BAB III BISIKAN ANGIN SURGA
Bagian Ketujuh: Anugerah Terindah, Awal Perjuangan Menuju Bahagia
Kota Singkawang, Maret 2012
Alhamdulillah, bayi yang kami harapkan akhirnya lahir. Tepatnya, pada sekitar dua pekan yang lalu, anak pertama kami jenis kelaminnya sesuai harapan ibu kandung saya, telah hadir di dunia yang penuh tantangan ini. Proses kelahiran dilakukan secara alami.
Awalnya sih, bidan yang menjadi tujuan rutin kami dalam konsultasi serta periksa kehamilan telah merekomendasikan untuk melakukan operasi caesar di pusat kesehatan yang sudah ditentukan olehnya. Dengan diimingi mendapat fasilitas ambulan yang ada di tempat praktik miliknya untuk menghantarkan Heni ke sana.
Pada waktu itu Heni sempat saya tanya "Kamu mau caesar atau tidak?"
Heni menjawab "Aku terserah kamu."
Lantas, saya memilih second opion. Dengan segera mengajak Heni ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan untuk pemeriksaan lanjutan demi mengetahui apakah proses kelahiran harus caesar atau bisa diterapkan secara alami.
Bersyukurnya, dokter yang memiliki banyak pasien yang antre di tempat praktiknya tersebut memberi kepastian secara tegas bahwa tidak perlu caesar. Dengan kenyataan itu, Heni semakin yakin bersalin secara alami. Kelahiran seperti itu, sudah sesuai fitrah nenek moyang kita dahulu kala.
Menjelang proses persalinan beberapa hari lalu, saya memutuskan mengambil banyak cuti. Tentu, kadang juga izin untuk datang terlambat ke tempat kerja maupun pulang lebih cepat. Hal itu berani saya tempuh demi membuat Heni merasa aman dan nyaman.
Mau bagaimana lagi? Di tanah perantauan ini kami tak mempunyai kerabat. Apalagi, kehamilan tersebut merupakan pengalaman pertama kami. Sungguh tidak bermoral ketika saya tak mau mengambil risiko mendapat "gangguan" pekerjaan, agar Heni bisa terus berlama-lama saya dampingi.
Untungnya, Ibu dan kakaknya Heni beberapa kali berkunjung ke sini sesudah 7 bulan masa kehamilan. Di ujung masa kehamilan, bersyukurnya mereka juga datang kembali. Dengan itu, saya sangat terbantu sekali demi membuat Heni tak gelisah dan tertekan.
Sayangnya, di tengah kondisi yang penuh kebahagiaan pada akhir bulan Maret sekarang ini, Heni sempat memulai pembicaraan yang berpotensi jadi pemicu Perang Dunia III dengan bertanya "Kamu kok bahagia banget, rasa bahagiamu itu, melebihi kebahagiaan saat jatuh cinta sama aku di masa SMA dulu. Kamu lagi jatuh cinta?"
Saya jawab tegas "Iya, aku jatuh cinta pada bayi kita. Lagian, bayi kita saat di kandungan juga enggak pernah ngidam. Enggak merepotkan orang tuanya."
Heni ngambek lagi "Nah, benar kan, aku cuma kamu jadikan tempat nanam benih untuk darah dagingmu."
Saya menjelaskan "Kamu kok merasa tersaingi oleh anak kita yang masih bayi?."
Heni membeli diri "Gimana enggak cemas, aku curiga rasa cintamu bakal berkurang setelah ini."
Saya meyakinkan Heni "Kamu harus tahu. Mungkin jika kamu dan aku tak pernah bertemu lagi setelah lulus sekolah, senyumku yang merekah lepas saat SMA dahulu bakal sirna selamanya. Setelah aku ketemu lagi dengan kamu di toko ibumu saat pertama kali dulu, semangat hidupku kembali bangkit."
Heni menyanggah "Kamu ngegombal?... Merayu?"
Saya terheran "Apa kamu meragukan cintaku padamu? Sampai saat ini pun aku masih belum tahu alasan dan penjelasan logis kenapa aku kok sampai segitunya mencintaimu."
Heni membantu meringankan beban otak saya, yang sudah mulai penasaran hendak mencari tahu penyebab pasti kenapa saya mencintainya, dengan berkata "Semua hal tidak harus selalu dipahami pakai logika, pakai filsafat... Enggak semua hal itu bisa dinalar. Kadang perlu pendekatan berbeda, bahkan tak masuk akal, untuk memahami sesuatu."
Kota Singkawang, April 2012
Belum juga genap satu bulan setelah kelahiran gadis kecil kita tercinta, Heni sudah menanyakan "Kapan mulai buka tokonya?"
Sepertinya Heni sudah lama memendam keinginan untuk segera berwirausaha.
Saya merespon "Anak kita kelihatannya haus itu, kamu enggak mau nyusui?"
Heni tidak terima lantaran saya yang berusaha memecah konsentrasinya "Kamu itu kebiasaan, saat ditanya hasilnya di antara dua jawaban, kalau tidak nyambung dalam menjawab, atau yang kedua sering mengalihkan pembicaraan karena malas menjawab."
Saya beralasan "Iya, iya, kasihan bayinya belum juga tumbuh gigi, emaknya sudah mikirin urusan lain. Pikirin dulu anak kita."
Heni beralasan "Kamu dulu sudah janji, setelah melahirkan boleh buka toko."
Saya menekankan lagi "Tunggulah anak mulai tumbuh giginya, ya paling tidak anak kita sudah bisa tengkurap dulu, baru nanti aku bantu-bantu kamu punya toko sendiri."
Heni memberi penjelasan "Mendirikan toko itu butuh persiapan matang, tidak langsung harus berdiri lalu membukanya... Nanti baru mulai buka, mungkin satu atau dua bulan lagi. Perlu survei lagi, hasil survei kita yang dulu masih perlu diperbarui."
Saya menyetujui perkataan Heni "Makanya itu, untuk buka toko jangan langsung gede dulu, jangan pakai duit utang dari bank, mulai dari kecil, dari bawah, tak usah buru-buru ingin kebelet balik modal, yang penting kamu ada kegiatan sehari-hari saat aku tak di rumah."
Kota Singkawang, Mei 2012
Makin jelas, impian Heni untuk punya toko sendiri sudah tak terbendung. Lagian, saya sudah terlanjur janji padanya untuk membolehkannya buka toko sesudah lahiran. Sebagai lelaki, tentulah saya wajib menepati janji.
Di pagi buta sebelum saya persiapan berangkat kerja, Heni melontarkan sebuah pertanyaan "Tokonya diberi nama apa?"
Saya berpikir senjenak, lalu menjawab "HDP saja, singkatan dari namamu."
Dia timpali "Kok cuma begitu."
Say imbuhi "Ya sudah HDP Baru"
Heni "Apa itu artinya?"
Saya menjawab "Hidup baru."
Sebagai informasi, nama lengkap istri saya adalah Heni Dian Permata. Saya baru tahu nama lengkapnya saat baca buku memori atau album kenangan siswa SMA angkatan lulus tahun 2005. Di mana, sebelumnya yang saya tahu namanya hanya Heni. Itu saja.
Wajar saja, saya enggak ada inisiatif untuk mencari tahu tentang siapa nama lengkap Heni. Baik dari awal pertama jatuh cinta padanya di aula seklah saat MOS hingga menjelang lulus tiba. Dia belum saya kasih tahu tentang hal itu. Lagi pula, menurut saya tak perlu untuk diceritakan.
Kota Singkawang, Juni 2012
Anak kami sudah mulai menemukan "jati dirinya" dalam konteks mengekspresikan emosi secara sederhana. Ia sangat murah senyum. Terbukti, saat saya mengumbar senyum padanya, bayi kami membalas tersenyum dengan brutal tanpa ditahan.
Ia sering tersenyum dan tertawa mungil tatkala saya ciumi tubuhnya sambil belajar duduk. Tentu, bukan hanya di pipi. Apalagi, saat saya gelitik, respon tertawanya begitu renyah.
Tentunya, rasa gembira serta semangat luar biasa turut pula ditunjukkan tatkala Heni mau memberi ASI. Gerak kepala dan matanya begitu lincah di kala melihat saya dengan Heni bergerak maupun berjalan.
Sungguh amat indah, menggemaskan, dan membahagiakan. Enggak hanya ketika dilihat. Dipegang, dipeluk, dihirup baunya, hingga didengar suaranya pun membuat saya kesengsem.
Anak kami telah mampu mengenali wajah orang tuanya. Membedakan mana bapak dan ibunya juga telah bisa. Bahkan, dari jarak yang jauh pun ia tahu perbedaan postur bapak dan ibunya.
Sayangnya, menjelang akhir bulan Juni, Heni tiba-tiba menyodorkan sebuah pembukaan dialog "Ibu menawari kita pulang balik ke Kediri, tinggal di sana sampai anak kita usia tujuh bulan."
Saya menolak "Tidak, aku masih ingin membangun masa depan kita bersama anak-anak kita kelak di sini.... Kalau kita menyerah berarti mimpi kita bukan itu. Apa mimpi kita kalau begitu?... Tujuh bulan di sana itu waktu yang lama. Nanti, ujung-ujungnya ogah balik ke Kalimantan."
Heni berdalih "Ya kan, cuma menawari saja, siapa tahu cuma basa-basi, kalau memang ibu serius menawari, ibu juga enggak memaksa. Ibu bilang kalau mau ke Kediri semua kebutuhan tiket kita untuk pulang maupun pergi dipenuhi, termasuk biaya hidup di sana."
Saya menantang "Kamu ingin balik bersama anak kita tanpa aku ke sana?"
Heni tersenyum "Kasihan nanti bayi kita, tumbuh tanpa sosok ayah."
Saya menambahi "Nah itu, aku ingin anak-anak kita tumbuh besar dididik oleh kita sendiri. Tanpa campur tangan kerabat. Nanti, setelah usia sekolah PAUD baru kita ajak jalan ke sana... Kalau keluarga Kediri kangen, biarkan mereka yang ke sini."
Heni merespon "Iya Mas Nathan tampan."
Bagi saya, seorang laki-laki harus punya prinsip hidup. Prinsip hidup adalah bagian dari jati diri. Lebih dari itu, memegang prinsip hidup merupakan suatu harga diri yang mesti dijunjung tinggi.
Saya menolak balik lagi ke pulau jawa bukan bermaksud unjuk kesombongan, tetapi karena memang hendak memegang prinsip hidup. Itulah jati diri saya. Apa yang saya pilih dan putuskan mesti saya perjuangkan.
Lagian, saya merantau memang benar-benar sepenuhnya kesadaran karena sudah menemukan pilihan hidup dan mantap memutuskan arah ke depan. Maksudnya, merantau bukan lantaran ingin mengancam orang tua maupun mertua agar dapat perhatian mereka sehingga memperoleh bantuan finansial.
Sebaliknya, saya tidak mau balik pergi ke pulau jawa bukan pula diakibatkan gengsi atau ada rasa malu ketika dikatakan telah gagal di perantauan. Lebih dari itu, saya merantau salah satu hal pentingnya ialah memang hendak menyelamatkan diri dari trauma masa lalu.
Kota Singkawang, Juli 2012
Selain disiapkan gizi sejak di kandungan yang sudah kita lakukan, anak kami yang masih bayi juga dijamin kebutuhan asupan nutrisi serta gizi. Di mana, bayi kami memperoleh ASI eksklusif, yang tentunya tanpa makanan maupun minuman tambahan lain sampai giginya tumbuh.
Saat masih mengasup ASI eksklusif, tentu ibunya yang harus diperhatikan pola makannya. Sebab, sumber ASI yang diminum bayi berasal dari apa-apa yang telah dimakan dan diminum oleh ibunya. Di mana, sebagaimana saat hamil, Heni saya paksa mengonsumsi sayur-sayuran dan harus mengurangi gula.
Kualitas makanan dan minuman yang terjamin untuk ibunya tersebut setidaknya wajib kita penuhi sampai anak kita berusia 6 bulan. Sesudah itu, disusul asupan makanan dan minuman pendamping ASI hingga usia 12 bulan. Dengan catatan, gizi dan nutrisi yang terjamin itu diperhatikan secara seirus hingga anak berusia 5 tahun.
Menurut sumber bacaan terpercaya, usia sejak lahir hingga 5 tahun merupakan masa-masa terbagus tumbuh otak manusia. Dengan harapan, kelak saat dewasa mampu mengoptimalkan kemampu otak secara baik. Kalau hal itu tidak diperhatikan sejak awal, bakal susah ke depannya.
Selain itu, tekat saya dengan Heni, sedari dini juga harus kita beri pendidikan secara tepat saat masih dalam masa asuhan orang tua. Biar tahu tata krama, biar tidak pecicilan, biar sedikit-dikit enggak manja merengek atau menangis, kasihan juga Heni momongnya tatkala punya anak mudah rewel.
Kota Singkawang, Agustus 2012
Setelah beberapa bulan punya anak, Heni memberi tahu bahwa tubuh saya semakin tambah berisi. Tentulah saya penasaran, apakah yang dikatakan Heni benar atau hanya sebuah bentuk kata-kata pemanis. Saya penasaran dong.
Demi mengetahui jawaban pastinya, saya berangkat ke apotek untuk membeli salah satu perlengkapan P3K sekaligus menimbang badan. Di mana, timbangan di sana berukuran besar yang kapasitasnya ratusan kilogram.
Sungguh kaget, berat saya sudah melampaui 80 kilogram. Tepatanya, 87 kilogram. Padahal, sebelumnya maksimal sebatas rata-rata 70 sampai 78 kilogram. Soalnya saya menimbang badan tidak tentu, seingat saya setahun cuma dua atau tiga kali.
Saya ini termasuk tipe individu yang berat badannya mudah naik serta sebaliknya gampang turun. Baik itu secara disengaja maupun tanpa kesengajaan akibat "tuntutan alam" yang mendorong saya beradaptasi.
Sepulang dari Apotek, saya membenarkan perkataan Heni. Saya beritahukan kepadanya bahwa berat tubuh saya meningkat pesat. Walhasil, Heni jadi bertanya lagi "Kamu enggak diet?"
Saya jawab sekenanya, lantaran belum ada niat turunkan berat tubuh "Entar kalau sudah tembus 89."
Heni membalas "Biasanya istri yang berat badannya naik pasca melahirkan, ini kok malah suaminya."
Saya menyahut "Namanya juga senang punya anak, sampai kalap lupa porsi dan frekuensi jam makan."
Heni belum hasrat mengkhiri percakapan "Saat awal nikah dulu apa kamu enggak sebahagia sekarang?
Saya jawab serius "Aku dulu fokus ingin memahami dan adaptasi bagamaina caranya hidup bersamamu. Sejujurnya, banyak hal yang masih butuh aku pelajari."
Heni bertambah menjadi sulit saya mengerti "Maksudmu, aku jadi beban, masalah baru di hidupmu?"
Saya jawab dengan lugas "Kamu tahu sendiri, aku punya trauma."
Kota Singkawang, September 2012
Sejak kecil saya telah terbiasa tinggal di rumah yang besar. Kalaupun, menempati ruang ataupun rumah kecil, saya harus sendirian. Saat di asrama, saya juga cukup kerap tidur di luar. Sebut saja di Masjid, ruang takmir, sekretariat ekstrakurikuler, aula, ruang tunggu, dan lain-lain.
Saya memulai dialog dengan Heni "Aku butuh ruang yang lebih luas, sejak kecil aku sudah terbiasa tinggal di ruang luas, keluasan rumah berpengaruh pada psikologi loh."
Seketika saya diam.
Kota Singkawang, Oktober 2012
Bertambah hari anak kami makin menunjukkan sifat lucu dan gemas sehingga bikin hati saya ketagihan terpikat padanya. Suasana hati saya tentu hari demi hari dipenuhi sumringah. Intinya, si kecil berangsur-angsur telah mampu menepiskan ingatan trauma masa lalu.
Pada satu hari, saat saya bercanda penuh ceria dengan anak kita, Heni meledek "Duh, anaknya terus yang dipegang, emaknya dianggurin."
Saya berdalih "Alhamdulilah, anak kita jarang nangis, enggak rewel, kamu pinter dalam mendidik anak Hen."
Heni tak terima "Jangan mengalihkan pembicaraan."
Saya merespon "Kamu kok cemburu pada anak sendiri?... Suatu saat kamu akan merindukan suasana bersama anak kecil yang masih bayi dan belum sekolah, nikmatilah, buatlah kenangan indah bersama anak kita."
Heni masih belum lega "Iya, aku tahu, tapi aku tetap cemburu."
Saya memberi alasan "Yang penting saat aku bersama anak kita di situ juga ada kamu. Aku masih di dekatmu setiap hari."
Heni menyanggah "Enggak di kasur, di teras, di dapur, kamar mandi, semuanya yang dilihat dan dipegang dulu bayinya, giliran emaknya hanya sisa."
Sangat tumben. Heni begitu banyak bicara, kerap protes, dan menunjukkan gelagat ganjil. Saya rasa ini bukan Heni yang dulu. Semoga firasat saya salah.
Sebagai suami, saya sempat terbesit bahwa saya menyadari kuantitas dan kualitas interaksi dialogis maupun sentuhan fisik dengan Heni amat berkurang jauh. Durasi serta frekuensi pelukan yang membuatnya tenang, aman, dan nyaman sudah tak seperti dulu.
Kota Singkawang, November 2012
Di awal bulan November ini saya mengajak dialog Heni dengan membuka pertanyaan "Kamu kok suka ngelamun, hayo ngelamuni apa?"
Heni menimpal balik "Kamu sendiri orangnya sering melamun."
Saya menanggapi "Itu kebiasaanku sejak kecil, aku saat SD sudah biasa melamun, berimajenasi, banyak hal khayalan yang aku buat,... tapi walau aku terlihat santai duduk atau rebahan, otakku tetap terus bekerja."
Heni mencoba memperpanjang percakapan "Mikirin apa?"
Saya jawab "Banyak lah. Mulai dari gambaran hidup beberapa bulan ke depan sampai puluhan tahun yang akan datang."
Heni mulai terpancing "Pantesan kamu selalu over thinking. Gampang curiga, selalu mikirin hal negatifnya dulu, kadang juga malah sulit untuk diberi masukan."
Saya menyetujui apa yang dikatakan Heni "Iya, itu salah satu dampaknya orang yang terlalu sering banyak mikir, terlalu asyik dengan dunia sendiri."
Beberapa menit kemudian, kami pun kembali ke topik utama pembicaraan.
Heni memulai dialog dengan berterus terang "Sejujurnya aku pertama di sini, enggak betah, tapi aku kuatkan hatiku, sekarang setelah aku mulai terkondisikan di sini, justru aku kamu abaikan."
Saya tak percaya "Bentar, aku dulu lihat kamu tampak baik saja, kalau pun terlihat canggung di sini, menurutku itu masih wajar, hampir semua perantau mengalami."
Heni mulai menyangkal membabi buta "Pokoknya aku minta kamu kembali seperti dulu, di awal-awal kita nikah sampai kelahiran bayi kita."
Saya mulai mengalah "Kalau itu maumu, aku akan berusaha menjadi diriku yang kamu mau... Anak kita tetap aku pedulikan, tetapi tak melebihi kamu,... lagian dia dapat kasih saya dari ibu dan bapaknya, sedang kamu hanya dariku."
Kota Singkawang, Desember 2012
Toko yang didirikan Heni mulai ada perkembangan. Meski ada saja gangguan, tetapi bagi istri saya itu bukan hal menyulitkan. Sebut saja seperti konsumen berhutang lama membayar, pengutilan, barang dagangan yang rusak akibat pembeli ceroboh maupun faktor lain, barang sudah kadaluarsa sebelum laku, hingga sekarang ini kondisi hujan yang sedikit-banyak juga berpengaruh.
Apalagi, di awal-awal buka toko dulu juga masih butuh penyesuaian terkait barang dagangan apa yang paling laku dan yang tidak laku. Di kala itu, Heni cukup gesit dalam mencari distributor maupun cari sendiri di pasar atau pusat grosir guna mengisi stok barang. Bahkan, dia menyediakan "cadangan" barang jualan yang paling laku itu di belakang toko.
Menurut penuturan Heni, barang yang tak laku menyebabkan modal tertahan sehingga perputaran uang macet. Begitu pula, barang dangan yang laku keras dengan stok jualan yang terbatas lantas habis bakal membuat pembeli kecewa. Maklum saja, namanya juga toko kelontong, lebih banyak menjual kebutuhan sehari-hari.
Saya melihat Heni tampak semangat berjualan. Dia begitu getol hendak memastikan pelanggan tak kecewa agar di lain hari mau datang lagi. Heni begitu bahagia saat berada di toko. Seolah dia menemukan hidup baru. Di mana, kini konsumennya bukan hanya tetangga dekat. Melainkan, jarak jangkaunya telah melebihi 50 meter.
Sebagai suami, tentu saya kadang membantu Heni "memakmurkan" tokonya. Peran saya di toko sebagai tukang angkat-angkat. Walau saya yakin Heni mampu mengatasinya sendiri, tetapi sebagai wujud peduli padanya, saya tetap ingin menunjukkan perhatian saya dengan aksi nyata.
Kota Singkawang, Januari 2013
Di malam hari, sesudah toko tutup, saya mengajak mengobrol Heni. Kalau boleh jujur, sudah sekitar sepuluh bulan hubungan kami beku melebihi dinginnya salju. Kendati mengobrol, itu demi tetap menjaga kewarasan. Masak tinggal satu rumah tak pernah mengobrol sama sekali?
Saya mencoba menunjukkan peran penting Heni dalam hidup "Anak kita dan kamu telah membuat hidupku tetap normal,.. jiwaku bisa menjadi stabil."
Heni tidak terima "Tuh kan, anaknya yang didahulukan, jadi sebelum ada anak kita, kamu itu masih belum bisa pulih dari trauma?"
Saya menanggapi "Trauma yang kualami ini tak bisa disembuhkan, hanya bisa dikendalikan,... dikekang dengan cara hidup bahagia agar kenangan dan ingatan buruk di masa lalu tak berhasil mengganggu."
Heni tetap menyanggah "Jadi sebelum lahirnya bayi kia kamu tak sebahagia sekarang?"
Saya membela diri "Apa salahnya seorang ayah mencintai anaknya melebihi ibunya? Toh itu bisa menjadi pemulih traumaku. Apakah kamu lebih suka saya cuek dan tak peduli pada anak kita?"
Heni terkaget dengan jawaban saya sembari berkata "Bukan begitu maksudku, kamu seharusnya tahu siapa yang diutamakan dan dinomorsatukan."
Saya tetap pada keteguhan hati "Kamu kok bersaing sama anak sendiri, anak kita masih bayi, kasihan menanggung beban perasaan sejak lahir."
Heni tetap enggak mau menerima "Aku yang pertama hadir di hatimu."
Tidak mau memperpanjang, akhirnya saya putuskan memunggungi Heni lantas mengambil posisi tidur dengan memulai memejamkan mata. Sedangkan anak kami, tidur di ranjang mungilnya sendiri.
Kota Singkawang, Maret 2013
Heni memandangi saya penuh arti. Sorotan lembut nan menawan. Menjadikan saya teringat lagi zaman SMA dahulu.
Saya berkata "Tatapanmu itu loh, bikin aku terkenang masa-masa ABG dulu."
Heni tersenyum "Kenapa memangnya? Kangen masa SMA ya?"
Saya jawab enteng "Enggak, yang aku kangenkan dari masa SMA adalah karena ada kamu, sekarang kamu di sini."
Heni berujar "Kamu sih, orangnya enggak gentle."
Saya sanggah "Bagiku, soal perasaan itu sangat menyulitkan dan membingungkan untuk aku hadapi."
Heni berseloroh penuh ejek "Cinta itu mudah, yang rumit itu kamu."
Saya tanggapi "Mudah bagimu, bagiku enggak. Sederhana bagimu, bagiku enggak."
Heni menimpali "Tinggal bilang aku cinta kamu, gitu aja."
Saya membanyol "Aku cinta kamu, sudah kan?"
Heni tertawa. Sudah lama saya tak melihat wajah riangnya itu. Hampir satu tahun yang lalu terakhir kalinya.
Kota Singkawang, Maret 2013
Setiap pulang dari kerja, punggung telapak tangan saya hampir pasti selalu disambut oleh kecupan dari Heni, lalu saya balas dengan pelukan ringan dan kecup kening. Itu sudah menjadi kebiasan rutin kami yang enggak bakal membosankan.
Namun, kali ini aku memeluk Heni cukup erat dan mengecup berdurasi lama.
Heni terheran "Tumben, kamu kok nempel banget peluknya?"
Saya jawab spontanitas "Aku ingin berbagi kehangatan denganmu, itu saja, nyaman banget rasanya..."
Heni menyela "Bilang aja kedinginan dan menghilangkan penat."
Saya kekeh menjawab "Beneran, aku tadi, lihat ada sepasang suami istri yang sudah sepuh, mereka berdua sangat rekat bagai muda mudi yang baru saja berpasangan. Boleh kan, aku iri pada mereka?"
Heni mengimbuhi "Tak terbayang, indahnya menua bersama tanpa gangguan."
Heni adalah indivudu yang secara garis utama dan pokok memiliki banyak kesamaan orientasi hidup dengan saya. Entah karena dia mengalah mengikuti saya atau memang sudah menjadi harapannya semenjak dulu?
Tak berlebihan ketika saya menyatakan Heni satu-satunya manusia yang “pantas” untuk saya rindukan. Jika saya enggak kenal Heni, maka hanya Tuhan entitas yang saya rindukan berjumpa dengan-Nya.
Kota Singkawang, April 2013
Makin tumbuh besar anak kami, tambah rekat kembali hubungan saya dengan Heni. Seolah, anak kami telah dewasa dan lepas dari dekapan hangat dari orang tua.
Lagi pula, meski usia tepat 1 tahun di bulan maret kemarin, anak kami sangat cerdas. Tahu cara menghibur diri dan bagaimana memahami situasi serta memosisikan diri
Boleh dikata, anak kami sudah nampak "mandiri." Tentulah, ukuran kemandiriannya standar anak Balita. Bahkan, tingkat inisiatif dan kreatifnya melebihi anak seumuran.
Selain amat jarang menangis, ia juga tak nampak ada sifat egois, semisal ingin semua keinginan harus segera dituruti. Tentunya, ia tak manja, seperti kerap minta gendong maupun gampang merengek.
Kota Singkawang, Mei 2013
Saat saya sedang memandangi layar HP, serta-merta Heni memberi protes secara halus "Kamu kok senyum-senyum sendiri begitu? Hayo, aku cemburuan orangnya."
Saya justru semakin tersenyum lebar "Apa sih kamu, masa kamu cemburu pada dirimu sendiri, ini loh aku lihat foto nikah kita, ini lihatin."
Anak kecil kami terlihat celingukan heran "memikirkan" tingkah orang tuanya.
Di akhir bulan Mei, saya mengajak Heni membicarakan tentang visi dan misi atau lebih gampangnya terkait harapan serta impian ke depan bagaimana.
Saya beserta Heni hanyalah manusia biasa yang berharap punya kehidupan indah di masa depan dan cita-cita bersama sukses tergapai.
Barangkali, tujuan hidup kami tidak sesuai standar teman maupun keluarga. Namun, kami bahagia punya keinginan pribadi serta target bersama tersebut yang menjadi fokus utama kami.
Sebagai penutup, patut diketahui impian saya saat kecil yaitu ingin camping di hutan, ingin menjelajah alam, berpetualang di aliran sungai deras menggunakan perahu, dan puncak impian saat SMP yaitu merantau di kalimantan.
Sebenarnya bapak kandung saya melarang saya untuk merantau ke Kalimantan. Beliau tak ingin anaknya kenapa-kenapa di sana. Baik menyangkut ekonomi, keselamatan, keamanan, maupun gangguan gaib alias mistis.
Berhubung ada Heni yang tampak mau saya nikahi, saya putuskan nekat merantau demi masa depan. Di mana, Heni sudah pernah saya beritahukan terkait hal tersebut.
Adapun ibu kandung saya, ketika saya 4 bulan pertama merantau di Singkawang, kisaran April 2010, sudah mulai ada tanda-tanda menganggu kenyamanan saya bekerja di sini. Ibu tampak tidak senang melihat saya hidup tenang.
Kota Singkawang, Juni 2013
Sepertinya, sata terlahir di bumi memang anti kemapanan dan mencegah status quo. Di mana, alih-alih mempertahankan keadaan "meringankan," malahan saya mencari kejanggalan.
Terbukti, di situasi yang damai nan tenang saya bertanya pada Heni "Apakah kamu bahagia dengan keadaan hidup yang sekarang?"
Seakan tak tahu tabiat atau kebiasaan saya yang suka bertanya-tanya semacam itu, Heni masih saya menunjukkan muka kaget "Kenapa lagi tanya begitu?"
Saya menanggapi "Enggak apa-apa,... andai kamu putuskan tinggal di Kediri dan menikah dengan orang lain, hidupmu berpeluang besar bergelimang harta. Bisnismu bakal moncer dengan pasanganmu yang bisa mengimbangi jiwa wirausahamu itu."
Heni mengingatkan "Jangan begitu, kita menikah itu sudah takdir dari Tuhan... Janganlah beranda-andai maupun mengungkit-ungkit masa lalu yang menyebabkan kita tidak bersyukur maupun menggunggat kehendak Tuhan yang telah Tuhan perbuat."
Dengan keras kepala saya berucap "Kamu bahagia tidak hidup denganku?"
Heni menjawab penuh lembut "Aku bahagai bersamamu. Apalagi sekarang kita sudah punya anak... Lengkap sudah bahagiaku yang bisa melaharikan bayi sempurna."
Saya mulai tenang sembari berkata "Aku berharap bahagiamu itu awet, karena sampai saat ini aku masih merasa belum bisa membahagiakanmu."
Heni tersenyum ringan "Mulai gombal lagi, kamu itu enggak jago ngegombal tahu."
Saya menambahi "Aku orangnya yang membosankan dan menyebalkan seperti ini, tetapi tidak bikin kamu marah, kecewa, dan murung saja itu bagiku salah satu keberhasilan hidupku."
Kota Singkawang, Juli 2013
Saya saat SD sudah beberapa kali ingin minggat dari rumah, tetapi tentunya enggak tahu serta tak berani mau pergi ke mana, itu terjadi berkali-kali.
Dalam lamunan saat masih SD juga sering membayangkan hidup menjadi gelandangan tidur di pinggir jalan. Oleh sebab itu, saya enggak ingin anak saya punya pemikiran semacam itu.
Akibat trauma masa kecil, kepribadian saya menjadi sangat kompleks, sering mengalami kegagalan bersosialiasi terhadap manusia. Intinya, komunikasi lisan saya buruk.
Awalnya hubungan dengan individu tertentu berjalan lancar dan terlihat wajar tanpa kendala, tetapi ketika itu berlanjut dalam durasi tertentu bakal ada masalah.
Ujungnya, terjadi konflik yang gagal saya atasi sehingga berakibat putus hubungan atau setidaknya menggantung begitu saja tanpa kepastian.
Kota Singkawang, Agustus 2013
Heni sungguh mendukung saya untuk menjadi penulis. Akan tetapi, ini hanya awalan dari sekian lama tak membuat tulisan panjang minimal 1000-an kata.
Malahan, terakhir kali menulis artikel di blog pribadi saya, seingat saya saat kuliah dan berorganisasu dahulu kala. Selain itu, sibuk kerja dan berumah tangga.
Kini, saya merasa waktunya untuk mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Tak perlu berat dulu, cukup menulis cerita pendek yang jumlahnya kisaran 30 ribu kata.
Saya menyampaikan uneg-uneg saya pada Heni agar saya didukung untuk aktif menulis. Setidaknya, dia tahu sebagian waktu saya bakal teralihkan fokus menulis.
Heni berkata "Iya, aku akan mendukungmu menjadi penulis, atau menjadi apapun,... asal masih pada batas-batas norma."
Saya tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa mengecup kening lantas memeluk Heni.
Kota Singkawang, September 2013
Saya sangat nyaman tidur di malam hari dengan kondisi mati lampu. Sedangkan, Heni baru bisa tertidur cepat tatkala lampu menyala. Nah, pada bulan pertama nikah hal itulah yang menyebabkan kecanggungan.
Setelah beberapa bulan pernikahan sampai sekarang ternyata Heni memilih mengalah. Saat jam tidur tiba, lampu kamar dimatikan total. Yang menyala tinggal bagian luar depan maupun belakang.
Kini, Heni telah terbiasa tidur dalam kondisi gelap. Entah lantaran faktor terpaksa atau memang mentalnya mudah beradaptasi, saya belum bisa memastikannya.
Selain urusan nyala lampu kamar, ada masalah lain yang menjadi unsur pembeda antara saya dengan Heni yang harus kami satukan dalam titik temu. Sebab, kalau enggak ada solusi menyebabkan hubungan sehari-hari terganggu.
Di antaranya meliputi menyangkut jam bangun pagi, jam sarapan pagi, batas jam makan di sore hari tanpa perlu ada makan malam, jam tidur di malam hari, dan lain-lain.
Kota Singkawang, Oktober 2013
Saya mulai sering menatap layar laptop. Setelah tuntas mengerjakan urusan pekerjaan di rumah, di sisa waktu yang ada saya pakai untuk menulis cerita pendek pada blog pribadi.
Perlu diketahui, sejauh ini anak kami belum pernah melihat layar laptop maupun smartphone. Sementara ini, sengaja menjauhkan perangkat elektronik darinya.
Jadi, saat saya dengan Heni menggunakan laptop maupun HP, kami terapkan di dalam ruangan khusus. Di luar itu, perangkat elektronik berbau hiburan berbentuk apa saja tak boleh dibawa.
Adapun untuk urusan toko, Heni menggunakan HP non smartphone. HP tersebut hanya bisa untuk SMS dan telepon reguler.
Guna mencegah anak menangis atau rewel, kami gunakan cara lain. Sebagaimana yang telah kami baca di buku dan tonton di media sosial. Ada banyak langkah bagaimana metode mendidik anak sedari bayi "merah" imut-imut.
Di mana, tentu kami pilih-pilih mana bacaan dan tontonan yang berkualitas serta mana yang menyesatkan. Lagi pula, untuk anak kok coba-coba?
Selain itu, kami juga tak serta-merta mudah percaya. Pasti kami bandingkan dulu dengan bacaan dan tontonan lain. Tentulah, juga membaca komentar penonton di media sosial tersebut. Salah satunya menonton di YouTube.
Kota Singkawang, November 2013
Semangat menulis saya semakin membara. Dalam sehari, seenggaknya saya meluangkan waktu menulis minimal 2 jam. Tatkala hati sedang bersuasana baik, sekali duduk menghadap laptop sanggup berdurasi 3 hingga 4 jam tanpa putus.
Bagi saya, menulis merupakan cara ampuh untuk mengeluarkan isi pikiran serta gemuruh hati yang amat sulit saya salurkan lewat lisan.
Lebih dari itu, sesudah memproduksi tulisan, jiwa saya merasa lega dan puas. Seakan saya telah berhasil melakukan sesuatu yang memang mesti saya terapkan sebagai kebutuhan psikologis.
Bakal makin senang lagi, di kala tulisan saya banyak yang membaca. Dengan terus meningkatnya jumlah pembaca itu, bertambah besar pula motivasi saya untuk senantiasa berkarya.
Tentulah, hal itu membuat saya selain merasa diri ini telah menjadi manusia berguna bagi sesama, dengan berbagi gagasan lewat tulisan yang banyak pembacanya, juga mampu meningkatkan penghasilan uang.
Kota Singkawang, Desember 2013
Saya bukan cuma menulis artikel informasi, tutorial, motivasi, perjalanan, dan topik-topik lainnya. Melainkan juga membuat karya tulis cerita pendek dan seni.
Kini, salah satu judul cerpen saya sudah terpublikasi di salah satu blog pribadi. Heni pun, tak lama setelah diposting langsung membaca. Ia membacanya saat toko sedang tutup.
Sesudah membaca, Heni berkomentar "Sudah punya anak kok novelnya berisi cerita cinta, mana kisah cinta kuliah..."
Saya menjawab sekenanya "Katanya mau membebaskanku berkreasi?"
Heni masih ingin menyanggah "Mana nama-nama yang digunakan asli, tidak pakai inisial, emang enggak malu kalau nanti dibaca oleh anak kita?"
Dengan nada penasaran disertai agak mengintrograsi "Kok tahu aku tokohnya pakai nama asli, kamu dari dulu emang memata-matai aku ya? Sampai tahu sedetail itu, jujur saja..."
Wajah Heni amat tampak terpojok "Wajar saja kan, jika aku kenal sama teman-temanmu,... soalnya ada juga adik kelas SMA yang kuliah di kampusmu itu. Jadi, kadang aku ngobrol dengannya. "
Dengan percaya dirinya saya merespon "Owh, segitunya ya perjuangan seorang wanita kalau lagi jatuh cinta."
Heni mulai membela diri sambil tersenyum "Kamu jangan GR! Sebaiknya gantilah cerita novelmu itu, daripada nanti menyesal,... dibandingkan kisah cintamu di kuliah, masih mending saat SMA dulu."
Saya jawab bercanda "Mending gimana? Jatuh cinta cuma diam begitu tanpa ungkapan, bagaimana cara menceritakannya?"
Heni menjelaskan "Justru itu bisa diangkat, kisah cinta yang jarang ditemukan, menceritakan seorang laki-laki introvert yang jatuh cinta pada cewek labil."
Saya tanggapi diplomatis "Sama-sama labilnya, tetapi dengan gaya yang berbeda."
Heni masih belum bisa saya alihkan ke pembicaraan lain, dia masih menuntut berupa "Gantilah tema tulisanmu itu,... jangan diteruskan,... kalau cerita saat SMA nanti pembacanya bisa lebih banyak, kalangan remaja yang lagi mabuk cinta."
Dalam persoalan cinta atau perasaan di hati, Heni orangnya memang begitu. Sangat sensitif. Salah sedikit saja, saya bisa terus-terusan terpaksa mesti mengalah.
Heni menambahi "Mana judulnya 'Kisah Kasih Aktivis' paling yang baca mahasiswa."
Saya beralasan "Aku ingin mengungkapkan sisi lain dari aktivis."
Heni berseloroh "Kamu kan jadi aktivisi tidak tuntas, keluar organsiasi sebelum demisioner."
Saya terkaget "Kamu kok tahu? Wah, pembicaraanmu dengan temanmu itu sangat mendalam ternyata, sampai tahu kegiatanku masa kuliah."
Heni berterus terang "Ya wajar saja, aku dulu tahu tentangmu, junior di orgnasisimu ada yang beberapa kali ke toko."
Akhirnya, saya tutup percakapan kami dengan maksud bikin hati Heni lega "Iya, nanti tulisan selanjutnya aku buat tentang kisah kita, sekarang aku fokus ini dulu."
Untuk bagian selanjutnya dari novel ini akan dipublikasikan di beberapa waktu mendatang. Masih dalam proses pengeditan.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Isi Novel "Di Tanah Perantauan" Bagian ke-7 Anugerah Terindah, Awal Perjuangan Menuju Bahagia"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*