Aku Tangkap Kodenya, tapi Aku Enggak Gampang Goyah (Versi Kopi Tubruk Tanpa Gula)
Tapi kemarin, aku kelupaan bilang “tanpa gula”. Mungkin gara-gara otakku sempat ke-distract lihat chindo sempurna di jalan. Alhasil, kopi datang dengan bonus 3 sachet gula.
Nah, di situ letak perjuangan batin: aku enggak sentuh sama sekali. Enggak aku buka, enggak aku bawa pulang. Aku tinggal di meja, seolah-olah bilang ke seluruh kafe:
“Lihatlah, aku lelaki tegas yang enggak butuh pemanis buatan.”
Kalau orang lain notice? Bagus. Kalau enggak? Ya minimal mejanya bersih dari tumpukan gula.
Dan di sinilah masuk ke topik utamanya. Ada pegawai yang kasih tatapan anggun—bukan needy, bukan norak, tapi classy. Aku tangkap kodenya, iya. Tapi aku enggak gampang goyah.
Soalnya, kalau setiap senyum pegawai kafe kuanggap sinyal cinta, bisa-bisa aku nanti salah tafsir:
-
“Mbak kasir nyebut total harga sambil senyum? Wah, jodoh nih.”
-
“Barista nyodorin kopi pakai dua tangan? Wah, kode nikah nih.”
-
“Pegawai nanya mau sedotan atau enggak? Wah, kode komitmen nih.”
Padahal, ya bisa jadi SOP pelayanan aja.
Makanya, untuk urusan tatapan anggun ini, sikapku sederhana:
-
Tangkap kodenya → iya.
-
Goyah? → enggak.
-
Fokus tetap di kopi tubruk tanpa gula.
Karena kalau kopi aja bisa nikmat tanpa pemanis, kenapa hidup harus buru-buru ditaburi drama yang belum jelas arahnya?
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Aku Tangkap Kodenya, tapi Aku Enggak Gampang Goyah (Versi Kopi Tubruk Tanpa Gula)"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*