Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Privacy Policy · Daftar Isi · Tentang Kami

Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan: Perspektif Interdisipliner

Anda bisa download Jurnal ilmiah berjudul PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBUDAYA NIR-KEKERASAN: PERSPEKTIF INTERDISIPLINER di sini atau di alamat website ini: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/issue/viewFile/205/pdf




Nama Jurnal                 :  Salam; Jurnal Studi Masyarakat Islam
ISSN                              :  1410-4512
Judul Artikel                :  Pengembangan Pendidikan Agama Islam  Berbudaya Nirkekerasan: Perspektif Interdisipliner
Penulis                           :  A. Rifqi Amin
Identitas Jurnal            :  Volume 18, No. 2, Halaman 184-383, Malang, Desember 2015
Halaman artikel  ini     :  217-232




Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan: Perspektif Interdisipliner



A. Rifqi Amin

Sekolah Tinggi Hasanuddin Kediri

hak_cipta@banjirembun.com


ABSTRACT Interdisciplinary approach in teaching of Education of Islamic Religion in Indonesia at this time is a necessity. Especially in the context of efforts to prevent acts of violence that can be done by learners. However, Education of Islamic Religion as one of the containers regeneration Muslims play an important role in the development of a culture of non-violence. Lately blamed on Education of Islamic Religion is less concerned about the acts of violence committed by young people. Therefore, this paper tries to offer answers to skepticism and pessimism against the Education of Islamic Religion. One of the discussion in this paper is related to the learning of Education of Islamic Religion based on non-violence culture through three studies approach that includes psychology, sociology, and biology.

Keywords: The Education of Islami Religion, Non-violence, Interdisciplinary

ABSTRAK Pendekatan interdisipliner dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Indonesia sekarang ini menjadi sebuah kebutuhan. Terlebih dalam konteks upaya pencegahan tindakan kekerasan yang berpotensi dilakukan oleh peserta didik di kemudian hari. Bagaimanapun, PAI sebagai salah satu wadah “kaderisasi” umat Islam berperan penting dalam pengembangan budaya nirkekerasan. Mengingat, selama ini PAI dituding “membiarkan” begitu saja generasi Islam melakukan tindakan yang mengarah pada kekerasan. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menawarkan jawaban atas skeptisme dan pesimisme terhadap PAI tersebut. Salah satu bahasannya adalah terkait pembelajaran PAI berbudaya nirkekerasan melalui tiga pendekatan kajian yang meliputi psikologi, sosiologi, dan biologi.

Kata Kunci: Pendidikan Agama Islam, Nirkekerasan, dan Interdisipliner



Pendahuluan
Agama (utamanya agama samawi) dan kekerasan seakan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam keduanya terjadi hubungan yang erat, entah itu direstui atau tidak oleh etika agama. Pandangan yang lebih esktrim, agama dituding sebagai penyemangat dan pengobar terjadinya kekerasan. Bahkan tanpa rasa bersalah, dikatakan kelahiran dan perkembangan sejarah agama sejatinya tidak lepas dari yang namanya kekerasan. Intinya, agama dituding gagal membawa misi perdamaian bagi umat manusia. Fungsi agama diklaim tidak lebih sebagai alat pencari “kenikmatan” atau kepuasan pribadi melalui kekerasan. Tanpa pernah peka (berempati) apakah kenikmatan (kekerasan) tersebut akan menghilangkan hak dan etika kemanusiaan.
Pada kenyataannya, beberapa aksioma tersebut bisa terbantah tatkala nilai-nilai agama didalami dengan sungguh-sungguh. Yakni, memandang ajaran agama secara utuh dan tidak tendensius. Bagaimanapun, kandungan agama tidak hanya bermuatan tentang kekerasan (utamanya peperangan) tapi juga ajaran-ajaran lain yang sangat manusiawi. Dengan demikian, ketika ada umat beragama tertentu yang memakai “ajaran kekerasan” saja tanpa melihat ajaran humanisnya lantas apakah bisa disimpulkan bahwa agama secara asali (hakikat) mengajarkan kekerasan? Selanjutnya, apabila agama dikatakan tidak memiliki manfaat serta harus dihapuskan di dunia ini, lantas apakah otomatis dapat menjamin tindakan kekerasan dapat berkurang drastis?
Adapun pertanyaan sebagai otokritik bagi pelaku kekerasan adalah apakah kekerasan merupakan cara terbaik untuk mempengaruhi “kesadaran” orang lain? Apakah benar agama hanya mengajarkan, mengutamakan, dan mewajibkan kekerasan? Adakah pilihan lain selain kekerasan yang ditawarkan oleh agama untuk memecahkan suatu masalah? Masih relevankah cara-cara kekerasan digunakan untuk membangun peradaban di era “kecerdasan” seperti sekarang ini? Pertanyaan tersebut meski sederhana pada tataran konsep bisa menjadi ganjalan bagi siapapun yang menjadikan agama sebagai dalih menghalalkan jalan kekerasan.
Dengan demikian, persoalan kompleks terkait kekerasan serta solusi penggantinya sesungguhnya menjadi tanggung jawab seluruh umat beragama. Utamanya bagaimana umat beragama dalam “mengkader” generasi penerusnya, yaitu dengan mendoktrikan ajaran agama dengan utuh. Dalam hal ini tak terkecuali bagi umat Islam. Mereka harus bisa membuktikan kemanfaatan ajaran agamanya bagi kehidupan kontemporer (memasuki zaman otak atau berfikir) yang semakin dinamis. Salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah melalui jalur Pendidikan. Dalam konteks Islam, Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan bagian terpenting untuk mendoktrin generasi mudanya. Supaya mereka mengimplementasikan ajaran agamanya secara utuh dan tidak dipilih-pilih sesuai kehendak nafsunya.
Dengan jalur itu, harapan selanjutnya adalah terbinanya generasi muda yang menuju arah insan kamil (paripurna). Salah satu cirinya menjadi insan yang menebar rahmat bagi semesta alam sehingga bermanfaat bagi kehidupan global. Bukan insan yang menjadi aktor “horor” bagi manusia lain yang tidak bersalah, yang justru sebenarnya keselamatan mereka dijamin (dilindungi) oleh Islam. Pada akhirnya, energi dan perhatian umat Islam tidak terkuras habis pada tindakan kekerasan serta untuk menghadapi berbagai dampaknya. Namun, difokuskan pada kegiatan lain yang jauh lebih bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, misalnya untuk pengembangan IPTEK.
Berpijak dari permbahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan PAI berbudaya nirkekerasan sangat dibutuhkan bagi umat Islam. Penulis memandang tema tersebut sangat penting bagi umat Islam. Mengingat, selama ini PAI dipandang berperan kecil dalam misi pencegahan kekerasan yang dilakukan oleh peserta didik saat ia masih sekolah maupun setelah lulus. Dengan kata lain perlu dirumuskan inovasi (pembaharuan) pembelajaran PAI supaya bisa mencetak generasi Islam yang anti kekerasan. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memberikan sumbangan referensi terhadap pengembangan keilmuan PAI yang berbudaya nirkekerasan dalam perspektif interdisipliner. Dengan fokus kajian yang dilandaskan pada beberapa disiplin yang meliputi psikologi, sosiologi, dan biologi.

Penjelasan Kata Kunci
Sebelum menuju pada pokok permasalahan, terlebih dahulu dipandang perlu menjelaskan paling tidak tiga kata kunci terpenting dalam pembahasan ini. Yakni, Pendidikan Agama Islam, nirkekerasan, dan Interdisipliner. Penjabaran terkait ketiga hal tersebut dibutuhkan sebagai dasar untuk merekonstruksi dan melakukan pengembangan gagasan. Mengingat, pijakan kuat sangat diperlukan dalam membangun paradigma baru, utamanya yang terkait dengan pengembangan Pendidikan Agama Islam sebagai kata kunci pertama.
Di mana, Pendidikan Agama Islam punya pengertian sebuah kajian ilmu yang bertujuan agar peserta didik mampu menerapkan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa paksaan, utamanya dari segi psikologis). Kesadaran tersebut meliputi penerapan nilai ibadah (maghdoh dan ghoiru maghdoh) atau penghambaan terhadan Tuhan dengan benar, nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme), nilai semangat dalam pengembangan diri (ijtihad) maupun pengembangan masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian di kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam. Tentu nilai itu diwujudkan secara konsisten dan mantap dengan segenap logika atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya.
Dalam ibadah ritual salat misalnya, menurut Bashori Muchsin dan Abdul Wahid (2009: 174) salat yang dilakukan biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari syahadat dan sujud kepada Allah. Artinya, belum pada tingkatan pengakuan diri bahwa dirinya adalah hamba yang wajib menyembah, membesarkan, dan mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah sebaliknya, yaitu mengutamakan kepentingan diri dan orang lain yang “statusnya” dalam bingkai (frame) sama dengannya. Pada akhirnya dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan pengabsolutan diri sendiri atau siapapun yang ada di dalam frame tersebut. Dengan kata lain, pengabsolutan diri  masih lebih mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan.
Berdasarkan pernyataan tersebut, oleh karena itu seyogianya generasi penerus harus melakukan pembaharuan. Bagaimanapun, generasi muda yang tidak berani melakukan ijtihad (pengembangan diri) lambat laun hanya akan memperlakukan agama sebagai alat pencapai kepentingannnya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progesif, dan stagnan berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
Adapun yang dimaksud nilai patriotisme (nasionalisme) dalam pengertian PAI di atas adalah nilai-nilai dalam menjaga keutuhan dan keamanan bangsa yang didasarkan pada peraturan Undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, umat Islam sebagai warga negara harus patuh terhadap undang-undang yang ada di Indonesia –perlu penjabaran panjang lebar untuk menjelaskan mengapa harus patuh-. Akan tetapi, pada intinya UUD 1945 tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Salah satu amanatnya adalah pada pasal  28J ayat:

“(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Hal yang semakna juga diterangkan dalam Pasal 28E ayat 1 dan 2 serta Pasal 28I ayat 1. (Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, http://www.dpr.go.id). Dari pemahaman tersebut, dapat dikatakan PAI (khususnya di Indonesia) sebenarnya secara duniawi nilai manfaatnya tidak hanya ditujukan bagi umat Islam sendiri tapi juga untuk seluruh umat manusia. PAI seharusnya bisa menjadi pengarah dan penyumbang terbentuknya tatanan masyarakat yang damai, berperadaban modern, beretika (tidak berpenyakit moral), dan manusiawi. Sebagaimana menurut Hendar Riyadi sebagaimana dikutip Ngainun Naim (2011: 53-55) bahwa beberapa prinsip etika dalam al Quran terkait dengan hubungan sosial antar umat beragama meliputi, egalitarianisme, prinsip keadilan, prinsip toleransi, prinsip saling menghormati (bekerjasama dan berteman), prinsip ko-eksistensi damai, dan dialog yang arif-konstruktif-transformatif.
Pada akhirnya, umat Islam bisa menjadi umat yang toleran. Yakni, menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung non muslim  yang lemah. Bisa juga menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayom terhadap minoritas dan menjadi muslim yang kokoh sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Serta dalam jangka panjang bisa menjadi muslim yang cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan oleh nonmuslim yang tertinggal. Intinya, umat Islam dengan segala kekuatan yang ia miliki bisa memberikan kedamaian bagi kehidupan seluruh umat manusia. Memang dalam konteks sekarang ini masih nampak begitu sulit dicapai, akan tetapi semangat inilah yang sesungguhnya ada dalam ajaran Islam.
Harapan selanjutnya adalah bagaimana PAI mampu mencetak generasi yang tidak sempit dalam berfikir, berperilaku, dan memandang realitas keberagaman (kemajemukan). PAI harus mencetak generasi kreatif, yang tidak mengandalkan dan gemar menggunakan jalan kekerasan. Dengan demikian, PAI di satu sisi pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan (perkembangan) masyarakat, tapi di sisi lain tetap berpedoman dan berpegang kuat pada nilai-nilai Islam. Sebagiamana menurut Kosim (2009; 219) bahwa PAI sangat sarat dengan nilai (full value), termasuk dalam penanaman nilai-nilai kasih sayang dan keharmonisan antar sesama manusia.
Masih terkait dengan tujuan pendidikan, menurut amanat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 dijelaskan bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Pernyataan tersebut dijabarkan lagi oleh Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama.” Adapun dalam ayat 2 lebih dipertegas lagi bahwa “pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.”
Lebih rinci, pada jenjang pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi Umum) berdasarkan SK no. 43/2006 Dirjen Dikti Depdiknas RI tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi dalam pasal 3 ayat 2 pada huruf a diterangkan tentang pendidikan agama punya kompetensi dasar atau lulusan yang harus “menjadi ilmuwan dan profesional yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.”
Dari semua pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam dalam konteks nirkekerasan adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT secara benar yang senantiasa menggunakan pola pikir kritis, dinamis, dan kreatif tanpa kekerasan sesuai keahlian (bidang kecerdasan) masing-masing dalam berbangsa sehingga karyanya bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat luas.
Selanjutnya, bagaimana penjebaran nirkekerasan sebagai kata kunci kedua? Istilah nirkekerasan berasal dari kata dasar “keras,” yang kemudian diimbuhi dan dikembangkan menjadi kata “kekerasan.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) imbuhan “nir-“ berarti “tidak atau bukan.” Sedangkan kata “kekerasan” punya tiga arti, yang pertama perihal atau sesuatu yang bersifat keras. Kedua, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang berakibat kecederaan atau kematian serta kerusakan fisik atau barang milik orang lain, ketiga, paksaan (http://kbbi-offline.googlecode.com).
Dengan demikian, dalam lingkup subjek, objek, tujuan, dan wilayahnya maka kekerasan bisa terjadi oleh siapa saja dan di mana saja. Misalnya, kekerasan saat berdemontrasi, kekerasan dalam rumah tangga (sesama anggota keluarga atau dengan pembantu), kekerasan dalam bercanda, kekerasan dalam berorganisasi, kekerasan dalam pendidikan, kekerasan dalam beragama, kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam bereskpresi, kekerasan dalam mengajak, kekerasan kepada hewan, kekerasan pada benda mati, kekerasan dalam mencegah, dan kekerasan dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu lainnya.
Secara gamblang, Nimer menjelaskan bahwa nirkekrasan adalah kombinasi antara sikap, pandangan, dan aksi yang dimaksudkan untuk mengajak orang di pihak lain secara damai supaya mengubah pendapat, pandangan, dan aksi mereka dengan capaian kedamaian pula. Oleh karena itu, dalam gerakan nirkekerasan para pelakunya tidak pernah membalas (merespon) tindakan the other dengan kekerasan. Sebaliknya, mereka meminimalkan kemarahan dan kerusakan secara holistik sambil menyampaikan pesan ketabahan yang tegas dan desakan untuk mengatasi ketidakadilan (Mohammed Abu-Nimer, Buku Edisi Digital dalam http://www.abad-demokrasi.com). Ini bukan berarti dalam sikap nirkekerasan seseorang hanya bersikap pasif tanpa perlawanan. Sebaliknya, perlawanan mereka dilakukan secara masif, kreatif, dan cerdas yang tentunya hanya berbasis (mengacu) pada prinsip nirkekerasan sehingga jauh lebih elegan.
Dengan demikian dalam gerakan nirkekerasan cara yang damai saja tidak cukup, perlu cita-cita atau harapan kedamaian secara aktif untuk diraih bersama. Asumsinya, seseorang bisa melakukan aksi (cara) damai tapi di sisi lain ia bermaksud (kesengajaan) atau menimbulkan (tidak sengaja) pada ketidakdamaian. Misalnya, melakukan kebebasan eskpresi yang sebebas-bebasnya dengan tujuan untuk memprovokasi dan menyebabkan amarah pihak lain. Atau paling tidak adanya faktor ketidaksengajaan. Yakni, meski tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian (tanpa provokasi) tapi tidak melihat budaya sekitar yang “kaku” (anti kebebasan) sehingga menimbulkan kekerasan oleh pihak lain. Sebab lainnya, bisa jadi pejuang nirkekerasan tidak berwawasan luas dan ke depan dalam mengantisipasi potensi respon keras akibat dari aksi perdamaiannya tersebut.
Dari penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa nirkekerasan adalah suatu sikap yang proses serta tujuannya mengacu pada prinsip-prinsip kedamaian, tanpa adanya kekerasan atau paksaan yang bisa menimbulkan kematian dan kerusakan fisik milik orang lain. Dengan demikian, konsep nirkekerasan ini bisa digunakan dalam konteks, ilmu, dan kajian apapun. Artinya, istilah “nirkekerasan” ini tidak hanya digunakan dalam perilaku yang tujuan, kandungan ideologi, dan konsepnya pada perilaku keagamaan.
Adapun istilah “interdispliner” sebagai kata kunci ketiga memiliki arti antar disliplin atau antar bidang kajian ilmu atau studi (http://kbbi-offline.googlecode.com). Dengan demikian pendekatan interdispliner punya pengertian pemusatan perhatian pada masalah atau kajian tertentu yang didekati dari berbagai disiplin keilmuan. Dengan asumsi, ilmu-ilmu tersebut dapat berfungsi secara ilmiah sebagai pemecah permasalahan yang ditemukan pada keilmuan yang sedang dikaji. Artinya, adanya keterpaduan atau korelasi antara beberapa ilmu tersebut dalam menyumbangkan solusi bagi permasalahan yang ditemui.
Selanjutnya, dalam ranah PAI sesungguhnya kajian tentang nirkekerasan dalam perspektif interdisipliner setelah ditelaah memang sangat penting. Mengingat, apapun itu masih memerlukan suatu pemahaman (penafsiran) yang tidak akan cukup kuat bila dilihat dari sudut pandang tertentu saja. Dengan kata lain, dalam wacana pendalaman masalah nirkekerasan pada PAI perlu pemahaman (masukan) dari ilmu-ilmu lain. Hal tersebut semakna menurut Sumjati sebagaimana dikutip oleh Bashori Muchsin dan Abdul Wahid (2009: 128) bahwa  “tidak mudah menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seperti main hakim sendiri (eigenrichting) yang terjadi di Indonesia. Kalau ada upaya penyelesaian maka upaya penyelesaian dimaksud harus melibatkan banyak aspek, banyak pihak, yang harus saling [ber]sinergi antara aspek, pihak yang satu dengan aspek [lain].”
Sebagaimana tentang ajaran Islam yang ternyata juga dipahami berbeda oleh berbagai kalangan, dari sudut pandang berbeda pula dari konteks bidang tertentu. Dikatakan oleh Edward Said yang dikutip oleh Nimer (Mohammed Abu-Nimer, Buku Edisi Digital dalam http://www.abad-demokrasi.com):

Bagi kaum Muslim maupun non-Muslim, Islam adalah fakta obyektif sekaligus subyektif, karena orang menciptakan fakta tersebut dalam keyakinan, masyarakat, sejarah, dan tradisi mereka, atau, dalam kasus pihak luar yang non-Muslim, karena mereka dalam pengertian tertentu, harus memperbaiki, melambangkan, dan menetapkan, identitas yang dianggap berlawanan dengan mereka secara individual atau kolektif. Ini untuk mengatakan bahwa Islam-nya media, Islam-nya sarjana Barat, Islam-nya wartawan Barat, dan Islamnya kaum Muslim – semuanya adalah aksi yang dimulai dari kehendak dan penafsiran yang terjadi dalam sejarah.

Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam pengkajian tentang nirkekerasan sesungguhnya PAI membutuhkan bantuan “penafsiran” dari berbagai sudut ilmu (interdisipliner). Dengan itu, konsep kekerasan dan nirkekerasan tidak hanya dihegemone oleh satu pemahaman teks keagamaan secara rigid (kaku) oleh pelaku kekerasan (Agus Purnomo, 2009: 6). Pada akhirnnya, pemahaman serta pengetahuan tentang Islam utamanya dalam konsep kekerasan dan nirkekerasan tidak akan bisa diklaim secara sepihak oleh siapapun. Asumsinya, tidak bisa serta merta disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang menyuruh secara mutlak pada “kekerasan,” sebaliknya menyuruh secara mutlak pada “nirkekerasan.” Bagaimanapun kedua konsep tersebut sampai sekarang masih dalam masa perdebatan sengit. Oleh karena itu, kajian interdisipliner dalam kajian ini dirasa sangat penting.

Kekerasan Atas Nama Agama
Ketika mengkaji tentang kekerasan atas nama agama, seseorang idealnya harus kritis terhadap penafsiran dan asumsi kultural keagamaannya sendiri. Dalam keadaan tersebut, pengkaji akan mengalami dilema. Banyak tawaran yang dihadapinya, yaitu lebih memilih dalam pengabdian pada kekuatan status quo atau menjadi pendukung kritisime konstruktif, komunitas, dan kepekaan moral (Mohammed Abu-Nimer, Buku Edisi Digital dalam http://www.abad-demokrasi.com). Oleh karena itu, dalam kajian ini penulis berusaha untuk mengambil jalan tengah di antara kedua tawaran tersebut.
Kajian tentang agama dari sudut apapun, khususnya di Indonesia sampai sekarang masih menjadi isu yang sensitif. Sebagamana menurut pernyataan A. Mukti Ali yang dikutip oleh Syamsul Arifin, bahwa topik pembicaraan tentang agama merupakan hal yang paling menggugah emosi. Bahkan hingga bisa menembus batas-batas kebudayaan, etnis, bahasa, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, agama mampu menyatukan berbagai etnis, bahasa, dan budaya. Implikasinya, bila ada persoalan (konflik) antar etnis atau budaya yang masing-masing didominasi oleh (pemeluk) agama yang berbeda, maka dengan begitu cepatnya mendatangkan respon dari pihak luar etnis yang seagama (Syamsul Arifin, http://rires2.umm.ac.id). Oleh karena itu, dalam konteks ini “wajar” bila ada seseorang atau kelompok di luar etnis yang rela berkecimpung pada konflik antar etnis tersebut. Bahkan dengan melakukan kekerasan sekalipun, demi membela mati-matian agama atau paling tidak membela manusia di luar etnisnya tapi yang seiman. Bisa juga “hanya” untuk  membela atau menjaga simbol-simbol Islam supaya tetap tegak berdiri bahkan menyebar ke berbagai etnis.
Sebagaimana menurut Paskalis Edwin Nyoman (2000: 38) bahwa di Dunia Timur, hubungan persaudaraan spiritual (agama) atas ama kesatuan di dalam Tuhan sering kali lebuh kuat dari pada bentuk ikatan lain, termasuk hubungan darah. Perasaan atas kesamaan religus membuat individu menjadi akrab dan kompak.  Sebaliknya perasaan religius yang berbeda dapat memisahkan orang bahkan dapat mengakibatkan konflik meskipun mereka satu keluarga. Loyalitas keagamaan ini, menurut Schneider sebagaimana dikutip Nyoman melebihi loyalitas lainnya di mana saja, kecuali dalam dunia barat modern.
Dalam konteks umat Islam, semangat kekerasan bisa jadi dilakukan sebagai reaksi atas ketakutan yang memuncak. Yakni, ketakutan rusaknya akhlak generasi muda Islam atas berbagai kemunkaran yang dilakukan atau direstui oleh golongan di luar agamanya. Edwar Schillebeeckx (2003: 243) menyatakan atas ketakutan tersebut maka hak agama lain untuk eksis terus ditekan dan ditolak. Dalam masyarakat yang beraneka ragam, penolakan ini merupakan pernyataan “perang,” sehingga mendorong pada kekerasan.
Bahkan, ketakutan terjadinya perpindahan pemeluk “Islam” yang lemah imannya atau generasi Islam yang labil ke agama lain. Bisa juga ketakutan pada perubahan akhak dan pemikiran umat Islam itu sendiri tentang Islam, sehingga dianggap menjadi acuh tak acuh, antipati, dan menyudutkan ajaran agamanya sendiri. Dari sini dapat dikatakan, tolok ukur kejayaan agama Islam oleh para pelaku kekerasan “atas nama agama” adalah berdasarkan jumlah pemeluknya. Mereka kawatir akan terjadi permurtadan massal atau berkurangnya jumlah pemeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam konflik atas nama agama ini terjadi perebutan pengaruh dan perebutan pemeluk antara agama satu dengan yang lain. Padahal, agama Islam tidak hanya memandang kuantitas saja tapi yang lebih penting adalah kualitas pemeluk agamanya. Di sinilah mereka lupa, bahwa sebelum menjaga dan meningkatkan kuantitas pemeluknya terlebih dahulu mereka harus meningkatkan kualitas agama dan kehidupan pemeluknya.
Ironisnya, sifat ketakutan (atas dasar cinta pada Islam) tersebut yang awalnya baik berubah menjadi buruk tatkala diwujudkan dalam bentuk kekerasan. Alih-alih ingin menyelamatkan umat Islam dari kerusakan aqidah maupun moral, tindakan kekerasan tersebut justru merusak citra Islam. Dengan kata lain misi “penyelamatan” Islam tersebut tidak dibarengi dengan cara yang cerdas, kreatif, berprinsip nirkekerasan, terpola, tersisitem, dan terorganisir secara matang. Seakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, satu-satunya jalan keluar adalah melalui kekerasan. Bila demikian yang terjadi, maka agama tidak difungsikan dengan semestinya. Akibatnya bukannya menyelesaikan masalah tapi malah menambah runyam bahkan menimbulkan masalah baru.
Mark Juergensmeyer (2003: 105-106) menyampaikan bahwa kekerasan biasanya digunakan untuk tujuan-tujuan hukuman sekaligus mempertahankan (menyelamatkan) agama. Dalam konteks Islam, mempertahankan eksistensi agama dipandang sebagai persoalan jihad (berjuang) yang seringkali diterjemahkan “perang suci.” Padahal dalam syariat tidak dibolehkan suatu jihad digunakan secara serampangan. Yakni, hanya untuk capain tujuan personal atau kelompok, serta untuk pembenaran dalam memaksakan hidup berbangsa. Bagaimanapun perpindahan agama yang dipandang absah hanya dilakukan tanpa kekerasan. Akan tetapi dengan kesadaran diri, yaitu dengan dorongan rasional serta adanya kehendak perubahan dari hati.
Di sisi lain, menurut Nyoman (2000: 39), ia menjelaskan bahwa:

“Fakta sejarah menunjukkan bahwa perbedaan agama dan etnis baru menjadi pemicu konflik atau kekerasan ketika ditumpangi oleh perbedaan politik dan kesenjangan sosial ekonomi. Perbedaan itu memang dapat menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi dan memahami satu sama lain, tetapi tidak dengan sendirinya menggiring orang ke tindak kekerasan.”

Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa kekerasan atas nama agama tidak serta merta bisa berdiri sendiri. Lalu menjastifikasi bahwa agama mengajarkan kekerasan yang tak beretika. Artinya, agama tidak bisa dikambing hitamkan sebagai penyebab tindakan kekerasan. Bisa jadi terjadi kesalahpamahan pelaku dalam memahami ajaran agamanya, sehingga agama dimaknai secara sempit. Serta terdapat faktor-faktor lain yang ikut menentukan baik secara langsung maupun tidak langsung dan baik dengan intensites kuat maupun lemah. Misalnya adanya pengaruh kuat dari otoritas, faktor latar belakang kehidupan pelaku, dan konteks kemasyarakatan.


Urgensi Pengembangan PAI bagi Budaya Nirkekerasan
Pada zaman mondial ini, dinamika ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi, sangat berlangsung cepat dan instan. Hal itu menuntut PAI untuk mengimbanginya dengan pengembangan diri secara “cepat” pula. Di sisi lain, akibat dari lompatan cepat tersebut tantangan dan permasalahan PAI menjadi bertambah. Misalnya, zaman dulu “kekerasan” antar tubuh oleh manusia prasejarah sangat perlu dilakukan untuk mengendalikan keadaan sosial, simbol dominasi, dan untuk mencari makan (kekerasan pada hewan). Tapi pada zaman sekarang ini bukan “kekerasan” tubuh secara berhadap-hadapan yang dapat mengatur sistem sosial, tapi adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, dengan CCTV pemerintah bisa memantau rakyatnya dari jarak jauh, atau dengan satu tombol saja negara tertentu bisa meluluh lantakkan negara lain meski jauh lokasinya dengan bom atom. Bahkan bukan suatu kemustahilan bila suatu saat diciptakan robot yang diprogram melakukan “kekerasan.”
Namun, demikian bagaimanapun Islam adalah agama universal (rahmatan lil alamin) yang menjangkau kebutuhan zaman secara totalitas dan utuh. Artinya, pendidikan Islam tidak hanya mengurusi masalah keakhiratan (eskatologi), tapi juga urusan duniawi (Mujtahid, 2011: 103-104). Artinya, manusia merupakan makhluk yang membutuhkan hal-hal bersifat fisik-biologis (homo economicus) sekaligus hal-hal yang bersifat psikologis dan spiritual atau maknawi (homo socius). Atas dasar itu, maka manusia bisa menjadi makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Namun demikian, betapa pun manusia punya kecerdasan tetap saja ia makhluk yang terbatas (Agus Efendi, 2005: 2). Dari keterbatasan itu manusia harus bekerjasama satu sama lain. Dari kenyataan tersebut PAI berperan sebagai pembangun kejiwaan, spiritualitas, dan kemaknaan hidup bersama sehingga bisa membentuk masyarakat berbudaya nirkekerasan.
Bisa dikakatan dalam posisi tersebut, PAI bertugas menyadarkan secara ilmu pengetahuan dan sikap, bahwa tindakan “kekerasan” dalam konteks yang tidak tepat, tidak manusiawi, dan dengan cara berlebih-lebihan merupakan larangan agama. Menurut Mark Jurgensmeyer, akan sangat mengejutkan dan memusingkan bila sesuatu yang buruk (kekerasan) justru dilakukan oleh orang “baik.” Yakni, yang mengabdikan diri pada pandangan moral dunia dan orang yang saleh. Dengan argumen dan retorika yang nampak luhur, padahal tindakan mereka telah menyebabkan penderitaan dan kekacauan kehidupan (Mark Jurgensmeyer, 2003: 9). Oleh karena itu, PAI berserta institusinya seyogianya tidak hanya mendorong peserta didik hanya untuk bersabar, tabah, menerima takdir, dan pasrah pada keadaan zaman. Serta sebaliknya, “mendorong” mereka mengutuk dan mencemooh negara yang membuat teknologi yang menimbulkan kekerasan. Namun, PAI harus bisa memberikan dorongan untuk hidup damai serta mendorong peserta didik menciptakan teknologi canggih yang berbasis nirkekerasan.
Dari penjelasan di atas dapat dibuat rumusan gambar terkait peran PAI dalam pencegahan tindakan kekerasan di kemudian hari sebagai berikut:





Gambar 5: Upaya Pemutusan Rantai Kekerasan “Ideologis” Melalui Pendidikan

 


Dari gambar di atas, dapat dikatakan peran pendidikan utamanya PAI cukup penting dalam membangun kerangka psikologis-ideologis peserta didik. Yakni, pemberian materi PAI yang bisa membangun nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan empati. Dengan itu peserta didik akan mampu membangun prinsip kehidupan damai yang mantap di kemudian hari, sehingga tidak mudah dipengaruhi paham-paham yang sesat. Mereka mampu membedakan mana tindakan biadab (tidak manusiawi) dan mana tindakan yang mampu mempertahankan nilai-nilai manusiawi. Misalnya, dalam keadaan damai melakukan penyerangan (kekerasan) terhadap masyarakat sipil merupakan tindakan tidak manusiawi. Namun, mengadakan penyerangan (kekerasan) terhadap musuh yang telah melakukan penyerangan terlebih dahulu bernilai jihad. Bahkan merupakan tindakan manusiawi yaitu demi mempertahankan nilai-nilai kehidupan.

Lebih lanjut, tugas PAI adalah mengakomodir peserta didik sebagai generasi umat Islam yang memiliki potensi (diprediksi) melakukan tindakan agresif dan kriminal. Utamanya, bagi mereka yang telah mengalami “kegagalan” dalam mengkonsep kepribadiannya dan yang mengalami benturan psikologis hebat, terutama di masa kecilnya. Cara lain adalah mengkonstruk tindakan dan nilai-nilai terorisme sebagai sesuatu yang tidak memiliki daya tarik sama sekali. Kemudian merubah arah “semangat” beragama mereka menuju hal-hal yang jauh lebih berdampak positif bagi kehidupan seluruh umat manusia. Misalnya dalam bidang ilmu pengetahuan alam memotivasi mereka untuk menciptkan karya yang bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.



Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan

Dalam mencari latar belakang (penyebab) terjadinya kekerasan, masih sulit diterima alasan bahwa aneka kekerasan itu hanya dipicu oleh provokasi para elit politik. Pun juga, logika manusia belum puas terhadap jawaban yang mengatakan pembakaran terhadap aneka tempat ibadah dan perkampungan dari kelompok (etnis) umat agama tertentu dilakukan oleh orang-orang yang tidak kuat imannya (Armada Riyanto, 2000: 24). Di sinilah perlu analisis kritis adakah yang salah dengan pola “pengkaderan” generasi umat beragama. Lebih spesifik adakah yang salah dengan Pendidikan Agama termasuk PAI di lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga kekerasan masih jamak terjadi. Dikhawatirkan konsep keimanan yang dibangun dan dijadikan patokannya masih salah kaprah dan tidak utuh. Oleh karena itu, paling tidak dalam PAI harus ada upaya pencegahan secara aktif bagi peserta didik sehingga terhindar dari “kebiasaan” kekerasan.
Dalam hal ini Bandura (2003: 206) membuat sebuah skema tentang manipulasi psikologi pelaku kekerasan sehingga rela bertindak kejam sebagai berikut:
     
 


Gambar 6: Mekanisme Psikologi Kekerasan dalam Mengkonstruk Pembenaran Diri (skema diadaptasi dari Albert Bandura)

Keterangan:
Tindakan tercela (amoral): penafsiran ulang secara kognitif, sehingga perbuatan tersebut yang awalnya haram-terceal menjadi boleh-mulia bahkan wajib dilakukan.
Timbul kerusakan/kerugian: Kerusakan fisik dianggap sebagai simbol gerakan menekan “kemrosotan,” dengan dalih agar tujuan yang lebih mulia bisa tercapai.
Korban manusia: Pengorbanan tubuh manusia bahkan nyawanya dilakukan karena keadaan “terpaksa.” Manusia tidak lagi dianggap manusia melainkan hanya dijadikan tumbal perjuangan.

Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa pada mulanya pelaku kekerasan menganggap bahwa merusak fasilitas umum dan melukai tubuh atau fisik (barang) orang lain adalah tindakan tercela (berdosa) dan diluar standar moral. Namun, kemudian untuk mengkaburkan sifat tercela tersebut pelaku kekerasan mencari dan mengumpulkan berbagai dalih pembenaran dengan berbagai cara. Termasuk salah satunya mengkambing hitamkan penyebab pada pihak lain. Oleh karena itu, sesungguhnya pembelajaran PAI hendaknya bisa memberikan tekanan kepada peserta didiknya tentang wawasan dan standar etika global. Hal ini penting, selain karena mengakui hak hidup nyaman manusia lain, tapi juga untuk membangkitkan kesadaran dan mengkritisi standar etika kelompok atau otoritas yang belum tentu sesuai dengan standar etika global bahkan etika Islam.
Dalam hal ini, biasanya individu atau kelompok tertentu memahami dan menghayati keagamaannya dari pihak otoritas. Misalnya, terafilisasi pada ideologi organisasi keagamaan tertentu, doktrin orang tua, guru (utamanya guru agama), tokoh agama, dan pihak-pihak lain yang dianggap pantas menjadi panutan dan penentu arah hidupnya. Kenyataan tersebut sangat sulit sekali dirubah apalagi tatkala fanitisme tersebut sudah terlanjur melekat, sehingga sulit untuk mengikuti dinamika. Implikasinya, daya kritis seseorang terhadap pemahaman agama menjadi lemah, sehingga pemahaman agamanya bisa dibelokkan untuk kepentingan kekerasan. Padahal sudah menjadi pemahaman bersama bagi umat Islam bahwa kenyataan tentang “perbedaan” adalah sunatullah, sesuatu yang tidak bisa dihindari (given). Di mana salah satu fungsinya hadir sebagai sarana ujian bagi manusia dari Allah SWT.
Kenyataan di Indonesia, mempermasalahkan kehidupan (cara) beragama di Indonesia masih dianggap tabu. Di mana pemeluk agama dibiasakan selalu menerima ajaran agama tanpa diperbolehkan mengkritisi sedikitpun (taking for granted). Implikasinya, kadang umat beragama akan merasa kehilangan daya kritis, inovaif, dan dinamis sehingga “lupa” caranya beragama dengan benar. Padahal, setiap pertanyaan yang diajukan hati nurani mengenai agama sebenarnya malah menjadi titik tolak baru untuk pendalaman dan penghayatan hidup beragama itu sendiri. Intinya, “ajaran” agama yang diutamakan hanya berhenti pada pemujaan Tuhan semata, sehingga berakibat memandang sepele terhadap etika kemanusiaan (Armada Riyanto, 2000: 24-25). Pada akhirnya, karena keringnya etika tersebut, umat beragama akan menjadi ekslusif dalam penghayatan agama. Dengan demikian, Tuhan digambarkan hanya mengurusi umat beragama tertentu. Tuhan dipandang tidak mengurusi serta memberi kesempatan bagi umat yang lain untuk hidup nyaman di dunia ini.
Dengan bahasa lain, seringkali umat beragama menyamakan antara sifat Ketuhanan dengan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Mereka begitu yakin bahwa Tuhan dapat marah seperti layaknya manusia cepat marah. Pun juga cepat percaya bahwa Tuhan mudah menaruh dendam seperti manusia yang serta merta menaruh dendam. Seakan-akan Tuhan hanya mencintai golongan tertentu sementara pada yang sama membenci yang lain, yang belum tentu jauh lebih buruk dariya. Dengan itu, mereka meyakini bahwa Tuhan memang menghendaki kematian atau kehancuran golongan “pelanggar” tersebut (Armada Riyanto, 2000: 24-25). Bisa dikatakan, manusia seperti ini hanya membangun presepsi tentang Tuhan bukan berdasarkan teks-teks wahyu yang utuh tapi berdasarkan pengalaman dan kepentingan pribadi.
Didasarkan pada penjelasan tersebut, PAI seharusnya melakukan pengembangan atau perubahan paradigma. Salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan materi. Misalnya pengembangan terhadap materi sejarah Islam terkait peperangan yang selama ini seakan “membolehkan” peserta didik untuk melakukan kekerasan (perang fisik). Seharusnya materi tentang sejarah peperangan dan kekerasan tidak boleh diberikan secara parsial, tendensius, dan hanya berbicara tentang kalah atau menang (dominan). Namun, harus diberikan secara utuh serta lebih banyak memunculkan nilai-nilai etika dalam peperangan tersebut. Bila muatan etika lebih ditekankan maka nilai-nilai kemanusiaan akan nampak, bukan nilai-nilai kekerasan yang ditonjolkan. Dengan demikian, diharapkan ideologi yang disampaikan pada peserta didik tidak “menyesatkan” atau tidak akan ditafsirkan secara salah oleh mereka.
Pada akhirnya, pembelajaran PAI bukan sekedar upaya untuk pemberian ilmu pengetahuan yang berorientasi pada target penguasan materi, misalnya materi tentang peperangan. Akan tetapi sebagaimana menurut penjelasan di atas pendidik juga ikut andil dalam pemberian pedoman hidup (pesan pembelajaran) misalnya tentang moralitas (akhlak) kepada peserta didik yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain (Muhammad Kholid Fathoni, 2005: 51). Komponen inilah yang ikut andil pada pemberian cetak biru khusus sehingga menjadi ciri utama pembelajaran PAI. Yakni, salah satunya dalam bidang pengendalian moralitas bangsa yang tidak lekat dengan tindakan kekerasan.
Secara terperinci, dalam konteks pendidikan, yaitu penanaman  ideologi agama yang benar (utuh) kepada peserta didik harus ditanamkan secara konsisten. Yakni, penanaman “ideologi” kedamaian yang bukan hanya untuk seagama sendiri. Artinya, untuk umat seagama sendiri bersikap lemah lembut tapi pada agama lain akan bersikap keras dan melemahkannya. Sebagaimana menurut menurut Saymsul Arifin (2009: 199) bahwa “setiap gerakan fundamentalisme agama memiliki ideologi. Bagi gerakan sosial, keberadaan ideologi memiliki arti penting. Tanpa ditopang ideologi, keberadaan suatu gerakan sosial hanya akan menghadapi ketidakpastian yang berkepanjangan.” Kritik sosial dan gerakan fundamentalis tersebut ditujukan kepada berbagai macam penyakit sosial yang menimbulkan krisis kehidupan masyarakat. Krisis inilah yang ingin disematkan oleh mereka dengan mengembalikan pada tatanan kehidupan ideal pada masa lalu. Serta memberikan janji kemuliaan di masa akan datang (eksatologis).

Perspektif Interdisipliner
Penggunaan perspektif interdisipliner dalam pengembangan PAI pada zaman sekarang ini sangat penting. Selain karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, juga dilandaskan pada pandangan bahwa penggunaan ayat kauliyah saja sebagai dasar utama PAI tidak cukup. Namun perlu, ayat-ayat kauniyah sebagai sumbangan bagi pengembangan PAI. Baik dalam bidang materi, strategi, tujuan, media, dan komponen pembelajaran lainnya. Oleh karena itu, untuk memfungsikan PAI secara optimal, salah satu konsep Muhaimin (2003: 170-172) adalah dengan mengarahkan truth claim dengan tepat dan sah. Berangkat dari pernyataan tersebut maka penulis memandang penting mengkaji tema “kekerasan” yang ditinjau melalui kajian psikologi, sosiologi, dan biologi.
Pertama, kajian psikologi. Bila dikaitkan dengan psikologi menurut Abuddin Nata pendidikan adalah pemindahan (transmission) nilai-nilai, ilmu, dan kecakapan dari generasi tua kepada generasi muda dalam rangka melanjutkan serta memelihara identitas (peradaban) dan kepribadian masyarakat tersebut. Di mana dalam proses transmisi “kepentingan” masyarakat tersebut, psikologi memiliki peran yang sangat penting (Abudin Nata, 2009: 163). Salah satu caranya adalah melakukan proses pembelajaran dengan metode nirkekerasan. Hal ini perlu dilakukan karena menurut Bashori Muchsin (2010: 109) Seorang anak yang didik dalam balutan kekerasan, suatu saat pengalaman kekerasan tersebut berpotensi besar akan ditiru oleh mereka di saat dewasa kelak.
Lebih lanjut, kekerasan biasanya diidentikkan dengan agresifitas. Di mana Freud dan Lorenz sebagaimana yang dikutip Fromm memandang bahwa agresifitas seseorang merupakan sifat bawaan (genetis). Freud mengemukakan teori tentang insting, yaitu insting kehidupan (eros) dan insting kematian (death instinct). Insting kematian bisa tertuju pada organisme itu sendiri yang beruwujud dorongan perusakan diri dan tertuju pada pihak luar. Dengan demikian, agresi bukanlah reaksi terhadap stimulus dari luar, tapi dorongan dari dalam diri sendiri yang menggelora dan berakar dari kondisi biologis (otak) manusia (Erich Fromm, 2001: 6).
Selanjutnya, sebagaimana menurut Lorenz, kehendak untuk agresif tersebut sebagai insting suatu saat akan “meledak” meski tak ada rangsangan dari luar. Hal ini bisa terjadi bila  “energi” yang tak tertahan (mempat) tak bisa ditampung lagi. Asumsinya, manusia dan binatang biasanya tidak akan pasif dalam menemukan stimulus tersebut. Bahkan, cenderung mencari dan bila perlu menciptakan stimulus. Dalam konteks sosial, manusia akan melepaskan “energi” (dorongan) agresifnya dalam bentuk “mencari perkara.” Misalnya, membuat partai politik yang bisa menyebabkan timbulnya agresi kepada orang lain. Namun, bila sama sekali tidak ada sitimulus yang apat ditemukan dan diciptakan, maka dorongan agresif yang tertahan (tidak dilampiaskan) akan menjadi demikian besar dan siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, menurut Lorenz agresi pada dasarnya bukan respon atas stimulus dari luar. Melainkan rangsangan dalam diri yang sudah “terpasang,” sehingga butuh pelampiasan dan akan terekspresikan meski mendapat stimulus dari luar yang kecil. Model agresi ini sama seperti model libido Freud, yang dinamai model “hidrolik.” Yakni, tekanan yang ditimbulkan oleh air atau uap dalam tabung tertutup (Erich Fromm, 2001: 8-9).
Teori lain terkait dengan tindakan kekerasan adalah “kefrustasian.” Menurut Buss sebagaimana dikutip Fromm, fursatasi adalah penghilangan hasrat atau keinginan dari individu yang ingin mencapai tujuan tertentu, sehingga terjadi “putus harapan.” Misalnya seorang anak yang meminta roti kepada ibunya lalu ibunya menolak, atau seorang pria yang menembak wanita tapi hasilnya mendapat penolakan. Lebih rinci, timbulnya frustasi salah satunya ditentukan oleh karakter seseorang. Misalnya, seseorang yang sangat rakus, akan sangat marah bila ia tidak memperoleh makanan yang ia inginkan. Begitu pula orang kikir, akan sangat marah bila harus membayar makanan yang terlalu mahal. Adapun karakter narsistik akan meras frustasi bila tidak mendapatkan sanjungan (penghormatan) sesuai dengan yang dikehendaki (Erich Fromm, 2001: 83-84).
Namun, pernyataan tersebut dikritisi oleh Fromm. Ia berpendapat bahwa tidak ada hal istimewa, besar, dan membanggakan yang dapat diraih tanpa terlebih dahulu mengalami frustasi. Terlebih untuk menuju pencapaian pada tingkat keahlian tinggi. Dengan kata lain, tanpa kemampuan dalam menerima sekaligus mengalami frustasi manusia nyaris tidak dapat berkembang sama sekali. Asumsinya, dalam kehidupan sehari-hari banyak diketahui orang sedang mengalam frustasi (tekanan) tapi tidak memperlihatkan respon agresif. Meski, yang kerap memunculkan agresi adalah sesuatu yang diartikan (disebut) sebagai frustasi. Serta makna frustasi secara psikologis tentunya berbeda sesuai dengan kondisi sosial.
Dari semua pembahaan di atas, upaya pencegahan PAI agar tidak terciptanya kekerasan adalah dengan penekanan empati –misalnya konsep altruisme positif– pada pembelajarannya. Di mana empati sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan etika (konsep baik dan buruk). Dengan kata lain, PAI idealnya bisa menumbuhkan empati peserta didik terhadap umat beragama lain. Salah satu caranya adalah melalui passing over (lintas batas/sekat). Secara rinci Syamsul Arifin (2000: 51) menyatakan:

“Adanya suatu yang hilang dari agama, yaitu daya jelajah agama yang memungkinkan setiap orang melakukan ziarah spiritual – yang oleh John S. Donne disebut dengan passing over, kecuali akan menambah wawasan intelektual agama lain yang diperolehnya secara fenomenologis. Juga, akan dapat memperkaya pemahaman spiritual yang sebelumnya diperkaya oleh agama yang dipeluknya.”

Lantas bagaimana individu dapat keluar dari penyandraan formalitas agama, sehingga bisa melakukan perjumpaan secara mendalam dengan agama lain? Semua itu menurut Syamsul Arifin, tergantung pada proses pembelajaran atas agama yang dipeluk (Syamsul Arifin, 2000: 51). Namun demikian, empati tidak boleh diwujudkan dengan menggunakan simbol-simbol agama lain dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan melakukan ibadah agama lain. Penggunaan empati di sini cukup sebatas pada perkataan dan perilaku toleran dalam urusan muamalah yang tidak menjurus pada ritual keagamaan. Pernyataan tersebut sebagaimana saran Gadner (pencetus teori multiple intelligences) terhadap guru, bahwa mereka harus melatih anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan pribadi (intrapersonal) di sekolah (Daniel Goleman, 1999: 56).
 Lebih konkrit Gadner memandang penting adanya “flow” dalam setiap pembelajaran. Menurut Daniel Goleman (1999: 127)Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Dengan kata lain, segala tindakan yang dilakukan berasal dari kesadaran diri bukan paksaan atau doktrin buta dari orang lain.
Kedua, kajian sosiologi. Di era sibernetika (komunikasi) seperti sekarang ini, seseorang semakin pontesial untuk dimanipulasi “pikirannya.” Baik itu dalam bidang profesi, konsumsi, dan ideologinya. Sebagaimana dalam konsep “pembiasaan positif” milik Skinner. Dalam kacamata ini, individu kehilangan “kesadaran” kritisnya dalam proses sosial. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Ia menjadi objek yang telah dikontrol oleh sosial, sehingga apabila tindakan dan pemikirannya tidak sesuai dengan tatanan sosial akan sangat merugikan bagi dia. Bila ia bertekat tetap menjadi dirinya sendiri, maka akan kehilangan identitas (status), terisolasi (terkucil), diusir, dan bahkan kehilangan nyawanya (Erich Fromm, 2001: 45). Hal ini tentunya juga dalam mewujudkan ekpresi keagamaan individu. Dalam praktik beragama, seseorang biasanya hanya ikut-ikutan (absolutisme agama) tanpa terlebih dahulu mengkritisi. Sebagaimana menurut Muchsin dan Wahid (2009:47-48), bahwa:

“Dalam kajian sosiologi, agama dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu: pertama, emosi keagamaan yang menyebabkan manusia memiliki rasa dan semangat beragama; kedua, sistem keyakinan yang mencakup segala keyakinan terutama terhadap Tuhan dan kehidupan ghaib, termasuk juga sistem nilai dan moral; ketiga, sistem ritus sebagai upaya manusia mengadakan hubungan dan melakukan pendekatan kepada Tuhan dan sikapnya menghadapi lingkungannya; dan keempat, konsep umat atau solidaritas sosial yang menganut sistem agama tersebut.”

Lebih tegas, Syamsul Arifin menyatakan bahwa agama hanya digunakan sebagai pembentuk identitas diri dan kelompok. Dampaknya, dalam antropologi berpotensi pada penciptaan bounded system. Pada akhirnya muncul sikap psikosiologis, yaitu in group feeling dan out group feeling. Selanjutnya, sebagai pemerkokoh identitas, suatu komunitas agama melakukan pengembangan narasi besar yang bersumber dari Tuhan. Serta memunculkan ekspresi keagamaan tertentu dalam skala masif sebagai wujud public expose, sehingga menjadi penegas perbedaan antara kelompok agama tersebut dengan yang lainnya (Syamsul Arifin, http://rires2.umm.ac.id). Dengan kata lain telah terjadi penutupan peluang untuk melakukan hubungan sosial (dialog) antar umat beragama. Di sinilah nampak terjadi pelemahan kecerdasan intrapersonal, kematian sikap kritis, dan ketiadaan “kesadaran subjektif” pemeluk agama dalam mengekspresikan dan mengahayati agamanya.
Dari pembahasan tersebut maka pembelajaran PAI hendaknya bisa menumbuhkan kecerdasan spiritual[1] peserta didik. Dimana menurut Danah Zohar dan Ian Marshall (2007: 144) bahwa ada tiga sebab yang menjadikan manusia dapat terhambat secara spiritual: a.tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali. b. telah mengembangkan beberapa bagian, namun tidak proposional, atau dengan cara yang negati atau destruktif. c. bertentangan atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.”
Lebih detail, menurut Zohar yang dikutip oleh Agus Efendi (2005: 236-237) bahwa ada tujuh langkah praktis kecerdasan spiritual yang lebih tinggi. Di antaranya meliputi kesedaran akan keberadaan diri (di mana sekarang?), merasakan keinginan kuat untuk berubah, merenung dan menanyakan motivasi terdalam, menemukan dan mengatasi rintangan, menggali banyak peluang untuk melangkah maju, ketetapan hati pada sebuah jalan, dan kesadaran akan banyak jalan lain.
Lebih detail, semangat kesuksesan untuk selalu menjadi lebih baik memberikan semangat manusia mencari jalan bagi spiritualnya.[2] Yakni, ketenangan hidup dan makna hidup. Semua itu tidak bisa terpenuhi hanya dengan kelimpahan materi, ketinggian jabatan, dan popularitas. Sebaliknya, keutuhan spiritual dapat dicapai dengan meningkatkan integritas diri, penghormatan (komitmen) pada kehidupan, dan penyebaran kasih sayang serta cinta. Namun demikian, hal-hal tersebut tidak berhubungan lansung dengan ritual agama. Artinya, tidak selalu orang yang rajin shalat, sering naik haji adalah orang yang memiliki spiritualitas tinggi dan utuh. Bahkan banyak agamawan yang kehilangan spiritualitas karena terlalu banyak mengandalkan ritual, upacara, dan formalitas agama. Dengan demikian, antara ritualitas (simbol) dan spiritualitas merupakan dua hal yang berbeda walaupun berkaitan (Taufiq Pasiak, : 255).
Ketiga, kajian biologi. Salah satu materi yang dikaji pada biologi adalah otak. Di mana otak merupakan organ vital utama manusia selain jantung dan paru-paru. Implikasinya, manusia secara fisik tanpa otak tidak akan berarti apa-apa, seluruh organ dalam dan panca indra tak akan berfungsi. Inilah yang disebut dengan kematian (meninggal dunia) secara fisik. Bisa dikatakan bahwa keadaan otak manusia secara fisis-biologis sangat menentukan bagi perkembangan kecerdasan.[3] Menurut Agus Efendi (2005: 55), tentang rahasia otak beserta kecerdasaannya[4] sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan, bahkan dirasa masih sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di dalam otak terbukti ada tiga kategori yaitu otak rasional, otak emosional,[5] dan otak spiritual.
Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Pasiak bahwa otak merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai alat. Fungsi otak tidak hanya untuk berpikir rasional. Namun  fungsi otak terdiri dari 3 jenis kemampuan untuk memanajemen diri seperti mengutuhkan spiritualitas (SQ), mematangkan emosi (EQ), dan berpikir rasional (IQ). Bila ketiga fungsi otak tersebut dikelola dengan baik, manusia akan menjadi makhluk termulia (Taufiq Pasiak, : 250-251).
Bisa dikatakan, otak manusia menurut Zohar dan Marshall (2007: 50) jauh lebih kompkes dari pada komputer manapun. “Otak bekerja dengan sistem pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas beberapa modul kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem asosiatif yang terisolasi.” Akan tetapi dua sistem tersebut berinteraksi dan saling menguatkan sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi. Artinya, antara IQ dengan EQ terjadi sinergitas.
Selain otak, secara biologis menurut Baron dan Byrane sebagaimana dikutip Rifa Hidayah (2004: 203-216) perilaku agresi seseorang juga dipengaruhi oleh hormon tertentu, seperti serotonin dan testoterone. Lebih detail, Iin Tri Rahayu (2004: 167-175) menyampaikan bahwa menurut Davidoff diantara faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi adalah:
1.       Gen. Pembentukan sistem neural (saraf) otak dipengaruhi oleh gen dalam mengatur perilaku agresi.
2.       Sistem otak. Bagian otak tertentu yang tidak terlibat dalam agresi dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Prescott menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kesenangan (nikmat) dan rasa santai akan cenderung sedikit melakukan agresif, begitu sebaliknya. Ia juga meyakini, keinginan yang kuat untuk “menghancurkan” disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal. Hal ini bisa saja disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan waktu bayi.
3.        Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan). Fenomena ini misalnya terjadi pada wanita yang sedang mengalami haid, di mana kadar hormon esterogen dan progresteron menurun. Perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang, dan bermusuhan. Kenyataannya, banyak wanita yang melakukan pelanggaran (agresi) pada saat berlangsungnya siklus haid.
Pernyataan tersebut hampir sama dengan pendapat Lyndon Saputra, sebagaimana dikutip Abudin Nata  bahwa  menurut teori disiplin mental ternyata manusia sejak dari lahir telah memiliki potensi bawaan secara gen (hereditas). Dalam posisi ini, maka makna belajar merupakan upaya pengembangan terhadap potensi-potensi tersebut. Selanjutnya, Abudin Nata menjelaskan dalam teori mental humanistik, proses pendidikan lebih menekankan pada keseluruhan dan keutuhan.  Artinya, pendidikan harus menekankan pendidikan umum (general education). Asumsinya, bila individu menguasai persmasalahan umum, maka akan mudah diterima lalu diterapkan pada hal-hal lain yang bersifat khusus (Abudin Nata, 2009: 172-173). Namun tampaknya, nilai-nilai keuniversalan  agama Islam inilah yang sering kali ditinggalkan dalam pembelajaran PAI.  Di mana, kegiatan pembelajaran hanya difokuskan pada masalah fikih dan dibelokkan pada sentimen keagamaan yang menutup diri dari kenyataan bahwa “di luar” sana ada keberagaman agama.
Penutup
Untuk menanggulangi regenerasi bahkan pengembangan “kader” kekerasan, Pendidikan Agama Islam harus melakukan pencegahan secara aktif. Utamanya mencegah potensi tindakan kekerasan yang mungkin dilakukan siswa pada suatu saat nanti. Bagaimanapun sifat kepasifan PAI, secara tidak langsung mengizinkan peserta didik untuk melakukan kekerasan demi mewujudkan tujuan agamanya. Seharusnya, Islam bisa menjadi pencegah tindakan kekerasan yang mencederai hak-hak keutuhan fisik dan psikologis orang lain. Dengan kata lain, PAI harus menekankan secara kuat bahwa kekerasan (keonaran yang melanggar hukum positif) sebagai perbuatan yang tabu dan melanggar asas-asas kemanusiaan sekaligus ajaran Islam. Bila tanpa ada penekanan tersebut, maka wajar bila siswa mudah terpengaruhi untuk melakukan ajaran agama yang parsial. Salah satunya cenderung mendalami “ajaran” yang berpotensi pada kekerasan saja.
Dengan demikian, PAI sebagai salah satu indikator keberhasilan tentang bagaimana dan sejauh mana ajaran agama itu didoktrikan pada generasi mudanya (siswa). Bila ajaran yang didoktrikan tersebut masih parsial maka tentu berpeluang besar mencetak generasi Islam yang akrab dengan kemerosotan moral, misalnya melakukan kekerasan. Namun, bila PAI utamanya dalam lembaga pendidikan Islam mampu mengajarkan ajaran Islam secara utuh maka berpeluang besar mencetak generasi Islam yang mampu menyamai bahkan melebihi generasi barat. Yakni, yang unggul dalam etika, estetika, dan ilmu pengetahuan umum sehingga pada akhirnya umat Islam bisa menjadi solusi bagi permasalahan global.
Kesimpulannya, untuk melaksanakan dan mencapai tujuan tersebut PAI tidak dapat berdiri sendiri. Perlu beberapa disiplin lain (pendekatan interdisipliner) sebagai pisau analisa untuk menyelesaikan masalah. Beberapa studi lain yang berpengaruh kuat terkait persoalan tulisan ini adalah psikologi, sosiologi, dan biologi. Di mana ketiga bidang kajian tersebut memberikan andil besar bagi PAI dalam melakukan pencegahan bahkan berfungsi kuratif bagi peserta didik yang lekat dengan tindakan kekerasan.


Daftar Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,” dalam http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/pp55tahun2007.pdf, didownload 22 Desember 2014.

“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” dalam http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45, didownload 04 Oktober 2014.

Amstrong, Thomas. (2005). “Seven Kinds of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence,” dalam Seven Kinds of Smart: Identifying anda Developing Your Multiple Intelligences, terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia.

Arifin, Syamsul. (2000). “Klaim Kemutlakan, Konflik Sosial, dan Reorientasi Keberagamaan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma.

Arifin, Syamsul. (2009). Studi Agama: Perspektif Sosiologis &Isu-isu Kontemporer. Malang: UMM.

Arifin, Syamsul. “Implementasi Studi Agama Berbasis Multikultural dalam Pendidikan,” dalam http://rires2.umm.ac.id/publikasi/lama/IMPLEMENTASI%20STUDI%20AGAMA2.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.

Bandura, Albert. (2003). “Mekanisme Merenggangnya Moral,” dalam Walter Reich, “Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental,” terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Efendi, Agus. (2005). Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta.

Fathoni, Muhammad Kholid. (2005). Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru]. Jakarta: Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam.

Fromm, Erich. (2001). “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Goleman, Daniel. (1999). “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence Terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hidayah, Rifa. (2004). “Dampak Tayangan Kekerasan Pada Anak,” dalam Jurnal Psikoislamika Vol.1/No.2/Juli.

Jurgensmeyer, Mark. (2002). “Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama,” dalam Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam.

Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

Kosim, Muhammad. (2009). “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural,” dalam Pendidikan Agama Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin dan Neneng Habibah. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.

Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid. (2009). Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung: Refika Aditama.

Muchsin, Bashori, dkk. (2010). Pendidikan Islam Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung: Refika Aditama.

Muhaimin. (2003). Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: PSAPM.

Mujtahid. (2011). Reformasi Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki.

Naim, Ngainun. (2011). Teologi Kerukunan Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras.

Nata, Abuddin. (2009). Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy). Jakarta: Rajawali.

Nimer, Mohammed Abu “Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktek,” dalam Nonviolence and Peace Building in Islam: Theory and Practice, terj. M. Irsyad Rhafsadi dan  Khairil Azhar. EDISI DIGITAL, http://www.abad-demokrasi.com/sites/default/files/ebook/Nirkekerasan%20Abu-Nimer.pdf, didownload tanggal 16 Desember 2014.

Nyoman, Paskalis Edwin. (2000). “Agama dan Kekerasan,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma.

Pasiak, Taufiq. Manajemen Kecerdasan: Memberdayakan IQ, EQ, dan SQ untuk Kesuksesan Hidup. Bandung: Mizan.

Post, Jerrold M. (2003). “Psiko-logika Teroris: Perilaku Teroris Sebagai Hasil Tekanan Psikologis,” dalam Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, ed.Walter Reich, terj. Sugeng Haryanto. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Purnomo, Agus. (2009). Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis-Sosial Radikalisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahayu, Iin Tri. (2004). “Kekerasan dan Agresifitas,” dalam Jurnal Psikoislamika Vol.1/No.2/Juli.

Riyanto, Armada. (2000). “Membongkar Ekslusivisme Hidup Beragama,” dalam Agama Kekerasan: Membongkar Ekslusivisme, ed. Armada Riyanto. Malang: Dioma.

Schillebeeckx, Edwar. (2003). “Dokumentasi: Agama dan Kekerasan,” dalam Agama  Sebagai Sumber Kekerasan? Judul Asli: Religion as a Source of Violence, ed. Wim Beuken. dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya. (2003). Jakarta: Cemerlang.

Zohar, Danah dan Marshall, Ian. (2007). “SQ: Kecerdasan Spiritual,” dalam SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, terj. Rahmani dkk. Bandung: Mizan.






 Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguru Tinggi Umum (Buku pertama karya A. Rifqi Amin pendiri blog Banjir Embun) 
Lihat juga profil lengkap buku ke-2 A. Rifqi Amin berjudul "Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner"

 BUKU-BUKU KARYA A. RIFQI AMIN TERBEBAS DARI KEJAHATAN ILMIAH (UTAMANYA PLAGIASI)!!!
Link Terkait buku A. Rifqi Amin:


  

Salam Jurnal Studi Masyarakat Islam (sumber gambar pascaumm)





Baca tulisan menarik lainnya: