhadi Miarso et.al. (Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada, 1994), XI.
[2]Rahardjo, Teknologi Komunikasi 62-63.

[3]Harjanto, Perancanaan Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 238-239.

[4]Sabri, Strategi Belajar Mengajar, 127.
[5]Mohammad Fadil, “Pemanfaatan Media”, diakses tanggal 13 Juni 2009, pukul 18.59 WIB.
[6]Arief S. Sadiman, Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatanya (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), 81.
[7]Mohammad Fadil, “Pemanfaatan Media”, diakses tanggal 13 Juni 2009, pukul 18.59 WIB.
[8]Anderson, ”Pemilihan dan Pengembangan”, 16




Baca tulisan menarik lainnya: