Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Privacy Policy · Daftar Isi · Tentang Kami

A. Konsep Dasar Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam (Multiple Intelligences)




1.    Pengertian Kecerdasan Beragam


Kata ragam salah satu diantaranya memiliki arti pertama “tingkah; laku; ulah” kedua “macam; jenis” dan ketiga “warna; corak;.” Sedangkan istilah kecerdasan berasal dari kata dasar “cerdas” yang artinya “sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran;” atau bisa juga berarti “sempurna pertumbungan tubuhnya (sehat, kuat).” Secara terpisah kecerdasan spiritual mempunyai arti tersendiri yaitu “kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.”[1]
Berangkat dari pemaparan tersebut, maka penggunaaan istilah “kecerdasan beragam”[2] dalam Bab ini sebagai pengganti istilah multiple intelligences merupakan tindakan absah. Alasannya, kata ragam secara arti (makna) lebih cocok digunakan dari pada kata lainnya. Misalnya, kata majemuk memiliki dua arti yang tidak satupun cocok sebagai pengganti istilah teori Gardner tersebut. Di mana,  majemuk berarti “terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan” dan “mengenai penambahan bunga kepada pokok berdasarkan waktu dengan tujuan mendapatkan dasar baru untuk menghitung bunga berikutnya:.”[3] Padahal menurut teori Gardner, satu jenis kecerdasan itu bisa berdiri sendiri dan bukan terdiri atas beberapa bagian yang saling menyatukan. Walaupun, kadang kala antara jenis kecerdasan satu dengan yang lain saling mendukung (terkait). Bilapun menggunakan istilah kecerdasan ganda, maka kata “ganda” memiliki tiga arti yaitu pertama “(tentang hitungan) kali; lipat,” kedua “berbayang (seakan-akan ada dua),” ketiga “berpasangan (terdiri atas dua); berpasangan dua-dua (dalam bulu tangkis, tenis, dsb).”[4] Dari sudut pandang teori Gardner penggunaan istilah “ganda” juga kurang cocok. Hal ini karena jenis kecerdasan dalam multiple intelligences menurut Thomas Armstrong berpeluang untuk “tak terbatas” (terus bertambah).[5]





Lebih lanjut, Gardner mendefinisikan kecerdasan dengan singkat dan fungsional, yaitu “An intelligence is the ability to solve  problems, or to create products, that are valued within one or more cultural settings.”[6] Artinya, kecerdasan adalah kemampuan memecahkan masalah-masalah, atau menciptakan produk-produk (hasil) yang bernilai tinggi dalam satu atau lebih keadaan (latar belakang) kebudayaan. Adapun Alfred Binet dan Theodore Simon (sering disebut Binet-Simon), membagi kecerdasan menjadi tiga komponen. Pertama “kemampuan mengarahkan pikiran dan atau tindakan.” Kedua “kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan,” dan ketiga “kemampuan mengkritik diri sendiri.”[7] Dapat disimpulkan bahwa antara Gardner dengan Binet-Simon secara dasar dalam mendefinisikan kecerdasan tidak berbeda. Yakni, ketiganya sama-sama menekankan bahwa kecerdasan merupakan sebuah kemampuan.
Secara spesifik Widayati dan Widijati mengungkapkan bahwa kecerdasan itu tidak dapat diamati secara langsung. Diperlukan kesimpulan dari pengamatan berberapa perilaku nyata yang merupakan perwujudan dari proses berpikir rasional.[8] Dengan demikian, penilaian terhadap kecerdasan tidak harus dilakukan dengan tes tulis. Hal ini, utamanya untuk menilai kecerdasan anak kecil (balita) yang belum bisa baca tulis. Selain itu, Widayati dan Widijati mengklasifikasikan sifat-sifat dari kecerdasan sebagai berikut:
1.    Adaptif; adanya respon yang fleksibel bila ada stimulus dalam berbagai situasi dan masalah, sehingga tahu pemecahannya dan tidak merasa sulit setiap kali menghadapi permasalahan.
2.    Kemampuan belajar; kemampuan belajar pada sesuatu yang baru, tergantung pada setiap anak sejauh mana ia mampu menyerap dan menyimpan sesuatu yang baru itu.
3.    Belajar dari pengalaman luar dan dalam dirinya; menggunakan pengetahuan sebelumnya sebagai analisis dan pemahaman situasi yang baru, sehingga senantiasa menunjukkan kreativitas.[9]
Gardner juga mengatakan bahwa kecerdasan yang “utama” itu berdasarkan faktor keturunan (gen) sehingga tidak dapat dilatih. Misalkan kecerdasan musikal, menurutnya ada pengaruh gen yang menyebabkan seseorang pintar memainkan musik. Bahkan, menurutnya perbedaan dalam lingkungan seseorang tidak memberikan kontribusi material terhadap perbedaan dalam kapasitas (kemampuan) untuk membedakan irama maupun melodi.[10] Bila pernyataan ini benar, maka memaksa individu untuk menguasai bidang kecerdasan lain yang tidak sesuai dengan faktor bawaan atau bakatnya merupakan tindakan di luar manusiawi. Dapat disimpulkan bahwa arti kecerdasan beragam adalah beberapa jenis kemampuan dasar yang salah satunya atau beberapa diantaranya bisa menjadi ciri khas atau melekat (dimiliki) pada masing-masing manusia untuk berbudaya dan berkehidupan bersama secara efektif dan agar lebih produktif.

2.    Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran adalah proses mental dan emosional, serta berfikir, dan merasakan. Seseorang pembelajar dikatakan melakukan pembelajaran apabila pikiran dan perasaannya aktif.[11] Lebih detail, Ahmad Sabri menyampaikan bahwa orang yang sudah aktif terlibat pada proses pembelajaran diharapkan akan bisa merasa lebih bahagia dan lebih pantas untuk melakukan pemanfaatan alam sekitar. Selain itu, peserta didik juga perlu aktif dalam penjagaan kesehatan, peningkatan pengabdian untuk ketrampilan, dan berhasil dalam pengimplementasian pembedaan (terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan sesudah melakukan proses pembelajaran).[12] Dengan demikian, dalam pembelajaran peserta didik ditekankan punya kesadaran, motivasi, dan kondisi yang dimungkinkan untuk terjadinya interaksi antara peserta didik terhadap sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[13] Lebih jauh, peserta didik diharapkan terlatih pada pembiasaan diri untuk pemecahan masalah dan mampu terbiasa pada penggunaan empati beserta logikanya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan pembelajaran bisa terjadi di mana saja. Tidak hanya di dalam kelas yang sangat formal, terbatasi waktu maupun tempat, dan cenderung kaku.
Dari pendefinisian di atas,  kemudian dihubungkan dengan definisi “kecerdasan beragam” dapat dihasilkan sebuah pengertian baru. Yakni, pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam konteks penerapan teori kecerdasan beragam merupakan suatu kegiatan pengaktifan kesadaran mental (utamanya bakat dan kecerdasan) peserta didik secara terorganisir, yang isinya didasarkan pada nilai-nilai agama Islam secara universal sebagai pedoman berperilaku, berfikir, dan berkehendak dalam perjalanan hidup sampai mati. Meninjau dari definisi tersebut, maka tujuan, materi, strategi (metode), dan evaluasi pembelajaran PAI akan sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan sistem pembelajaran bidang ilmu lain. Di mana, salah satunya PAI diajarkan sebagai pedoman hidup secara mendalam dan luas. Sedangkan, kebanyakan bidang ilmu lain dipelajari sebatas untuk bagaimana cara mempertahankan kehidupan, mengembangkan kehidupan, cara menyelesaikan masalah kehidupan, dan semacamnya tanpa melibatkan atau paling tidak menekankan aspek ‘ketuhanan’ dan ketauhidan.

3.    Perubahan Paradigma Kecerdasan
Selama ini dalam sistem pendidikan, pada praktek di lapangan kebanyakan masih memaknai kecerdasan peserta didik secara terbatas (picik). Yakni, mereka yang dikatakan cerdas adalah memiliki ciri-ciri penurut, hafalannya kuat, nilai mata pelajaran matematika serta IPA tinggi, hasil tes IQ-nya tinggi, ranking nilai kognitif teratas, dan pendiam. Ini artinya, anak yang bisa membenahi kerusakan motor, mampu berdagang (berbisnis) gorengan, mampu memasak (menjadi koki), mampu membuat celana dalam anti pemerkosaan, mampu melukis, mampu bermain musik, dan semacamnya tidak didefinisikan sebagai anak yang tergolong cerdas, tapi anak yang kreatif. Dengan menggunakan paradigma ini, maka anak yang kreatif bukanlah anak yang cerdas, tapi hanya sekedar kreatif. Dampaknya, berbagai anak yang kreatif tadi (yang mempunyai kecerdasan di bidang masing-masing) merasa tidak mendapatkan penghargaan dibandingkan dengan anak yang mendapat ranking[14] (nilai kognitif) 10 besar.




Kenyataan seperti itu sungguh memprihatinkan bagi kondisi psikologis anak. Bisa jadi anak akan berlomba-lomba belajar atau bahkan dileskan (lembaga les atau secara privat) agar mendapatkan nilai bagus pada bidang matematika, bahasa inggris, IPA, dsb.[15] Padahal belum tentu jenis “kecerdasan” yang dikuasainya di bidang tersebut. Akibatnya, energi anak akan terkuras untuk hal-hal yang diluar bidang kecerdasannya. Meskipun hasilnya bagus (terjadi peningkatan), akan tetapi kemungkinan bisa menjadi lebih bagus dan lebih bermanfaat bila ia memperdalam kecerdasan yang keberadaannya dominan pada dirinya. Selain itu anak juga akan lebih menikmati pendalaman materi (melalui les atau privat) yang sesuai dengan bidang kecerdasannya.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Gardner sebagaimana yang dikutip oleh Efendi bahwa konsep kecerdasan itu tidak hanya bersangkut paut pada the result of paper and pencil tests (hasil tes dengan kertas dan pensil). Akan tetapi, terkait juga dengan pengetahuan tentang otak manusia dan kepekaannya terhadap ragam budaya (sensitivity to the diversity of human cultures).[16] Bagaimanapun, tes IQ hasilnya hanya berupa angka untuk memetakan kemampuan berpikir seseorang. Dengan kata lain, IQ bukanlah tes kinerja nyata, sehingga dimungkinkan antara prediksi hasil tes dengan pelaksanaan di lapangan akan berbeda. Misalkan anak yang ber-IQ tinggi belum tentu ia mempunyai kecerdasan emosional[17] dan kecerdasan spiritual[18] yang bagus dalam kehidupan.
Selain itu, selama ini yang dinamakan kecerdasan adalah hal-hal yang terkait dengan keseriusan, tidak boleh ada kesalahan, dan harus belajar dengan teks bukan konteks. Hal ini menurut Agus Efendi tidak benar, karena kecerdasan merupakan kemampuan untuk belajar dari pengalaman dan kemampuan beradapatasi dengan kebudayaan sekitar. Oleh karena itu, orang cerdas itu bukan berarti tidak boleh (tidak pernah) berbuat salah. Kenyataannya, orang cerdas adalah mereka yang pernah berbuat salah, akan tetapi mereka bisa belajar dari kesalahan dan tidak melakukan lagi.[19]
Sedangkan, apabila ditilik dari segi asal-asul terbentuk dan perkembangannya, tingkat kecerdasan itu tidak hanya ditentukan oleh pola genetik tapi juga faktor lingkungan. Sebagaimana menurut Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan bahwa:

Kecerdasan manusia terekam di dalam kode genetis dan seluruh sejarah evolusi kehidupan di bumi. Di samping itu, kecerdasan manusia juga dipengaruhi oleh pengalaman sehari-hari, kesehatan fisik dan mental, porsi latihan yang diterima, ragam hubungan yang dijalin, dan berbagai faktor lain. Ditinjau dari ilmu saraf, semua sifat kecerdasan itu bekerja melalui, atau dikendalikan oleh, otak berserta jaringan sarafnya yang tersebar di seluruh tubuh.[20]

Secara terperinci, menurut Thomas Armstrong, syarat khusus yang ditetapkan oleh Gardner agar sebuah kecerdasan bisa dimasukkan ke dalam teorinya, diantaranya:
1.    Setiap kecerdasan dapat dilambangkan;  misalnya lambang tulisan (huruf) pada kecerdasan linguistik, lambang angka pada kecerdasan matematis, lambang nada untuk kecerdasan musikal, dan lambang gerak-gerik atau mimik wajah sebagai lambang kinestetik.
2.    Setiap kecerdasan mempunyai riwayat perkembangan; kecerdasan itu dinamis (tidak menetap) dan setiap kecerdasan mempunyai pola perkembangan yang berbeda-beda.
3.    Setiap kecerdasan rawan terhadap cacat akibat kerusakan atau cedera pada wilayah otak tertentu. Menurut Gardner teori kecerdasan dapat berlaku bila didasarkan pada Biologi (struktur otak). Kecerdasan linguistik berfungsi dibelahan otak kiri, kecerdasan musikal, spasial, dan antarpribadi (interpersonal) cenderung pada belahan otak kanan. Kecerdasan kinestetik menyangkut korteks motor, ganglia basal, dan serebelum (otak kecil). Dengan kata lain, apabila ada kerusakan pada bagian otak tertentu bisa mempengaruhi pada berkurangnya tingkat kecerdasan pada bidang tertentu.
4.     Setiap kecerdasan mempunyai keadaan akhir berdasar nilai budaya; perilaku cerdas dapat dilihat dari prestasi tertinggi dalam peradaban, bukan dinilai dari hasil tes standar.[21]
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan, bahwa jenis kecerdasan itu tidak tunggal tapi beragam. Selain itu, kecerdasan cenderung berciri relatif. Artinya, makna atau bergunanya sebuah kecerdasan tergantung pada paradigma kecerdasan masyarakat tersebut. Misalnya, dalam suatu masyarakat seseorang yang cerdas dalam musikal bisa saja dianggap “bodoh” oleh masyarakat yang tidak menyukai musik. Selain itu perkembangan kecerdasan tidak hanya ditentukan oleh gen atau oleh lingkungan saja, akan tetapi oleh kedua-duanya. Dengan adanya paradigma baru kecerdasan ini maka semua posisi kecerdasan peserta didik adalah sama. Semuanya adalah manusia cerdas, cerdas dalam bidang masing-masing yang mereka kuasai.
Lebih detail untuk menggambarkan telah adanya paradigma baru kecerdasan, maka perlu penulis gambarkan tentang kecerdasan sebagai berikut:







 








Gambar 3.1: Identifikasi Paradigma Baru Kecerdasan
4.    Otak sebagai Kunci Utama Kecerdasan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa otak merupakan organ terpenting utama dan pertama bagi tatanan biologis suatu organisme. Baru setelah itu organ jantung dan paru-paru menempati urutan berikutnya.[22] Alasannya, otak telah menjadi pengontrol kinerja seluruh organ-organ tubuh. Baik organ yang bekerja secara tidak disadari seperti organ jantung, usus, lambung, paru-paru, dll. Maupun organ yang bekerja dengan sadar yaitu tangan, kaki, dan leher dll. Dengan demikian, manusia tanpa otak tidak memiliki arti apa-apa, karena seluruh organ dan pancaindra tidak akan berfungsi, dan inilah yang disebut dengan kematian (meninggal dunia).
Sebagai organ milik manusia, otak merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. –Hal ini tentu akan berbeda dengan otak hewan[23]--. Bahkan otak manusia jauh lebih kompkes (canggih) dari pada komputer manapun di dunia  ini. Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Zohar dan Marshall:

Otak bekerja dengan sistem pemikiran yang melintas. Artinya, otak tidak terdiri atas beberapa modul kecerdasan yang terpisah. Otak juga bukan sistem pemrosesan seri maupun sistem asosiatif yang terisolasi. Dua sistem ini berinteraksi dan saling menguatkan sehingga memberi manusia bentuk kecerdasan yang lebih tinggi daripada masing-masing kecerdasan tersebut jika berdiri sendiri. IQ dan EQ saling mendukung (sinergis).[24]

Bisa dikatakan bahwa keadaan otak memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan kecerdasan seseorang. Bahkan, sampai sekarang pun rahasia dari kekuatan otak belum terpecahkan secara ilmiah. Sebagaimana penjelasan Agus Efendi, tentang rahasia otak beserta kecerdasaannya sampai sekarang masih belum terungkap secara memuaskan, bahkan dirasa masih sangat jauh dari jalan terang. Meskipun secara ilmiah di dalam otak terbukti ada tiga jenis utama yaitu otak rasional, otak emosional, dan otak spiritual.[25] Selain itu ada beberapa teori tentang perkembangan kecerdasan otak. Salah satunya faktor-faktor yang turut mempengaruhi perkembangannya, yaitu:
1.    Genetika, terkait dengan bentuk (struktur) otak yang diturunkan dari gen orang tua
2.    Makanan sehat, perkembangan otak pada masa keemasan seorang anak bahkan di dalam kandungan ditentukan suplai gizi.
3.    Perawatan, diperlukan latihan dan lingkungan yang mendukung untuk menemukan dan mengembangkan berbagai kecerdasan yang mungkin dimiliki anak.
4.    Lingkungan, peran orang tua sangat vital (sebagai pendidik) dalam mendidik anak agar perkembangan kecerdasannya terjadi secara benar, serta bagaimana lingkungan di sekitarnya mendukung perkembangan tersebut.
5.    Mental, keadaan jiwa anak yang bahagia dengan yang murung dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan anak.[26]

Lebih lanjut, otak memiliki peranan penting dalam perkembangan kecerdasan setiap manusia. Otak merupakan organ yang menunjukkan “jati diri” seseorang. Oleh karena itu, dalam pembelajaran PAI pendidik dituntut memahami dan mempedulikan bagaimana peserta didik “bekerja” dengan otaknya. Pendidik mesti sadar bahwa kesulitan dan kegagalan pembelajaran senantiasa dicari bagaimana cara kerja otak masing-masing anak dalam memahami sesuatu. Dengan demikian, bila ditinjau dari konteks globalisasi, maka pendidikan Islam sudah waktunya menerapkan paradigma baru dalam pembelajaran yang didasarkan pada bagaimana cara otak bekerja.[27]
Akhirnya, dapat disimpulkan otak sangatlah luar biasa kemampuan dan kekuatannya dalam melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dari tinjauan biologis (bentuknya), otak dapat diwariskan secara turun-temurun (foktor genetis). Namun, bila diadakan pelatihan secara terus-menerus dan dengan cara yang tepat, maka “fungsi” otak dapat dioptimalkan sesuai dengan keinginan manusia. Dengan kata lain, intervensi lingkungan juga memiliki peran penting dalam perkembangan kecerdasan[28] manusia. Implikasi dari pernyataan tersebut, manusia bisa “menuhankan” otak, bahwa otak adalah segala-galanya untuk kehidupan ini. Bila ditinjau dari segi pendidikan Islam maka pernyataan tersebut tentu tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan[29] dan nilai Islam yang mengagungkan Allah SWT.

5.    Dasar Hukum Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Beragam
Dalam Undang-undang 1945 Amandemen Pasal 28C ayat 1 mengamanatkan“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”[30] Dari pernyataan tersebut dalam konteks pembahasan pada Bab ini, yang menjadi titik penting adalah pernyataan berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya  dan pernyataan demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Asumsinya, yang dimaksud kebutuhan dasar siswa tidak hanya pendidikan secara umum. Melainkan, juga kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan (penghargaan) dan juga pengembangan diri atas kecerdasan (kemampuan) yang sesuai dengan bidangnya. Diharapkan, dengan mengembangkan bidang kecerdasan yang dikuasainya, maka peserta didik tidak akan salah masuk ke dalam “tugas-tugas” kehidupan secara mendalam yang tidak sesuai dengan bidang kecerdasannya.





Dasar hukum lainnya adalah Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 1 nomer 1 bahwa yang dimaksud “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Selain itu, kata berkembangnya potensi peserta didik juga terdapat pada tujuan pendidikan nasional di Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan pasal 5 ayat 4 telah  menjelaskan “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.”[31] Dilanjutkan pada Pasal 12 ayat 1 poin b menyatakan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:... b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.” Serta pasal 36 ayat 3 poin c bahwa “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:... c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik...” Kemudian diakhiri dengan pasal 45 ayat 1 menyatakan “Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.”[32]

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara hukum pelaksanaan pembelajaran pendidikan berbasis kecerdasan beragam secara tidak langsung sudah diatur dalam undang-undang. Hal ini tentunya juga bisa menjadi dasar aturan bagi semua mata pelajaran maupun lembagai pendidikan yang ingin berinovasi melaksanakan pendidikan serta pembelajaran yang berbasis kecerdasan beragam. Oleh karena itu, siapapun tidak dibolehkan memaksa peserta didik untuk menekuni atau mendalami bidang kecerdasan tertentu yang tidak sesuai dengan bidang kemampuannya. Walaupun pada kenyataan dan pelaksanaannya ada beberapa kendala yang ditemui. Lebih detail mengenai hal ini akan penulis uraikan dalam pembahasan berikutnya.



Untuk Mengetahui Footnote silakan beli buku "Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner"

Frames of Mind The Theory of Multiple Intelligences (sumber gambar bangqohar)





Baca tulisan menarik lainnya: