Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

3 Kerugian Investasi di Perumahan Raksasa Berkonsep Kawasan Kota Mandiri

Banjirembun.com - Nama besar dan kepopuleran perusahaan developer barangkali mampu menjamin konsumen terhindar dari tindak penipuan. Termasuk oleh pengembang yang tengah menjalankan proyek di perumahan berkonsep kawasan kota mandiri. Dengan kata lain, pembeli tak perlu gusar dan ragu bertransaksi dengan mereka. Peluang adanya masalah dari awal akad jual-beli hingga serah terima kunci hampir 0%.


Kalaupun ada kendala mungkin saja berasal dari pembeli sendiri yang teledor dan menggampangkan. Itupun mayoritas permasalahan, terlebih yang menyangkut ketidaksesuaian perjanjian jual-beli, pasti developer bertanggung jawab. Intinya, pembeli enggak perlu was-was dicurangi maupun mendapatkan perlakuan tak profesional lainnya. Pelayanan dan fasilitas yang diberikan sangat prima.


Meskipun seperti itu, manusia tetaplah insan tempatnya salah. Mulanya, sanggup dijadikan tambatan hati serta diandalkan. Lambat laun disebabkan beberapa permasalahan yang bertubi-tubi menghantam berujung pada goncangan keuangan. Seberapa besar dan superiornya perusahaan properti kalau bangkrut, bakal merugikan konsumen. Utamanya yang terakhir (baru saja beli).


Yang namanya perumahan raksasa, jumlah rumahnya di satu titik lokasi saja terdapat ribuan sampai puluhan ribu unit. Di mana, luas lahannya di kisaran 100-250 hektar. Malah ada yang lebih lebar dari itu. Di dalamnya ada ruko, sekolah, taman, tempat ibadah, danau buatan, lapangan olahraga raga, fitnes center, dan lain-lain. Wajarlah tatkala disebut kawasan kota mandiri. Sebab, penghuni tak perlu keluar perumahan untuk memenuhi kebutuhan jiwa dan raga.


Itulah yang membuat orang-orang berduit berduyun-duyun membeli aset properti di sana. Salah satunya, lantaran faktor kepercayaan pada developer. Mereka teramat manja tak mau dipusingkan melakukan riset atau meneliti terlebih dulu sebelum beli rumah. Begitu saja percaya pada nama merk developer yang terkenal, sehingga langsung beli tanpa banyak pertimbangan. Ibaratnya seperti beli kacang goreng.


Sayangnya, berbagai jaminan di atas tidak berlaku terhadap potensi keuntungan investasi di sana. Artinya, developer tak akan mau serta takut menggaransi harga jual dalam waktu 2-5 tahun meroket. Alasannya, pihak developer sendiri tidak mampu menjamin pada bisnis mereka sendiri akan sanggup menjual ribuan rumah sesuai target. Apalagi masih banyak unit rumah maupun lahan siap bangun yang tak segera laku.


Setelah membaca penjelasan di atas, amat layak untuk mempertimbangkan matang-matang dulu sebelum beli rumah di sana dengan tujuan investasi. Bukan dimaksudkan ditinggali atau dipakai sendiri. Sejumlah kekurangan investasi di perumahan kota mandiri yang dipaparkan di bawah sudah cukup jadi alasan sebaiknya tunda dulu membeli:


1. Persaingan Sesama Investor Sengit

Target utama dan boleh jadi satu-satunya melakukan investasi properti yaitu ingin memperoleh keuntungan finansial sebesar-besarnya. Entah caranya melalui metode cash flow, capital gain, atau flipping. Lebih lengkap terkait 3 strategi investasi properti tersebut buka atau copy-paste ke kotak browser tautan ini https://www.banjirembun.com/2022/08/3-cara-meraih-keuntungan-besar-dari.html.


Harga rendah sebuah rumah sekitar 200-an juta yang jauh berada di pinggiran kota "kecil" merupakan dambaan investor kelas menengah. Mereka mengira dengan membeli aset properti di kawasan kota mandiri ukuran super luas sangat menjanjikan di masa depan. Nahasnya, banyak investor pemula yang bingung menanam modal di mana. Lantas, sekonyong-konyong ikut berspekulasi dengan beli rumah.


Risiko fatal tentu bakal disesali. Namanya perumahan baru. Kehidupan sosial belum mapan dan penataan tata ruang perumahan juga belum matang (masih rancangan berupa gambar). Alhasil, banyak rumah yang sepi tanpa penghuni karena investor enggan menempati sendiri. Hendak disewakan pun sulit laku. Akhirnya banyak blok, gang, dan area lain perumahan di sana mangkrak layaknya kota mati.


Hal yang sama juga berlaku di gedung apartemen. Terbukti, selama pandemi banyak lantai yang kosong bagaikan bangunan berhantu. Penyebabnya, para penyewa unit ruang apartemen kebanyakan meninggalkan. Belum lagi ditambahi semakin menjamur gedung apartemen baru yang berdiri. Menawarkan penjualan unit kamar apartemen yang lebih murah. Persaingan tak seimbang pun terjadi. Tentu harga jual apartemen second menurun terjun bebas.


Belum lagi, saat memiliki rumah di perumahan terdapat Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL). Tanggungan dan beban tersebut wajib dibayar tiap bulan atau terkadang tiap tahun. Biaya itu dipakai perawatan, kebersihan, hingga keamanan lingkungan. Diperparah lagi pengeluaran lain untuk memastikan rumah tetap tampil bagus. Dengan demikian, punya rumah bukan mendapatkan pemasukan justru "merugikan".

Ilustrasi perumahan berkonsep kawasan kota mandiri yang berharga murah (sumber gambar)

2. Bersaing Dengan Developer

Perumahan berbentuk kawasan kota mandiri (berharga 500 juta ke bawah) umumnya berada di lahan terbuka yang jauh dari pemukiman penduduk lokal. Di sekelilingnya masih banyak tanah kosong, baik yang sudah dikuasai developer maupun belum, yang dapat diprospek untuk perluasan perumahan. Potensi pengembangan dan pertumbuhannya masih leluasa.


Mirisnya, ternyata amat banyak unit yang belum terjual. Baik itu berupa rumah jadi (ready stock), ruko, kios, maupun kaveling milik developer yang siap dibangun. Dampaknya, berhubung banyak tanah petak yang tiada apa-apa selain tumbuhan liar, membuat pemandangan tampak terbengkalai. Di mana, lahan nganggur itu tidak hanya dimiliki developer tapi juga investor sultan yang mampu bayar mahal demi punya kaveling.


Bisa dibilang investor properti yang tanam duit di sana yang pakai strategi borong rumah maupun retail (eceran), tidak hanya bersaing dengan sesama investor kelas "teri" maupun kakap. Melainkan bersaing pula dengan developer yang juga tetap mengincar konsumen lain. Apalagi, faktanya para investor itu belinya minimal 2 unit rumah. Baik bergandengan (mepet bersebelahan) ataupun pisah-pisah di blok lain.


Tatkala dipikir-pikir tentu calon pembeli lebih tertarik pada rumah baru milik pengembang perumahan ketimbang yang seken (bekas) punya investor. Bagi investor besar, fakta tersebut bukan ancaman. Sebab, mereka sudah mengantisipasi. Siap menerima tantangan ketika harga jual rumah tak kunjung naik drastis maupun sulit laku. Mereka mempunyai cadangan dana besar yang bisa dicairkan sewaktu-waktu.


Saat dihitung ulang, diperkirakan butuh waktu minimal 5 tahun agar kembali modal. Dalam artian, investor belum mendapatkan laba dari penjualan lantaran harga jual sama di waktu beli. Jika disertai perhitungan untuk biaya rutin (perawatan, pajak, IPL, dan sebagainya) maupun tergerus oleh inflasi maka boleh dibilang malah rugi. Inilah bukti bahwa investasi properti sangat sulit dan butuh uang "longgar".


Baca juga: 3 Penyebab Kenaikan Harga Aset Properti yang Baru Dibeli Pertahunnya Hanya Receh


3. Sulit Disewakan atau Dikontrakkan

Selain meraih selisih gede antara angka harga jual dengan di kala beli, menyewakan atau mengontrakan aset properti yang tarifnya selangit juga merupakan impian investor. Namun, sungguh keapesan terjadi. Pemicunya lantaran minat masyarakat yang minim berbondong-bondong menuju ke sana. Nah bagaimanapun dalihnya, area sepi bukanlah tempat yang cocok berinvestasi.


Dalam praktik bisnis legal apapun jenisnya, teramat diperlukan adanya keramaian. Suasana semarak dan aktivitas banyak manusia membikin aura terasa hidup. Asumsinya, prinsip yang menyatakan tentang semua pusat kegiatan publik mampu menciptakan geliat perekonomian memang benar adanya. Termasuk salah satunya bisnis persewaan properti. 


Alasan rumah atau ruko di perumahan besar yang mengusung tema kawasan kota mandiri sulit disewakan atau dikontrakkan karena letaknya jauh dari "peradaban". Mau ke pusat kota harus menghadapi kemacetan dulu. Lebih-lebih menuju kota besar, masih sangat jauh menuju gerbang tol. Begitu juga, hendak naik KRL (Kereta Rel Listrik) terancam berdesak-desakan. Kalau tidak begitu, berangkat subuh pagi buta.


Padahal, tulang punggung perumahan di pinggiran kota terletak pada transportasi. Apabila transportasinya murah serta tak bikin capek, semisal jalur tol tak panjang dan rute rel kereta tak jauh, maka menguntungkan bagi pekerja harian. Sebaliknya, kalau lintasan transportasi yang ditempuh menyusahkan meski harga sewa rumah murah bakal sulit laku tersewa.


Melihat kondisi  di atas, calon konsumen yang layak dibidik dan direkomendasikan sebagai penyewa rumah adalah para wirausahawan, freelance (pekerja lepas alias serabutan), pekerja memperoleh penghasilan dari dunia maya/digital, sampai anaknya orang tajir yang ingin belajar hidup mandiri. Hal tersebut, nyatanya orang "mampu" atau "berada" yang berprofesi disebutkan tadi jumlahnya kecil.






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "3 Kerugian Investasi di Perumahan Raksasa Berkonsep Kawasan Kota Mandiri"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*