Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

5 Cara Pandang Salah Kaprah Tentang Dunia Properti

Banjirembun.com - Waspada terhadap iming-iming alias "racun" yang berhembus terkait investasi properti. Hindari memiliki tanah kaveling, rumah, kios, ruko, kamar apartemen, hingga kos-kosan cuma demi meladeni (mengimbangi) gaya hidup orang lain. Supaya ikut dibilang keren lantaran telah punya aset properti. 


Bisnis di dunia properti bukanlah perkara mudah. Punya uang saja sehingga mampu beli properti secara lunas tak cukup menjamin memperoleh keuntungan berlipat-lipat. Bagaimanapun, gembar-gembor yang bikin ngiler tentang bisnis properti enggak melulu mesti diikuti. Sebab, sebagian hanyalah mitos.


Menggeluti dunia properti tak semudah yang dikira. Kalau ingin berniat beli aset properti disarankan niat untuk dipakai sendiri. Bukan disewakan apalagi demi gaya-gayaan. Memaksakan diri dapat berdampak pada kerugian finansial, kelelahan fisik, sampai tekanan mental.


Sebelum membeli tanah, rumah, apartemen, kios, ruko, atau jenis yang lainnya lebih baik pahami dulu mitos-mitos yang kerap disalahpahami sehingga muncul cara pandang salah kaprah dalam bidang properti:


1. Properti Dijamin Mendatangkan Untung Besar

Memiliki properti berarti sedang melakukan bisnis. Asumsinya, segala bentuk tanah dan bangunan yang dipakai sendiri (konsumtif) tanpa ada niat mendapatkan profit bukan disebut properti. Lebih lengkapnya silakan baca Definisi Properti, Bukan Tentang Rumah dan Tanah Saja.


Setiap bisnis, apapun bentuknya, pasti memiliki risiko. Setidak-tidaknya "kerugiannya" berupa keuntungan yang didapat sedikit. Hasilnya tak sebanding dengan waktu, tenaga, jiwa, dan pikiran yang dikerahkan. Lebih parah lagi tak laku dijual/disewakan padahal harga sudah diturunkan di bawah pasar. Belum lagi penipu yang banyak berkeliaran.


Misalnya, memiliki rumah seharga 1,5 miliar setelah 5 tahun terjual 1,65 miliar. Selisih angka 150 juta tersebut sangat kecil ketika niat punya rumah ingin bisnis. Paling tidak, dengan harga pembelian tersebut keuntungan yang didapat idealnya 400-an juta. Buat apa menunggu 5 tahun kalau hanya dapat 150 juta dari 1,5 miliar.


Kenyataan lain yang patut diketahui yaitu bahwa aset properti aktif (selain kaveling) wajib mampu membiayai dirinya sendiri serta menghidupi pemiliknya. Kalau rumah atau apartemen yang dimiliki tidak laku disewakan atau harga sewa murah, risiko berkurangnya laba di depan mata. Alih-alih membiayai hidup pemilik, justru terjadi tekor.


Properti yang menganggur tanpa memberikan nilai tambah bagi pemilik mengakibatkan kerugian. Tiap tahun dituntut mengeluarkan biaya untuk pajak, perawatan, atau malah disertai tanggungan bunga kredit. Oleh sebab itu, sebelum beli properti alangkah bijak bukan fokus pada harga beli. Melainkan pula tantangan dan hambatannya.


2. Harga Properti Aktif Tak Bisa Turun

Properti pasif contohnya tanah kaveling ukuran kecil yang tak laku disewakan maupun tak layak dimanfaatkan sendiri untuk kegiatan bisnis. Di mana, pemilik properti ini mengambil keuntungan dengan langkah satu-satunya  melalui menjual kaveling yang harganya jauh lebih tinggi dari saat waktu membeli. Tentu perlu menunggu waktu yang lama.


Biasanya, harga beli kaveling sudah mahal yaitu antara 1 hingga 2 jutaan permeter. Tergantung lokasi serta dimensi atau spesifikasi kaveling maupun bentuk kawasan perkavelingan. Sungguh sangat sulit ketika satu tahun ke depan menjual kembali kaveling dengan selisih harga 200-an ribu permeter. Apalagi saat harga kaveling di sekitaran masih di bawah itu.


Adapun properti aktif adalah aset berupa bangunan yang mampu mendatangkan keuntungan rutin tiap bulan. Baik dengan cara disewakan maupun digunakan sendiri untuk berwirausaha. Misalnya rumah, kamar apartemen, indekos, ruko, kios, dan lain-lain. Niat memiliki memang benar-benar ingin mengeksploitasinya.


Umumnya properti aktif yang dibeli kondisinya baru (bukan bekas). Tentunya harga belinya sangat tinggi. Hendak dijual kembali dengan patokan lebih tinggi sangat sulit. Terlebih selisih yang diinginkan besar serta berharap waktu penjualan tak lama setelah waktu beli (kulakan). 


Padahal, agar mendapatkan keuntungan penjualan yang gede dari properti aktif yang dimiliki diperlukan waktu lima hingga puluhan tahun. Oleh sebab itu, jangan tergiur iklan properti yang bikin ngiler untuk membelinya. Ingat selalu, menjual aset properti tak semudah saat membelinya.


Baca juga: Alasan Rasional Kenapa Tak Boleh Tergiur dengan Iklan Penjualan Rumah dan Tanah


Nahasnya, meski stok properti di masyarakat membludak nyatanya developer maupun perorangan tidak menghentikan pembangunan aset baru di lokasi lain. Artinya, walau ketersediaan unit properti melimpah ruah melampaui kebutuhan pasar tapi pertumbuhan jumlah properti tidak berhenti.


Sekarang ini, banyak sekali perusahaan pengembang perumahan berdiri. Hal tersebut selaras dengan bertambah banyaknya unit rumah, apartemen, kios, sampai ruko yang ditawarkan mereka. Mulai dari perumahan kelas subsidi, menengah, cluster, hingga mewah. Seluruhnya menggerus pasar jual-beli properti.


Para pencari rumah maupun investor properti semakin mudah memilih serta menemukan aset properti yang diinginkan. Itulah yang mengakibatkan rumah bekas (second) mengalami penurunan tajam dibandingkan ketika waktu beli ke developer. Kalau begini, mending jadi makelar atau broker properti saja.


3. Mudah Menyewakan Rumah, Kos-kosan, dan Unit Apartemen

Mempunyai properti bertujuan ingin disewakan berkonsekuensi terhadap strategi memilih lokasi serta pemasaran sewanya. Dalam kenyataannya, banyak properti aktif yang berlokasi di titik sama yang disebut kawasan "jenuh". Yakni, kebutuhan konsumen menyewa properti lebih sedikit ketimbang ketersediaan unit.

Rumah untuk disewakan

Penyebab layu dan redupnya bisnis sewa properti ialah terjadi fenomena baru yang di luar dugaan. Contohnya jalan semakin macet, pengalihan arus yang permanen, jalan tol baru, pembangunan rumah susun, berdirinya gedung apartemen baru, pabrik pindah, perguruan tinggi pindah, dan alasan lainnya.


Intinya, semakin melesu atau tak bergairahnya bisnis persewaan properti disebabkan oleh makin sedikitnya pendatang baru yang menggantikan pendatang lama yang pulang kampung. Diperparah lagi dengan banyak berpindahnya penduduk sekitar ke lokasi baru yang lebih murah biaya hidupnya serta lebih menjanjikan bagi masa depan. 


Selain risiko di atas, para penyewa properti juga masih dihadapkan pada ancaman memiliki konsumen yang buruk karakternya. Sebut saja seperti merusak perabot tanpa bertanggung jawab, berbuat amoral, berzina, berjudi, gaduh, mabuk, serta pelanggaran pidana maupun norma-norma lain yang bikin tak nyaman. Barangkali tak rugi finansial tapi tentu bikin jengkel.


4. Beli Properti Harus Melalui KPR

Kredit Pemilikan Rumah (KPR) memanglah punya kelebihan tersendiri. Akan tetapi nilai negatif darinya juga jangan disepelekan. Ambil sebuah kasus, telah terlanjur KPR untuk beli rumah atau apartemen ternyata justru bikin pusing. Tergopoh-gopoh mencari duit demi membayar kredit.


Maksud hati ingin "memerah" penyewa properti sebagai sumber uang untuk mencicil utang beserta bunga. Jadi, ibaratnya konsumen yang diberi beban membayar tanggungan KPR. Akan tetapi yang ada malah unit properti yang disewakan tak laku. Mau menurunkan harga berakibat pada setoran biaya KPR berkurang.


Baca juga: 5 Risiko Transaksi Beli Rumah Melalui KPR


Teorinya, belilah properti di lokasi benar dengan segmentasi penyewa yang tepat. Sayangnya, kadang harapan tak sesuai realita. Kepalang basah melakukan KPR properti untuk bisnis (bukan konsumtif) yang terjadi aset tersebut tak menghasilkan. Padahal, sebelum membeli sudah dilakukan riset dan perhitungan matang.


Investasi properti yang "aman" cuma berlaku bagi orang berduit dan pemodal besar. Mereka kerap beli secara kontan. Sedangkan, bagi yang bisnis properti melalui metode berhutang risikonya jauh amat besar. Masih memerlukan perjuangan jauh lebih keras untuk memperoleh penghasilan darinya. Apalagi, gagal bayar kredit berisiko kehilangan aset properti.


5. Punya Properti Bisa Tidur Nyenyak

Investasi properti merupakan bisnis menjanjikan. Penghasilan dari passive income sangat besar. Dengan tidur saja sudah memiliki pendapatan rutin tiap bulan. Semua kata-kata itu hembusan angin surga yang dikeluarkan dari mulut pedagang atau penjual properti. Tujuannya agar barang dagangannya laku dibeli.


Jangan bekerja untuk properti tapi biarkan properti bekerja untuk pemiliknya. Sebuah pernyataan lain yang tak kalah "bodoh" dan menyesatkan. Kembali lagi ditekankan bahwa bila ingin untung di dunia properti, apalagi dengan angka besar serta cepat, perlu kerja cerdas dan keras. Suatu kecerobohan ketika aset properti tak dikelola serius.


Faktanya, memiliki tanah kavling pun juga butuh menyisihkan dana untuk pengeluaran rutin tersendiri. Paling tidak membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) dan perawatan rutin seperti membersihkan rumput. Terlihat ringan tetapi butuh perhatian. Jika dilupakan maka berakibat diserobot atau disalahgunakan orang lain.


Mempunyai properti tidak serta merta begitu saja tidur nyenyak lalu tiba-tiba "digebuk" uang. Bahkan, terkadang butuh pekerjaan lain guna menutupi anggaran belanja harian rumah tangga. Sungguh mimpi siang bolong mengharapkan penghasilan besar dari properti ketika hanya dengan bersantai-santai.


Aset properti justru memberikan tanggung jawab dan pekerjaan tersendiri. Utamanya bagi seseorang yang mengharapkan pendapatan duit "bulanan" dari kepemilikan properti. Apapun dalihnya menjadi investor properti aktif lebih berat bebannya (mungkin juga risikonya) daripada investasi emas, saham di perusahaan mapan, deposito, maupun Surat Utang Negara (SUN).






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "5 Cara Pandang Salah Kaprah Tentang Dunia Properti"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*