Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

KONSEP PSIKOANALISA SIGMUND FREUD (Analisa Kritis Terhadap Psikoanalisa Dalam Membangun Kepribadian )




Oleh: 
M. Jadid Khadavi


BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
                 Era globalisasi merupakan tantangan besar bagi masyarakat. Tantangan tersebut akan berdampak besar terhadap pembentukan karakter setiap individu. Lingkungan sosial dan kekuatan media berperan penuh dalam proses perkembangan yang dialami setiap orang. Ada banyak faktor yang menjadikan individu mengalami proses perkembangan yang begitu cepat. Apabila dicermati, perilaku individu jaman sekarang ini cenderung meremehkan, egois, merasa paling unggul, selalu ingin mendapatkan segala sesuatu secara instan, suka terhadap keglamoran, ‘gila’ jabatan dan mendambakan popularitas.  
                 Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, hal itu memiliki hubungan yang sangat erat dengan psikologi. Pendidikan merupakan suatu proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Dalam proses mengaktualisasi diri tersebut diperlukan pengetahuan tentang keberadaan potensi, situasi dan kondisi lingkungan yang tepat untuk mengaktualisasikannya. Namun dalam praktiknya terjadi kesenjangan. Beragam fenomena terjadi di dunia pendidikan, diantaranya kasus tawuran pelajar, peredaran narkoba, hingga penyebaran video porno. Bahkan kasus pelecehan seksual bulan Januari hingga Mei 2014 mencapai 400 pengaduan[1]. Hal itu tentu tidak sesuai tujuan pendidikan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang seharusnya membangun karakter siswa agar bermoral, berakhlak mulia, dan mempunyai wawasan intelektual telah mengalami anomali yang signifikan .


                 Manusia membutuhkan proses belajar dalam membentuk kepribadian masing-masing. Sehingga hal itu tidak cukup berasal dari kondisi internal, melainkan faktor eksternal yang juga berperan penting dalam membangun karakter. Adapun faktor eksternal yang dimaksud, salah satunya akan diperoleh melalui lingkungan sosial yang termanifestasi dalam bentuk pendidikan.  
                 Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis berupaya mengkritisi apa yang sudah dijelaskan dalam teori psikoanalisa mengenai motivasi atau dorongan untuk melakukan segala aktifitas dalam bersosialisasi dengan orang lain. Manusia bukan sekedar binatang sebagaimana konsep yang dikemukakan Freud bahwa manusia hanyalah binatang yang bergerak atas dorongan insting, yakni eros dan  thanatos.[2]









BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Konsep Kepribadian Menurut Psikoanalisis
            Menurut Sigmund Freud kepribadian seseorang terstruktur atas tiga sistem pokok[3] yaitu:
a. Id (das es) adalah sistem kepribadian biologis yang asli, berisikan sesuatu yang telah ada sejak lahir. Id memiliki prinsip kerja yang serba mengejar kenikmatan (pleasure principle) dan cenderung bersifat rasional, primitif, impulsif, dan agresif.
b. Ego (das ich) adalah aspek psikologis kepribadian yang timbul karena kebutuhan organisme memerlukan transaksi dengan kenyataan obyektif. Ego mengikuti prinsip kenyataan (reality principle) yang bersifat rasional-logis. Tujuan prinsip ini adalah mencegah terjadinya ketegangan sampai ditemukan suatu obyek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Ego juga disebut eksekutif kepribadian, karena ia mengontrol tindakan, memilih lingkungan untuk memberi respons, memuaskan insting yang dikehendaki dan berperan sebagai pengendali konflik antara id dan super ego.
3. Super ego (das uber ich) adalah aspek-aspek sosiologis kepribadian yang mengintegrasikan nilai-nilai moral dan cita-cita luhur. Ia mencerminkan yang ideal bukan riil, mengejar kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Timbulnya super ego ini bersumber dari suara hati sehingga fungsinya; (a) merintangi impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif yang aktualisasinya sangat ditentang masyarakat, (b) mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralitas daripada realitas, (c) mengejar kesempurnaan. Jadi super ego menentang ukuran baik-buruk id ataupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri yang tidak rasional bahkan menunda dan merintangi pemuasan insting.
Dinamika kepribadian ditentukan oleh cara energi psikis didistribusikan serta digunakan oleh id, ego, dan super ego. Oleh karena jumlah energi itu terbatas maka akan terjadi semacam persaingan diantara ketiga sistem itu dalam menggunakan energi tersebut. Salah satu sistem itu mengontrol energi dengan mengorbankan kedua sistem yang lain.
Perubahan tingkah laku seperti itu digerakkan dan dimotivasi oleh sebuah energi. Bagi Freud, energi yang menggerakkan tingkah laku adalah libido. Libido merupakan bentuk energi yang dipakai oleh insting-insting hidup untuk menjalankan tugasnya. Insting hidup yang paling ditekankan oleh Freud adalah seks yang bertempat di dalam id. Dengan uini maka tindakan biologis, psikologis, dan sosiologis seseorang merupakan upaya pemenuhan hasrat seksualnya demi menghindari tegangan-tegangan.

B. Konsep Kepribadian Menurut Pandangan Islam
                        Stuktur kepribadian dalam islam disebut nafs. Nafs dalam khazanah Islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa (soul), nyawa, konasi yang berdaya syahwat dan ghadab, kepribadian, dan substansi psikofisik manusia[4]. Nafs adalah potensi jasad-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern telah ada sejak manusia siap menerimanya. Substansi nafs memiliki potensi gharizah. Jika potensi gharizah ini dikaitkan dengan substansi jasad dan ruh, dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1.                  Al-Qalb: → (super ego) Merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Ia berada di jantung (al-mudghah). Qalbu memiliki kemampuan untuk memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) melalui cita-rasa (al-zawqiyah). Allah SWT berfirman :
!$tB z>$|¹r& `ÏB >pt6ŠÅÁB žwÎ) ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 3 `tBur .`ÏB÷sム«!$$Î/ Ïöku ¼çmt6ù=s% 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÈ
“Dan orang-orang beriman mendapat petunjuk dari Allah melalui hatinya“ (QS. Al-Taghabun, 64: 11). Ketika mengaktual, potensi qalbu tidak selamanya menjadi tingkah laku yang baik. Baik-buruknya sangat tergantung pada pilihan manusia sendiri. Sabda Nabi SAW : “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir). Selain kemampuan memperoleh pengetahuan dari Allah, qalbu juga menjadi pusat kesadaran moral. Ia memiliki kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk serta mendorong manusia memilih hal-hal yang baik dan meninggalkan yang buruk, karena kemampuan yang emikian, maka Nabi Muhammad SAW menganjurkan manusia meminta fatwa kepada qalbunya.
       Qalbu memiliki kemampuan untuk memberikan jawaban ketika seseorang harus memutuskan sesuatu yang sangat penting. “Mintalah fatwa kepada qalbumu.” (HR. Ahmad dan al-Darimi). Al-Ghazali berpendapat bahwa qalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy (cahaya ketuhanan) dan al-bashira al-albathina (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan[5]. Al-Ghazali juga berpendapat bahwa qalbu diciptakan untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan qalbu sangat tergantung pada ma’rifah kepada Allah Swt. Hal itu juga dipertegas oleh Al-Zamakhsyariy yang berpendapat bahwa qalbu itu diciptakan oleh Allah Swt. sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan menerima kebenaran dari-Nya.
2.        Akal: → ego. Secra etimologi, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribah (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi. Jadi akal mempunyai kemampuan mengadakan penalaran rasional logis. Akal diungkap dalam Al-Qur’an tidak seperti qalbu. Akal diungkap hanya dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan satu pun tidak disebut kan dalam dalam bentuk kata benda (isim). Hal ini menunjukkan bahwa akal bukanlah suatu susbtansi (jauhar) yang bereksistensi, melainkan aktivitas substansi tertentu. Komponen nafsani yang mampu berakal adalah qalbu. Firman Allah Swt :
óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ  
“Mereka mempunyai qalbu yang mereka berakal dengannya.” (QS. Al-Hajj, 32:46). Berdasarkan ayat ini, para mufasir sebagaimana yang diulas oleh Al-Ghazali dan Wahba Al-Zukhailiy berbeda pendapat. Sebagian ada yang berpendapat bahwa qalbu yang berakal, sedang sebagian yang lain menyebutnya “otak“ (al-dimagh) yang berakal. Al-Zukhailiy lebih lanjut menjelaskan bahwa pendapat yang valid adalah pendapat kedua, yakni otak yang berakal bukan qalbu. Adapun maksud dari QS Al-Hajj: 46 tersebut adalah bahwa dalam tradisi kebahasaan, seseorang sering menggunakan qalbu untuk menyebutkan akal, sehingga dalam Al-Qur’an menggunakan qalbu untuk berakal.
3.        Nafsu: → id. Nafsu adalah daya nafsani yang memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-ghadabiyah dan al-syahwaniyah. Al-Ghadab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan. Ghadab dalam terminologi psikoanalisa disebut dengan defense (pertahanan, pembelaan, dan penjagaan), yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau melindungi ego terhadap kesalahan, kecemasan,dan rasa malu; perbuatan untuk melindungi diri sendiri; dan memanfaatkan dan merasionalkan perbuatannya sendiri. Al-Syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite, yaitu suatu hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu), motif atau impuls berdasarkan perubahan keadaan fisiologi. Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha mengumbar impuls-impuls primitifnya. Sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela. Firman Allah Swt:
!$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ  

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf, 12 : 53). Apabila impuls-impuls ini tidak terpenuhi maka terjadi ketegangan diri. Bila manusia melayani semua dorongan yang dimilikinya, maka dalam dirinya akan menguat yang namanya hawa nafsu. Bila hawa nafsu ini menggumpal dan berkuasa dalam diri seseorang maka ia tumbuh menjadi orang- orang yang zalim, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. “Tetapi orang-orang yang zalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.” (QS. Ar-Ruum, 30: 29)


BAB III
PEMBAHASAN

A.      Analisis Kritis Terhadap Psikoanalisa Dalam Membentuk Kepribadian
            Kepribadian dalam psikologi Islam adalah integrasi sistem qalbu, akal, dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. Meskipun pengertian ini sederhana, namun memiliki konsep yang mendalam. Pengertian ini juga sebagai bandingan dengan definisi yang dikemukakan oleh Freud dari psikoanalisa. Daya-daya yang terdapat dalam substansi nafs manusia saling berinteraksi satu sama lain dan tidak mungkin dapat dipisahkan. Kepribadian sesungguhnya merupakan produk dari interaksi diantara ketiga komponen tersebut, hanya saja ada salah satu diantaranya yang lebih mendominasi dari komponen yang lain.
            Maka ketika Freud mengemukakan konsep psikoanalisanya, tentu tidak sesempit itu dalam melihat kepribadian seseorang. Manusia itu makhluk yang dilahirkan fitrah dan mempunyai potensi untuk berperilaku sesuai dengan qalb, akal, dan nafsu. Ketiga komponen ini saling berinteraksi satu sama lain sehingga menghasilkan Gharizah. Baik buruknya gharizah dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki. Sementara Freud lebih menekankan libido sebagai energi yang menggerakkan id, ego, dan super ego. Meskipun  tidak mengelompokkan manusia dalam kategori-kategori tertentu, konsep psikoanalisa Freud berhenti pada prinsip kesenangan (Pleasure Principle) yang seolah tidak dapat dikontrol.  
            Sementara itu, Al-Ghazali berpendapat bahwa apabila pikiran itu dilahirkan dari qalbu, syahwatnya berubah menjadi kemauan, sedangkan ghadabnya berubah menjadi kemampuan yang tinggi derajatnya. Salah satu dominasi struktur kepribadian ini menimbulkan adanya tingkatan-tingkatan kepribadian manusia:
1.     Kepribadian Amarah (nafs al-amarah), adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan, jadi dalam ketiga struktur kepribadian manusia, nafsu yang mendominasi kepribadian amarah ini. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmatoleh Tuhanku.” (QS. Yusuf, 12 : 53). Kepribadian amarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila ia telah diberi rahmat oleh Allah Swt. Pendakian kepribadian dapat mencapai satu tingkat dari tingkatan kepribadian yang ada, yaitu kepribadian lawwamah.
2.     Kepribadian Lawwamah (nafs al-lawwamah), kepribadian yang telah memperoleh cahaya qalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak gelapnya namun kemudian ia diingatkan oleh nur ilahiy, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan beristighfar. Jadi akal mendominasi di antara ketiga struktur kepribadian. Akal apabila telah diberi percikan nur qalbu, fungsinya menjadi baik. Ia dapat dijadikan sebagai salah satu mediauntuk menuju kepada Tuhan. Al-Ghazali sendiri meskipun sangat mengutamakan pendekatan cita-rasa, tapi ia masih mengutamakan kemampuan akal. Sedangkan Ibnu Sina, akal mampu mencapai pemahaman yang abstrak dan akal juga mampu mencapai akal mustafad, yaitu akal yang mapu menerima limpangan pengetahuan dari Tuhan melalui akal fa’al (malaikat jibril).
3.     Kepribadian Muthmainnah (nafs al-muthmainnah), adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur qalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen qalbu untuk mendapat kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya tenang. Begitu tenangya kepribadian inisehingga ia dipanggil oleh Allah Swt. Firman Alla Swt:
$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ   ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ   Í?ä{÷Š$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ  
Artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr, 89 : 27-30).
            Al-Ghazali menyatakan bahwa daya qalbu (yang mendominasi kepribadian muthmainnah) mampu mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita-rasa (dawq) dan kasy (terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan batin manusia). Sedangkan Ibnu Khaldun menyatakan dalam Muqaddimat bahwa ruh qalbu itu disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal secara substansial mampu mengetahui apa saja di alam amar, sebab ia berpotensi demikian.






BAB IV
KESIMPULAN

1.        Teori psikoanalisa Freud terlalu menekankan pikiran bawah sadar, seks, agresi, pengalaman masa kanak-kanak. Sehingga manusia dianggap tidak jauh beda dengan binatang. Padahal manusia mempunyai qalbu dan akal untuk mengontrol semua perilaku yang hendak dikerjakan.
2.        Freud juga terlalu menekakan libido, sementara manusia mempunyai kemampuan untuk mengintegrasikan semua komponen nafs dalam membentuk kepribadian.
3.        Teori psikoanalisa Freud tidak dapat digunakan lagi dalam menganalisa perilaku-perilaku tidak kekerasan karena sifatnya adalah individual. Sedangkan kasus-kasus kekerasan seringkali disebabkan oleh faktor eksternal, seperti lingkungan sosial masyarakat.
4.        Teori psikoanalisa terlalu sempit dan merendahkan karena menganggap hakikat manusia sebagai makhluk yang buruk, liar, kejam, kelam, non etis, egois, sarat nafsu, dan berkiblat pada kenikmatan jasmani.
5.        Dalam memandang manusia, Islam tidak bersifat deterministik, behavioral, dan humanistik. Akan tetapi Islam memberikan kemuliaan kepada manusia sebagai makhluk yang paling mulia (Ahsani Taqwim). Manusia juga memiliki bentuk yang terbaik dari seluruh makhluk Allah yang lain dan mempunyai kekuatan untuk merubah sendiri kondisi dirinya.


Daftar Pustaka
Freud, Sigmund,  An Outline of Psychoanalysis. New York: Norton, 1938.
Hannaa, Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan  1slam Menuju Psikologi Islami, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) cet II.hal.50.
Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel J., Personality Theories: basic Assumtions,    Research, and Aplications, Auckland: McGraw-Hill International Book Company, 1981
KPAI, Pengaduan Pelecehan Seksual Terhadap Anak, (online) diakses 16 Mei 2014.
Nawawi, Rif’at Syauqi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an, dalam Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hlm.8


[1] KPAI, Pengaduan Pelecehan Seksual Terhadap Anak, diunggah 16 Mei 2014.
[2] Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel J., Personality Theories: basic Assumtions, Research, and Aplications, Auckland: McGraw-Hill International Book Company, 1981

[3] Freud, Sigmund,  An Outline of Psychoanalysis. New York: Norton, 1938.
[4] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut Al-Qur'an, dalam Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

[5] Hannaa Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan  1slam Menuju Psikologi Islami, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 )cet II.hal.50.

 


Tokoh Psikologi Sigmund Freud (sumber gambar)






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "KONSEP PSIKOANALISA SIGMUND FREUD (Analisa Kritis Terhadap Psikoanalisa Dalam Membangun Kepribadian )"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*