Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

D. Penutup BAB III Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam (Multiple Intelligences)

Pada prinsipnya, Islam mengakui terdapatnya kecerdasan beragam pada setiap peserta didik (manusia). Dalam sejarahnya pun, turunnya wahyu tentang larangan minum khamr (minuman memabukan) tidak serta merta langsung secara “mendadak.” Namun, dilakukan secara berangsur-angsur. Ini artinya, Islam menghendaki perubahan manusia orientasinya bukan pada hasilnya saja, tetapi juga proses yang berkualitas. Di mana kondisi psikologis serta fisik para peminum khamr sangat diperhatikan. Inilah bukti bahwa dalam “mendidik” umat, agama Islam sangat memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan.
Penjelasan tersebut bila dikaitkan dengan teori multiple intelligences, maka seorang pendidik tidak serta merta harus tertuju pada hasil apa yang diinginkan. Melainkan, juga memperhatikan cara atau proses apa yang paling bagus (manusiawi) agar kondisi fisik dan psikologis peserta tidak mengalami salah orientasi. Harapannya, dalam jangka panjang bisa tercapai hasil /tujuan yang lebih bagus. Misalnya, pendidik yang ingin mewudukan tujuan PAI yaitu supaya peserta didiknya menjadi manusia yang beriman pada Allah. Pendidik tidak akan serta merta mendoktrin peserta didik supaya bisa beriman pada Allah, tapi juga dilakukan pendekatan lain. Yakni, yang sesuai dengan kemampuan (kecerdasan) peserta didik dalam memahami dan menjawab “Bagaimana cara beriman kepada Allah?.”
Sebagai penutup, dari semua penjelasan di atas terdapat beberapa kesimpulan penting, di antaranya adalah:
1.    Konsep dasar tentang teori kecerdasan beragam (multiple intelligences).
Telah terjadi perubahan paradigma kecerdasan, yang berimplikasi adanya perubahan “posisi” peserta didik di dunia pendidikan. Di mana awalnya peserta didik hanya sebagai objek untuk “proyek” peningkatan kecerdasan, menjadi subjek atas “proyek” pengembangan kecerdasan. Asumsinya, peserta didiklah yang harus aktif dalam mencari dan mengembangkan kecerdasan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pendidik hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik dalam menemukan dan mengembangkan bidang kecerdasan yang masing-masing peserta didik miliki.
2.    Paradigma baru pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran PAI dilakukan tidak hanya untuk memenuhi tuntutan moralitas dan ritualitas. Lebih dari itu, pembelajaran PAI merupakan penanaman nilai-nilai PAI secara universal. Dengan demikian, tujuan PAI bukan hanya dalam misi mencerdaskan peserta didik secara IQ.  PAI juga hendak mencerdaskan peserta didik sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Itu artinya, peserta didik tidak hanya diarahkan untuk memahami bahkan menjadi ahli ilmu agama. Melainkan, mereka diberi ruang mengaktualisasikan bidang kecerdasan yang ia kuasai pada dunia nyata kelak. Implikasinya, pembelajaran PAI secara praktik juga mengalami perubahan-perubahan. Tidak hanya tertuju pada hasil, tapi juga mementingkan proses yang tepat. Kendati demikian, pada pembelajaran PAI dalam proses perubahan atau inovasi dari sudut manapun, hendaknya identitas dan nilai-nilai keislaman tidak boleh ditinggalkan.
3.    Pembelajaran PAI berbasis kecerdasan beragam yang ideal.
Pembelajaran berbasis multiple intelligences dalam lingkup satu lembaga (institusi) secara umum tidaklah mudah. Banyak kendala yang ditemui, misalnya butuh dana yang cukup banyak, butuh tenaga pendidik yang ahli (spesialis) di bidang-bidang tertentu, dan butuh waktu untuk pengidentifikasian jenis kecerdasan peserta didik. Hambatan lainnya adalah adanya upaya penemuan jenis kecerdasan lain yang menjadi pendukung dari kecerdasan utama dalam satu individu, belum adanya kesatuan visi, potensi pendidik yang masih minim, dan sebagainya. Oleh karena itu, idealnya pembelajaran PAI tidak serta merta harus mempraktekan secara buta (mentah) teori apapun itu. Termasuk teori multiple intelligences milik Gardner. Pembelajaran PAI ditekankan tetap melihat konteks masyarakat sekitar, kondisi (latar belakang) peserta didik, dan tentunya kemampuan (potensi) lembaga pendidikan.


Kata Penutup (sumber gambar westbatavia)




Baca tulisan menarik lainnya: