Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Pilpres 2014 sebagai Momen Kemesraan Dua Kutub (NU dan Muhammadiyah)

Pilpres 2014 sebagai Momen Kemesraan Dua Kutub


Prolog
Momen kemesraan bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan pada siapa saja. Salah satu syarat utama agar timbul kemesraan itu adalah harus ada persamaan tujuan dan kepentingan. Siapapun mereka yang awalnya cuek, gengsi, dan tidak bertegur sapa bahkan saling bermusuhan sekalipun suatu saat akan bisa saling berpelukan. Terlebih bila tidak ada alternatif lain yang bisa dijadikan solusi atau pilihan untuk dijadikan pijakan dalam berpihak. Dua Kutub itu adalah Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Diistilahkan dengan kata “kutub” karena memang keduanya memiliki perbedaan tajam dan tidak mungkin untuk disatukan, yaitu dalam bidang platform ideologi keagamaan. Di mana ideologi itu tidak hanya digejawantahkan pada bentuk tata cara mereka dalam beribadah, tapi juga “gaya” mereka dalam berorganinasi. Namun, hal itu bukan menjadi halangan bagi mereka untuk saling bermesraan yang tentu demi suatu tujuan, tidak lain adalah untuk kenikmatan, kesenangan, dan rasa nyaman.
Selama ini NU diiedentikan dengan gerakan islamisasi yang lebih merakyat (tradisional), menyentuh kalangan bawah, sistem organisasi yang lebih mengutamakan figur Kyai (ulama), dan beragam ritus-ritusnya. Sedang Muhammadiyah cenderung mengutamakan aspek modernitas, penataan organisasi yang profesional, mendekat pada masyarakat perkotaan, dan lebih “simple” bentuk ibadahnya. Itu semua adalah pilihan mereka masing-masing yang tidak mungkin bisa untuk diubah, terutama dalam tinjauan apsek praktek ibadah, sosialisasi, dan organisasinya tersebut.
Adapun dalam tinjauan berpolitik, berbangsa, dan bernegara selama ini mereka lebih flesibel. Yakni, kadang “akur” dalam satu bidang politik tertentu tapi kadang “beradu” badan satu sama lain. Tergantung apa, siapa, dan kapan yang “mampu” memanfaatkan momen itu untuk memesrakan NU dengan Muhammadiyah. Dengan kata lain, kemesraan mereka tergantung pada momen yang pas. Tidak hanya dalam suasana “romantis,” tapi juga karena timbulnya rasa saling percaya, membantu, komitmen, dan kasih sayang antara mereka.
Kemesraan yang dilandaskan pada kasih sayang itulah yang akan bersifat lebih lama dan mapan. Hal itu bila dibandingkan pada kemesraan yang didasarkan atas nafsu sesaat saja. Yakni, karena adanya kepentingan dan tujuan yang sama untuk tercapai, tidak lain adalah sebuah kenikmataan sementara. Inilah tantangan bagi para tokoh Agama Islam dari kalangan manapun untuk “mengawinkan” semangat (bukan praktik ibadahnya) mereka secara serius dan langgeng. Bukan perkawinana “kontrak” yang sangat rentan berpisah dan tentu akan berakhir seiringnya waktu yang telah disepakati.

Konteks Pilpers 2014
Seperti kita ketahui “kubu” NU dan Muhammadiyah dalam hal mendukung dua pasangan pilpres tahun ini masing-masing secara resmi akan bersikap netral. Namun, kenyataan di lapangan telah menggambarkan bahwa kedua tokoh ormas Islam tersebut terbelah menjadi dua. Bisa kita lihat Muahimmin Iskandar (Ketum PKB, partai berafiliasi NU), Khofifah (Ketua Muslimat), Alwi Shihab (Tokoh NU), dan banyak tokoh NU lainnya dengan terang-terangan mendukung Jokowi-Kalla. Sedangkan Mahfud MD dan beberapa tokoh NU lainnya mendukung Prabowo-Hatta.
Di kalangan Muhammadiyah sendiri ada Istrinya Cawapres Jusuf Kalla (aktivis Aisiyah, organisasi otonom Muhammadiyah), Din Samsudin (walau masih malu-malu kucing), dan banyak tokoh Muhammadiyah lainnya telah mendukung Jokowi-Kalla. Sedang untuk Prabowo-Hatta dari kalangan Muhammadiyah didukung oleh Amin Rais dan beberapa tokoh Muhammdiyah lainnya.
Yang lebih menggembirakan lagi, seperti yang banyak diketahui bahwa kedua Cawapres kita yaitu Kalla adalah seorang tokoh NU aktif. Sedangkan Hatta adalah Aktivis Muhammadiyah. Kabar baiknya adalah bila salah satu dari keduanya terpilih, diharapkan mereka bisa menjadi mediator untuk memesrakan NU dengan Muhammadiyah. Dengan itu diyakini kehidupan berbangsa dan beragama umat Islam akan semakin maju, karena mereka tidak akan berjalan sendiri-sendiri.

Implikasi
NU dan Muhammidayah adalah aset terbesar bangsa Indonesia dalam konteks organisasi keagamaan yang bisa “mengendalikan” gerakan umat Islam. Bila mereka bisa dipegang secara kuat, bukan hal mustahil negara ini akan benar-benar menjadi negara yang berdasarkan Pancasila. Yakni, salah satunya berasaskan “Ketuhanan yang Maha Esa.” Dengan kata lain, pembangunan negara ini dilakukan tidak dengan meninggalkan aspek-aspek religiusitas dan kearifan lokal. Namun, memberdayakan dan mengelola aspek tersebut sehingga nilai tawar dan harga diri bangsa Indonesia di mata Dunia semakin meningkat.
Bukan sebuah kemustahilan pula, dari kemesraan NU dengan Muhammadiyah itu Indonesia bisa melaksanakan ideologi negara yang benar-benar orisinel dan belum pernah ada sebelumnya. Yakni, ideologi negara Pancasila yang tidak memihak sistem Kapitalisme-Liberalisme dan Komunisme. Maupun ideologi keagamaan di Vatikan dan negara-negara timur tengah yang cenderung dimonopoli oleh satu agama tertentu. Dengan penerapan ideologi itu secara sungguh-sungguh dan nyata diharapkan bangsa lain tidak akan bisa “menembus” dan mengendalikan bidang ekonomi, sosial, dan politik bangsa Indonesia. (BanjirEmbun/11/06/2014)




Baca tulisan menarik lainnya: