Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Privacy Policy · Daftar Isi · Tentang Kami

Sejahat-jahatnya Ibu, Aku Tak Ingin Beliau Gila dan Hidup Gelandangan


Tak perlu aku ceritakan betapa jahatnya ibuku. Namun, yang seharusnya kalian tahu aku tak ingin ibuku jadi orang gila maupun menggelandang. Alangkah baik aku jadi hidup begini karena ulah ibuku daripada melihatnya jadi gelandangan. Lebih-lebih jadi orang gila. Sangat tidak siap untuk menerima kenyataan itu.


Seandainya ibu menggelandang, semoga itu tidak terjadi, aku masih bisa memberi makan dan tempat teduh bersama. Namun, seandainya jadi gila, dalam hati kecil berharap semoga itu tak pernah terjadi, aku tak tahu harus bagaimana menyembuhkannya. Selain hanya menemani beliau di saat senggang dan mencoba mengajaknya bicara.


Hal pertama yang aku alami ketika melihat ibuku seperti di atas adalah tentu menangis perih. Lalu berupaya sekuat mungkin untuk merawatnya. Mensejahterakannya. Bila beliau gila tentu akan cari cara untuk menyembuhkannya. Biarlah tatkala sembuh kelak kembali jahat padaku. Aku siap untuk dijahati lagi.


Tulisan ini aku buat secara spontan. Tatkala aku melihat dengan mata kepala tepat di depan, ada perempuan gemuk berjilbab. Postur tubuhnya sangat mirip ibuku. Terpaksa mentadaburi begitu lama di depannya karena situasi menghendaki seperti itu. Angan begitu saja langsung terngiang ingat ibuku.


ilustrasi perempuan gila (sumber gambar)


Hati ini tersayat, terenyuh, dan bergetar tiada henti saat melihat wanita yang mirip ibu itu senyum sendiri. Sambil memainkan hp dan meminum sebotol soft drink ia duduk bersila. Tubuh, tas jinjing, dan bajunya terlihat bersih. Mungkin ia OGB (orang gila baru). Aku sudah melihatnya beberapa kali. Hingga kini aku masih melihatnya di tempat sama.


Setelah sholat Jumat, aku berencana ingin menunggunya hingga ia beranjak dari tempat duduk nyamannya. Lalu mengikutinya ke mana ia melangkah. Entah bagaimana nanti hasilnya. Sekarang ini aku masih melihatnya sambil menulis tulisan ini. Melihat senyumnya yang aneh. Baik saat melihat hp maupun tidak, ia sering tersenyum sendiri.


Beruntunglah, ibuku hidupnya sangat kaya raya. Punya uang banyak. Bisa memberikan sebagian untuk anak-anak lainnya. Ketika dijumlahkan total dari tanggal lahir masing-masing anaknya hingga sekarang tentu aku yang paling sedikit dikasih. Ibuku juga sangat mendominasi anak-anaknya sehingga tak pernah merasa lemah.


Ibuku tinggal di rumah yang besar. Beliau punya sumber daya untuk mengatur anak-anaknya. Mengalami gangguan jiwa berat apalagi hidup menggelandang peluang terjadinya sangat kecil pada ibuku. Mungkin malah aku yang jadi gila akibat ulah jahat ibuku terhadapku. Kejahatannya sungguh di luar nalar. Bila ada istilah "Ibu durhaka" maka beliau masuk kriteria itu.


Tulisan ini kubuat sambil menahan tetesan air mata. Menahan tangisan yang ingin keluar begitu saja. Teringat sosok ibu nan jauh di sana. Malu rasanya menangis di tempat yang cukup ramai. Salah satu tempat yang dijadikan tempat mangkal muda-mudi untuk nongkrong di Kota Malang. Aku merantau di bumi Arema ini. Aku diasuh oleh sosok yang baik hati di sini.


Oh ya, lupa. Perkenalkan namaku Jonathan. Aku adalah salah satu admin di website Banjir Embun ini. Aku bekerja di perusahaan Banjir Embun yang memiliki banyak situs. Di mana Banjirembun.com yang sedang kalian baca adalah salah satunya. Alhamdulillah, Tim Banjir Embun menerimaku apa adanya. Aku dididik, dibina, dan diayomi di sini.


Barangkali kalian yang jadi mahasiswa di Kota Malang pernah melihatku. Entah itu di kampus, bioskop, mall, wifi corner, car free day Kota Malang, tempat makan, hingga tempat tongkrongan anak muda. Aku adalah remaja biasa yang senang akan hiburan. Namun, bukan hiburan yang menjurus maksiat.






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sejahat-jahatnya Ibu, Aku Tak Ingin Beliau Gila dan Hidup Gelandangan"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*