Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Privacy Policy · Daftar Isi · Tentang Kami

Contoh BAB II Tesis: Evaluasi Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum


TesisLengkap Karya A. Rifqi Amin


Evaluasi Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum
 Oleh: A. Rifqi Amin

4.    Evaluasi Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum
Menurut Oemar Hamalik evaluasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen masukan, proses, dan produk. Di mana komponen masukan terdiri dari beberapa aspek yaitu mahasiswa yang dinilai, perlengkapan instrumen yang digunakan dalam penilaian, biaya yang disediakan, dan informasi tentang mahasiswa. Sedang komponen proses meliputi program penilaian, prosedur dan teknik penilaian, teknik penganalisaan data, dan kriteria penentuaan kelulusan. Dan komponen produk merupakan hasil-hasil penilaian yang berguna untuk pembuatan keputusan dan sebagai bahan balikan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan sistem penilaian atau evaluasi merupakan komponen atau bagian terpenting dari sistem pembelajaran. Oleh karena itu, pengadaan evaluasi merupakan keharusan untuk dilaksanakan hal ini berfungsi sebagai pusat informasi tentang proses pembelajaran maupun keberhasilan studi para mahasiswa. Sedang tujuan dari diadakannya evaluasi adalah sebagai pegidentifikasian apakah mahasiswa sudah mampu dalam pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan bahan yang disajikan dalam mata kuliah. Selain itu sebagai dasar atau acuan pengelompokan mahasiswa ke dalam beberapa kriteria atau tingkatan prestasi belajarnya. Dan tujuan evaluasi bagi dosen adalah untuk diketahui derajat kesesuaian antara bahan mata kuliah yang disajikan dengan cara penyajiannya.[1]
Pendidikan agama tidak cukup diukur pada ranah kognitif namun juga ada pelibatan ranah afektif dan psikomotorik. Artinya mata kuliah PAI diharapkan mampu diaktualisasikan oleh mahasiswa sebagai wujud penghayatan sehingga sikap, tutur kata, dan tingkah laku mahasiswa akan sejalan (paralel) dengan pengetahuan agama yang dia miliki. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa tidak hanya cakap dalam berdiskusi dengan rasionalitasnya, mampu dalam penjelasan praktik ibadah serta hukum-hukum dalam agama,  dan mampu dalam beretorika keagamaan. Melainkan mereka juga dituntut adanya konsistensi antara ucapan dengan perbuatan sebagaimana peringatan dalam al Quran Surat as Shaf: wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? Allah murka kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu tetapi tidak mau melakukannya.”[2]
 Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 diterangkan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik dalam rangka sebagai pemantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil proses pembelajaran peserta didik secara berkesinambungan.[3]  Namun pada kenyataannya menurut Muhaimin selama ini pendidik PAI lebih diprioritaskan model evaluasi acuan yang normatif serta evaluasi yang diacukan pada patokan atau berdasarkan kriteria dari pada evaluasi yang didasarkan pada etik. Dengan asumsi bahwa pendidikan agama tidak hanya berkutat pada penilaian tentang hafalan-hafalan tentang sejarah Islam, hafalan kitab-kitab dan ayat, kemampuan pelaksanaan ibadah, dan kemampuan dalam penjelasan kembali tentang ajaran-ajaran (kandungan) Islam baik secara lisan maupun tulisan. Namun hendaknya juga dinilai dari perilaku mahasiswa secara objektif, rutin, dan benar yang ditinjau baik dari perilaku moral, ibadah, dan tutur katanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Masih dijelaskan oleh Muhaimin bahwa sebelum diadakan tes atau pengukuran keberhasilan belajar oleh pendidik, maka terlebih dahulu harus dipertimbangkan dulu model evaluasi apa yang cocok dilakukan terhadap materi tertentu. Misalnya jika yang akan dites adalah kemampuan dasar mahasiswa maka evaluasi yang digunakan adalah acuan norma/kelompok, namun jika yang akan dites adalah prestasi belajar maka evaluasi yang cocok digunakan adalah acuan patokan (kriteri), dan jika yang akan dites adalah kepribadian mahasiswa maka evaluasi yang digunakan adalah evaluasi acuan etik. Yang mana PAI banyak terkait dengan masalah yang terakhir ini,[5] karena PAI bukanlah materi kuliah retorika namun materi kuliah aplikatif.
Dalam sistem pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum pengujian permata kuliah sebagai bentuk salah satu evaluasi merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa agar diperoleh kelulusan. Sebagaimana menurut Yahya Ganda disampaikan bahwa ujian yang dilakukan permata kuliah untuk diketahuinya tingkat penguasaan mahasiswa telah pada capaian standar akademik atau belum, jika sudah maka bisa dinyatakan lulus mata kuliah tersebut. Oleh karena itu pemberian nilai pada mahasiswa tidak hanya semata-mata terhadap hasil pengerjaan ujian pada lembar kertas ujian saja, namun juga didasarkan pada kehadiran mahasiswa secara kuantitas dan kualitas saat di dalam kelas, karya tulis ilmiah, tugas-tugas yang terprogram, tugas insidental yang dianggap perlu oleh dosen, dan sikap ilmiah dalam mata kuliah itu. [6]
Secara konkrit salah satu cara untuk pengukuruan proses keberhasilan pembelajaran PAI dilakukan penilaian dengan cara mahasiswa ditugaskan dalam pembuatan laporan aktivitas keagamaan di tempat tinggal masing-masing. Sedang untuk komponen-komponen yang dinilai pada saat proses pembelajaran meliputi penyajian makalah, penyampaian gagasan, cara bertanya, cara menjawab, cara pengambilan kesimpulan, keterampilan menjadi moderator, dan keterampilan menjadi notulen.  Semua komponen di atas disusun dalam format khusus yang telah disiapkan oleh dosen masing-masing dan diberikan kepada setiap kelompok pada pertemuan pertama.[7] Sedang lebih spesifik menurut Zainul Muhibbin terdapat klasifikasi bentuk-bentuk evaluasi PAI di Perguruan tinggi  umum yang meliputi keikutsertaan mahasiswa dalam mentoring, sikap Islam (akhlak) dalam perilaku sehari-hari, penilaian terhadap pelaksaan tugas-tugas, keaktifan dalam ikut serta kuliah, diskusi, dan presentasi makalah, dan ujian tulis.[8] Penilaian pada domain pengetahuan dan pemahaman mahasiswa dapat diperoleh melalu tes tulis dan tes lisan. Sedangkan penilaian pada domain sikap dilakukan dengan tes perbuatan dan pengamatan.[9]
Sejalan dengan penjelasan di atas menurut pendapat Kholidah dalam pembelajaran PAI digunakan pendekatan pembelajaran yang mampu dalam pengakomodiran aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada domain kognitif pelaksanaan pembelajaran PAI dilakukan sampai pada tingkat analisis, sintesis, dan evaluasi sehingga mahasiswa punya kemampuan dalam pengambilan keputusan. Pada domain afektif mahasiswa mampu berperilaku konsisten (ajeg), secara spontan tanpa pengaruh, mampu dalam pengorganisasaian sejumlah nilai yang diwujudkan dalam perilaku, dan kepemilikan terhadap sejumlah perilaku yang menyatu dalam kesatuan kebiasaan. Dan pada domain psikomotorik mahasiswa terampil dalam penggunaan keahliaan secara spontan .[10]


[1]Hamalik, Manajemen Belajar di, 148-149.
[2]Madjid, “Masalah Pendidikan Agama,” 38.
[3]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003.
[4]Muhaimin,  Pengembangan Kurikulum Pendidikan, 53.
[5]Muhaimin,  Pengembangan Kurikulum Pendidikan, 53.
[6]Ganda, Petunjuk Praktis Cara, 69-70.
[7]Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2003), 35.
[8]Muhibbin, Pendidikan Agama Islam, 10.
[9]Lilik Nur Kholidah, “Implementasi Strategi Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Surabaya” (Disertasi Doktor, Universitas Negeri Malang, Malang), 58.
[10]Kholidah, “Implementasi Strategi Pembelajaran,” 56.




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Contoh BAB II Tesis: Evaluasi Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*