Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

PENCERMINAN KEIMANAN DALAM KEHIDUPAN PRIBADI DAN KELUARGA


Oleh: Eny Faridatunnisa


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penyimpangan dan dekadensi akhlak yang terjadi pada kebanyakan manusia itu disebabkan mereka tumbuh dan berkambang dalam atmosfir tarbiyah atau pendidikan yang buruk. Maka dari sini, betapa pentingnya sebuah pendidikan yang mampu membawa generasi muslim ke puncak ketinggian akhlak yang menebarkan kebahagiaan dan ketentraman, tentunya dengan benteng iman yang kokoh dan terealisasi dalam pencerminan kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan kapada pendidikan moral yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan ini mengharuskan seorang pendidik agar menjauhkan anak didiknya dari kebatilan dan kejelekan, seperti tempat yang menebarkan permusuhan, diskotik, dan tempat yang penuh dengan kemungkaran, karena dalam pendidikan Islam, proses penghayatan sebenarnya terhadap moralitas akhlak menjadi tolak ukur keberhasilan. Memahami moralitas belum tentu secara otomatis dapat menghayatinya. Pemahaman terhadap moralitas bararti segala sesuatu tentang moralitas sudah jelas baik dan pentingnya untuk dimiliki setiap muslim. Namun pemahaman tersebut barulah terjadi dalam pemikiran, belum tentu meresap kedalam hati dan perasaan. Tentunya dengan pencerminan keimanan dengan akhlak terpuji, kemungkinan tidak akan melakukan perbuatan buruk seperti melakukan kejahatan, kekejaman, dan kesewenang-wenangan, sebab hal-hal yang buruk tersebut apabila telah masuk dan melekat pada pendengarannya (di masa kecil), maka akan sulit lepas di masa besarnya dan para orang tua atau pengasuhnya akan menemui kesulitan dalam menyelamatkan generasi muda muslim dari hal-hal yang buruk tersebut.
Pendidikan akhlak dan tasawuf sangat dibutuhkan oleh setiap individu maupun  masyarakat, karena pengaruh positifnya yang indah akan dirasakan oleh individu dan masyarakat dalam porsi yang sama, sebagaimana dampak negatifnya, ketika ia diremehkan, akan menyebar kepada individu dan masyarakat dan bentuk pendidikan ruhani secara vertikal adalah dapat berakhlak dan beribadah dengan baik kapada Allah SWT dan secara horizontal berakhlak baik kepada setiap mahluk. Seperti kenakalan para pelajar yang terjadi pada akhir-akhir ini, terjangkit obat-obatan terlarang, dan bergaya hidup bebas dan pergaulan bebas, hal ini yang sangat meresahkan kaum terdidik dan pendidik. Oleh karena itu pendidikan tasawuf dalam diri seorang mukmin sejati ini harus diperhatikan sejak awal marh}alah (fase) umur manusia, yaitu dari sejak masa kanak-kanak.
Dengan demikian orang yang selalu meningkatkan prestasi imannya melalui amal saleh dan riya>d}ah (usaha-usaha yang dilakukan oleh jiwa dan ruhani seseorang agar bisa mengurangi sifat-sifat yang suka terhadap kemewahan dunia) akan diikuti dengan semakin meningkatnya prestasi iman (taqwa), sedemikian dekatnya nafsiyyah manusia dengan Tuhannya, dan komitmennya terhadap ajaran-ajaran dan petunjuk-petunjuk-Nya, serta meningkatkan ke ahsan at-taqwi>m (kualitas manusia yang terbaik sesuai dengan asal kejadiannya). Sebaliknya jika nafsiyyah manusia dalam hidup dan kehidupan lebih tertarik pada dan dikuasai oleh kepentingan jismiyyah, sehingga yang diinginkan, diingat-ingat, dipikirkan, dirasakan dan ditingkatkan hanya kenikmatan jismiyyah belaka, maka kualitas prestasi iman (taqwa) kedekatan dan keyakinan kapada Tuhan akan semakin merosot, jatuh ke asfala as-safili>n (kualitas terendah) bahkan lebih rendah dari pada binatang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa dalil tentang tanda-tanda iman atau tidak iman dalam kehidupan sehari-hari?
2.      Bagaimana penerjemahan dalil tersebut dalam kehidupan sehari-hari?
3.      Bagaimana standarisasi perilaku mukmin sejati dalam kehidupan pribadi dan keluarga sesuai dengan keadaan kontemporer Indonesia?



PEMBAHASAN

A.    Pemaparan Dalil tentang Tanda-Tanda Iman atau Tidak Iman dalam Kehidupan Sehari-Hari
Keimanan[1] merupakan unsur terpenting seorang muslim, sebab iman menentukan nasib seorang di dunia dan akhirat. Bahkan kebaikan dunia dan akhirat bersandar kepada iman yang benar. Dengan iman seorang akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat dan keselamatan dari segala keburukan dan adzab Allah. Dengan iman seorang akan mendapatkan pahala besar yang menjadi sebab masuk ke dalam syurga dan selamat dari neraka. Lebih dari itu semua, mendapatkan keridhaan Allah yang maha kuasa sehingga Dia tidak akan murka kepadanya dan dapat merasakan kelezatan melihat wajah Allah di akhirat kelak. Dengan demikian permasalahan ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari kita semua.
Adapun secara shar’i (agama), iman yang sempurna mencakup qaul (perkataan) dan amal (perbuatan). Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan di antara prinsip Ahlus sunnah wal jama’ah adalah ad-din (agama/amalan) dan al-iman adalah perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati, lisan dan anggota badan.”[2]
Dari perkataan Syaikhul Islam di atas, nampak bahwa iman menurut Ahlus sunnah wa al-jama>’ah mencakup lima perkara, yaitu perkataan hati, perkataan lisan, perbuatan hati, perbuatan lisan dan perbuatan anggota badan. Banyak dalil yang menunjukkan masuknya lima perkara di atas dalam kategori iman, di antaranya adalah sebagai berikut:[3]


1.      Perkataan hati, yaitu pembenaran dan keyakinan hati. SWT berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (١٥)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang hanya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Qs. Al-Hujurat/49:15).

2.      Perkataan lisan, yaitu mengucapkan syahadat La ila>ha illallah dan syahadat Muhammad Rasulullah SAW dengan lisan dan mengakui kandungan shahadatain tersebut. Di antara dalil hal ini adalah sabda Nabi SAW:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Artinya: Aku diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan sampai mereka menegakkan shalat, serta membayar zakat. Jika mereka telah melakukan itu, maka mereka telah mencegah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka pada tanggungan Allah. (HR. al-Bukhâri, no: 25, dari `Abdullâh bin Umar radhiallahu ‘anhu)[4]

Pada hadits lain disebutkan dengan lafazh:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
Artinya: Aku diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan ‘La ilaaha illallah’. (HR. al-Bukhâri, no: 392, dari Anas bin Mâlik rahimahullah)[5]

3.      Perbuatan hati, yaitu gerakan dan kehendak hati, seperti ikhlas, tawakal, mencintai Allah SWT, mencintai apa yang dicintai oleh Allah SWT, raja` (berharap rahmat atau ampunan Allah SWT), takut kepada siksa Allah SWT, ketundukan hati kepada Allah SWT, dan lain-lain yang mengikutinya. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (٢)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, hati mereka gemetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabbnya mereka bertawakkal.
 (Qs. Al-Anfâl/8:2)
Maksud dari kata bergetar hati mereka ketika mendengarkan nama Allah disebutkan adalah hati mereka bergetar karena rasa takut akan kebesaran-Nya, tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan sopan dalam berzikir kepada-Nya. Dan apabila ayat-ayatNya di bacakan mereka meyakini bahwa kata-kata tersebut berasal dari Allah, maka kepercayaan dan pembenaran mereka terhadap perkataan Allah tersebut semakin bertambah dan semakin terpatri, dan hanya kepada Allah mereka bergantung dan menyerahkan sega urusan baik dunia maupun akhirat.[6] Keadaan ini terjadi disebabkan karena kecintaan mereka kepada Allah melebihi cinta mereka kepada selain-Nya bahkan terhadap dirinya sendiri
4.      Perbuatan lisan, yaitu amalan yang tidak dilakukan kecuali dengan lidah. Seperti membaca al-Qur’ân, dzikir kepada Allah SWT, doa, istighfâr, dan lainnya. Allah SWT berfirman:
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا (٢٧)
Artinya: Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (al-Qur’ân). Tidak ada (seorang pun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya. (Qs. Al-Kahfi/18:27)

5.      Perbuatan anggota badan.Yaitu amalan yang tidak dilakukan kecuali dengan anggota badan. Seperti: berdiri shalat, ruku’, sujud, haji, puasa, jihad, membuang barang mengganggu dari jalan, dan lain-lain. Allah berfirman yang artinya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٧٧)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah, sujudlah, sembahlah Rabbmu dan berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan. (Qs. al-Hajj/22:77)
Adapun lawannya dari orang yang beriman yaitu kufur. Arti Kufur Secara etimologi, kufur artinya menutupi, sedangkan menurut terminology syariat, kufur artinya ingkar terhadap Allah swt, atau tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya maupun tidak. Perbedaannya, kalau mendustakan berarti menentang dan menolak, tetapi kalau tidak mendustakan artinya hanya sekedar tidak iman dan tidak percaya. Dengan demikian kufur yang disertai pendustaan itu lebih berat dari pada kufur sekedar kufur.[7] Sedangkan tanda-tanda sifat kufur yaitu:

1.      Mendustakan agama
Dalilnya adalah firman Allah.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ (٦٨)
Artinya : Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau mendustakan kebenaran tatkala yang hak itu datang kepadanya ? Bukankah dalam Neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir ? (Q.S  Al Ankabut : 68)

2.      Memiliki sifat Enggan dan Sombong, Padahal membenarkan.
Firman Allah:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (٣٤)
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Tunduklah kamu kepada Adam’. Lalu mereka tunduk kecuali iblis, ia enggan dan congkak dan adalah ia termasuk orang-orang kafir. (Q.S Al Baqarah : 34)

3.      Ragu terhadap dalil al-Qur’an dan Hadits
Allah berfirman dalam Al Quran:
وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (٣٥) وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا (٣٦) قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا (٣٧) لَكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلا أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا (٣٨)
Artinya : Dan ia memasuki kebunnya, sedang ia aniaya terhadap dirinya sendiri ; ia berkata, “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira Hari Kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, niscaya akan kudapati tempat kembali yang baik” Temannya (yang mukmin) berkata kepadanya, ‘Apakah engkau kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, kemudian Dia menjadikan kamu seorang laki-laki? Tapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah Rabbku dan aku tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun. (Q.S Al Kahfi : 35-38)

4.      Berpaling dari Peringatan Allah SWT
Allah menyampaikan lewat wahyunya dalam Al Quran:
مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ (٣)
Artinya : Dan orang-orang itu berpaling dari peringatan yang disampaikan kepada mereka (Q.S Al Ahqaf : 3)

5.      Nifaq (munafik)
Dalilnya adalah firman Allah dalam surat Al Munafiqun:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَفْقَهُونَ (٣)
Artinya : Yang demikian itu adalah karena mereka beriman (secara) lahirnya lalu kafir (secara batinnya), kemudian hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti (Q.S Al Munafiqun : 3)

6.      Kufur Kecil[8]
Seperti kufur nikmat, sebagaimana yang disebutkan dalam firmanNya. Dalam Al Quran banyak sekali dalil tentang kufur kecil ini disebutkan diantaranya adalah firman Allah dalam Alquran:
يَعْرِفُونَ نِعْمَةَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ (٨٣)
Artinya: Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkari dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir (Q.S An Nahl : 83)

B.     Implementasi Dalil tentang Tanda-Tanda Iman dalam kehidupan sehari-hari
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah menuturkan: “Hasil usaha jiwa dan kalbu yang terbaik dan penyebab seorang hamba mendapatkan ketinggian di dunia dan akhirat adalah ilmu dan iman,[9] oleh karena itu Allah SWT menggabung keduanya dalam firman-Nya yang artinya:
وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَالإيمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْبَعْثِ فَهَذَا يَوْمُ الْبَعْثِ وَلَكِنَّكُمْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٥٦)
Artinya: Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): “Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit.” (Qs. Ar-Ruum: 30/56)

Dan firman Allah SWT yang artinya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (١١)
Artinya: Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Qs. Al-Mujaadilah: 58/11)

Dalam Buku Ajar Madrasah Aliyah dan SMA, disebutkan bahwa penerapan sikap perilaku beriman kepada kitab-kitab allah Semakin dalam seseorang imannya itu, bila tercermin dari sikap perilaku dalam sehari-hari nampak dari kehidupannya. Di antara sikap perilaku penerapan sikap perilaku beriman kepada Allah SWT sebagai berikut: [10]
1.      Optimis dalam beribadah kepada Allah SWT atas segala usaha yang dilakukannya karena percaya pertolongan Allah SWT sangat dekat kepada orang yang berbuat baik (Q.S.Al A’raaf (7) : 56)
2.      Selalu bersyukur bila mendapat nikmat (Q.S. Ibrahim (14) : 7)
3.      Tabah dan sabar bila mendapat musibah dan cobaan (Q.S. Al Baqarah (2) : 155-157)
4.      Senantiasa meminta pertolongan kepada Allah dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara (Q.S. Al Fatihah (1) : 5)
5.      Sebagai pedoman dan contoh perilaku di masyarakat (Q.S. Ali ‘Imran (3) : 110)
6.      Mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang baik bagi masyarakat (Q.S. Ali ‘Imran (3) : 104)
7.      Sebagai motivator, dinamisator, dan stabilisator dalam kehidupan, sehingga hubungan terjalin secara serasi, selaras dan seimbang.
8.      Membiasakan dan senang sekali melakukan kegiatan amal saleh, disiplin dan patuh kepada ajaran Islam
9.      Bekerja keras (berjihad) dan tidak khawatir, karena yakin akan perlindungan Allah SWT
10.  Memurnikan ajaran Islam dengan memantapkan tauhid dalam jiwa, dan menjauhi mempercayai takhayul dan mistik.
11.  Menjauhi dan mencegah perbuatan-perbuatan tercela yang tidak diridlai Allah SWT.
12.  Waspada dan mawas diri karena merasakan kehadiran malaikat yang senantiasa mengawasinya.
13.  Jujur dan meyakini bahwa kelak akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya yang baik dan buruk.
Kesempurnaan dari Hak Allah bagi manusia beriman tidak cukup untuk hanya memikirkan keselamatan dirinya dari segala bahaya dan berbagai musibah dari segala perkara dunia pada kehidupannya dan dari berbagai kesusahan dan kesengsaraan hidup berlomba-lomba mencari perbekalan hidup bagi dirinya dan keturunannya dengan alas an untuk kuat ta’at beribadah, padahal mengikuti hawa nafsu yang samara pada hati, sehingga merasa butuh pada kehidupan Hubbuddunya (cinta dunia) sehingga kikir bersedekah karena sangat takutnya menjadi miskin dan sengsara.
Dan berlomba-lomba pula mencari keselamatan akhirat agar terbebas dari siksa kubur dan azab neraka dengan melulu atau banyak mengerjakan berbagai Peribadatan (Ubudiyyah), padahal mengikuti nafsu yang samara pada hati hingga menghilangkan keikhlasan Kepada-Nya, maka timbulah rasa bangga hati (ujub) karena merasa telah pahala yang didapat bagi bekal akhirat, kemudian lupa bahwa; tiadalah amal yang diterima melainkan yang ikhlas Kepada-Nya pada Rahmat-Nya, jadilah hati terpedaya dan terbelenggu mengandalkan amal, sehingga tiadalah pada lathifah Bathin Rasa Tawadhu (Merendah) Kepada-Nya dalam segala Keikhlasan Amal.
Langkah-langkah antisipasi dalam menguatkan keimanan dapat diwujudkan dalam beberapa aktifitas ibadah yaitu:
1.      Memiliki lidah yang selalu menjadikannya sibuk berdzikir atau bertasbih kepada Allah dengan membaca Al-Qur’an dan mempelajari ilmu agama.
2.      Memiliki hati yang selalu mengeluarkan dari dalam hatinya perasaan tidak bermusuhan, iri, dengki dan lain sebagainya.
3.      Penglihatan tidak akan memandang kepada hal-hal yang haram, tidak memandang dunia dengan keinginan hawa nafsu, tetapi ia memandanginya dengan mengambil i’tibar dan pelajaran.
4.      Perutnya, dia tidak memasukkan hal-hal haram kedalamnya, sebab yang demikian itu adalah perbuatan dosa.
5.      Tangannya, dia tidak memanjangkan tangannya ke arah hal-hal yang
haram, tetapi memanjangkannya untuk memenuhi ketaatan.
6.      Telapak kakinya, dia tidak berjalan kepada hal-hal yang haram ataukedalam kemaksiatan, tetapi berjalan di jalan Allah SWT dengan bersahabat atau berteman dengan orang-orang yang sholeh.
7.      Menjadikan keta’atannya itu murni dan ikhlas karena Allah SWT.

C.    Standarisasi Perilaku Mukmin Sejati dalam Kehidupan Pribadi dan Keluarga sesuai dengan Keadaan Kontemporer Indonesia
Pendidikan moral dan akhlak menduduki posisi yang sangat penting dalam pembentukan karakter pendidikan di Indonesia, bahkan bukan hanya dalam aspek pendidikan saja, melainkan juga bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan ideologi. Arti penting dari pendidikan moral atau akhlak dapat dilihat dari hasil pendidikan yang sampai saat ini berlangsung. Banyak pemimpin negara yang lupa akan penderitaan rakyat, hanya mementingkan diri dan kelompoknya, menindas kaum melarat dan kalah serta tunduk kepada pemilik modal besar (konglomerat). Bangsa Indonesia akan terus mengalami kemerosotan ekonomi, politik, dan budaya, ketika pendidikan moral dan akhlak sudah dijadikan sebagai landasan awal pendidikan nasional. Namun, semua ini tergantung pada political will para pemimpin negeri ini (Presiden dan DPR atau ekskutif dan legislatif).
Seperti yang termaktub dalam firman Allah Swt :
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan Shabiin, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal shaleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al-Baqarah : 62)

Imam Abu Ja’far al-Thabari kerika mengomentari ayat di atas beliau berkata :
“Makna kata Iman yang disandarkan kepada orang mukmin pada ayat ini adalah ketetapan iman dalam diri mereka dengan tidak menggantinya, adapun Iman yang disandarkan kepada kaum Yahudi, Nasrani dan Sabiin adalah kepercayaan dan pembenaran mereka terhadap kenabian Muhammad saw serta seluruh yang datang kepada beliau (rislah), maka barang siapa diantara mereka yang beriman kepada Muhammad Saw serta risalah yang dibawa oleh beliau, dan beriman kepada hari Akhirat dan beramal shaleh, serta tidak menggantinya dan merubahnya hingga ia meninggal, maka baginya pahala atas segala yang ia kerjakan dan bagi mereka pahala disisi Allah sebagaiman yang disifatkan oleh Allah tentang mereka dalam ayat ini”[11]

Penjelasan Imam al-Thabary dalam mengomentari ayat di atas menunjukkan bahwa keimanan yang dapat mengantarkan kepada pahala yang besar dan rasa aman adalah keimanan dengan mengikuti syariat yang dibawa oleh Muhammad Saw, karena syriat beliau merupakan syariat penutup dan penyempurna atas syariat Rasul-rasul terdahulu. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kata iman yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah syriat khatam an-Nabiyyin Muhammad Saw. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw :
لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به
Artinya: Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga nafsunya mengikuti apa diutuskan kepadaku.[12]
Begitu pula dalam kehidupan keluarga muslim, prinsip rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah adalah aqidah keimanan Islam dan hukum kesetaraan derajat perempuan dengan laki-laki (bhs menterengnya kesetaraan gender). Dan doktrin kesepakatan di antara dua insan dalam berrumahtangga adalah perjanjian yang tidak boleh dinafikan. Bila kita masuki hakekat dasar dalam praxis hidup melalui hukum umum gerak akhlaaq kemanusiaan, adalah interaksi timbal balik di antara dua insan yang berpasangan, yaitu usaha dua insan yang berpasangan untuk berbuat saling memberikan perhatian, saling membantu dan saling mencintai.
KESIMPULAN

1.      Dari cahaya iman yang ada dalam hatinya, jadilah orang-orang beriman melakukan aktifitas-aktifitas yang mencirikan keimanannya. Adapun tanda-tanda Orang yang Beriman QS. Al Baqarah (2) : 177 (Beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi), memberikan harta yang dicintainya (QS 9:92 ; 3:134 ; 8:3), memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janjinya apabila ia berjanji,  sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan (QS. Ali Imran (3) : 16-17), berdo'a, sabar, bertaubat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan memelihara hukum-hukum Allah, menjaga kemaluannya, memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
2.      Di antara Karakteristik (tanda) orang yang beriman adalah:
a.       Orang yang beriman adalah mereka yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaan mereka kepada selain Allah, yang ketika nama Allah disebutkan hati mereka bergetar, dan ketika mereka mendengarkan ayat-ayat Allah di bacakan keyakinan mereka akan kebenaran Risalah Rasulullah Saw semakin terpatri dalam dirinya.
b.      Orang yang beriman adalah mereka yang bersegera dalam menjalankan segala bentuk kewajiban syariah tanpa melakukan penundaan sedikitpun.
c.       Orang yang beriman adalah mereka yang senantiasa menjaga keutuhan persaudaraan diantara sesama muslim.
3.      Adapun standarisasi keimanan seorang mukmin dalam kehidupan pribadi dan keluarga yang sesuai dengan keadaan kontemporer Indonesia yaitu:
a.       Kemerdekaan dari kekuasaan orang lain sebagai wujud persamaan hak.
b.      Menimbulkan keberanian dan ingin terus maju karena membela kebenaran.
c.       Keyakinan bahwa Allah menjamin kehidupanya dengan limpahan rejeki.
d.      Mendapat ketenangan jiwa dan ketentraman keluarga.
e.       Kemampuan mengendalikan diri dari sifat tercela dan melanggar hukum.
f.       Mendapat kedudukan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: logos Wacana ilmu, 1998.

Al-Abrasyi, Athiyah. Dasar-Dasar Pokok  Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Abidin, Ibn Rus. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

al-Bukhary, Muhammad bin Ismail. Sahih Bukhari Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H / 1992 M.

An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Al-hijazi, Hasan Bin Ali. Manhaj Tarbiyah Ibnu Qoyyim. Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2001.

al-Thabary, Muhammad bin Jarir bin Yazid  Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Qur’an, Jld. XIII. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1420 H / 2000 M.

al-Qarni, A’aidl Abdullah Kitab 30 Tanda-Tanda Orang Munafiq. Jakarta : Gema Insani. 1993.

al-’Akbary, Ibnu Baththah. al-Ibanah. Kairo: Maktabah as-Sunnah, T.Th.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. al-Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H / 1992 M.

Kanwil DEPAG JATIM, Buku paket Akidah Akhlak kelas X MA.
Rohman, Roli Abdul. Akidah Akhlak MA kelas X (Jakarta: Tiga Serangkai, 2011).

Harrâs, Syaikh Muhammad Khalîl Sharh} Aqî>dah Wâsit}iyah, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul Qadir as-Saqqâf, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.

Khoirun, Rosyadi, Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2004.

Mulkhan, Abdul Munir, Sufi Pinggiran, menembus batas-batas. Yogyakarta: Impulse-Kanisius, 2007.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2003.


[1] Kata Iman dan perubahannya di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 43 kali, adapun kata dasarnya yaitu أَمِن dan أَمَنَ dengan seluruh bentuk perubahannya, maka kita akan menemukan di dalam al-Qur’an akan terulang sebanyak 913 kali, jadi kata أَمِن dan أَمَنَ digabungkan dengan kata الإيمان dengan segala bentuk perubahannya terulang di dalam Al-Qur’an sebanyak 956 kali. Lihat Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadh al-Qur’an, (Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H / 1992 M), h. 101-118.
[2] Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs, Sharh} Aqî>dah Wâsit}iyah, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul Qadir as-Saqqâf, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), 231.
[3] Ibid.
[4] Muhammad bin Ismail al-Bukhary, Sahih Bukhari Cet. I; (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H / 1992 M), 221.
[5] Ibid, 157.
[6] Muhammad bin Jarir bin Yazid  Abu Ja’far al-Thabary, Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Qur’an, Jld. XIII (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1420 H / 2000 M), , h. 385.
[7] A’aidl Abdullah al Qarni, Kitab 30 Tanda-Tanda Orang Munafiq (Jakarta : Gema Insani. 1993), 23.
[8] Kufur kecil yaitu kufur yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali ialah dosa-dosa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar.
[9] Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs, Sharh} Aqî>dah Wâsit}iyah, 232.
[10] Buku paket Akidah Akhlak kelas X MA
[11] Muhammad bin Jarir bin Yazid  Abu Ja’far al-Thabary, Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Qur’an Jil II (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1420 H / 2000 M), 143.
[12] Ibnu Baththah al-’Akbary, al-Ibanah (Kairo: Maktabah as-Sunnah, T.Th), 298.





Baca tulisan menarik lainnya:

1 Tanggapan untuk "PENCERMINAN KEIMANAN DALAM KEHIDUPAN PRIBADI DAN KELUARGA"

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*