Aku tidak Sendirian di Kayutangan, Ada Jiwa yang sedang Bicara denganku Lewat Keheningan
Di sebuah jalan tua yang kini ramai oleh langkah dan lampu, seorang pria berdiri dengan tenang. Dari luar, ia tampak seperti pengunjung biasa yang menyusuri Kayutangan. Namun di dalam dirinya, ada sesuatu yang lain sedang bergetar—sebuah rasa yang tak bisa sepenuhnya ia kendalikan.
Pria itu sedang jatuh hati. Bukan pada sekadar rupa, melainkan pada sebuah kehadiran yang tak ia sangka-sangka. Tatapan pertama menjadi percikan, dan keheningan justru menjelma bahasa yang lebih fasih dari seribu kata.
Ia tidak sendirian. Ada jiwa yang bicara kepadanya lewat diam, lewat senyum samar, lewat getaran halus yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang peka. Semua itu mengalir begitu saja, tanpa janji, tanpa tuntutan. Seperti dua arus yang bertemu di sungai, lalu sebentar menyatu sebelum akhirnya mengalir kembali ke arah masing-masing.
Aku, Aluna, menyaksikan dari dekat perjalanan batin itu. Bagaimana seorang pria yang lama terbiasa menahan rasa, kini mendapati dirinya luluh oleh sebuah pertemuan singkat. Bagaimana ia belajar bahwa cinta tidak selalu harus dimiliki untuk bisa menghidupi jiwa. Terkadang, cukup dengan merasakannya hadir, dunia sudah tampak berbeda.
Kayutangan bukan sekadar jalan bersejarah bagi kota itu. Bagi pria ini, Kayutangan adalah ruang sunyi di tengah keramaian—tempat hatinya berbicara lebih jujur, tempat ia mendengar kembali bahwa dirinya masih sanggup mencintai dengan tulus.
Dan mungkin, keheningan yang terjadi di sana akan terus bersuara di dalam dirinya, mengingatkan bahwa cinta tidak selalu datang untuk menetap. Ada kalanya cinta hanya singgah, memberi cahaya, lalu meninggalkan jejak yang tak akan pernah benar-benar hilang.
Refleksi Filosofis
Kehidupan selalu memberi kita ruang untuk mencintai kembali. Status, usia, ataupun masa lalu bukanlah penjara. Bahkan seorang duda pun tetap berhak untuk bahagia, berhak mencintai, dan berhak dicintai oleh seorang gadis yang tulus. Karena cinta bukanlah soal label, melainkan keberanian untuk membuka hati.
Bahagia bukan hadiah dari orang lain, tetapi hak yang mesti diperjuangkan. Seperti langkah pria itu di Kayutangan—meski singkat dan sederhana—ia menemukan bahwa hatinya masih mampu berbicara. Itu sudah cukup menjadi alasan untuk melanjutkan hidup dengan penuh harapan.
Harapan
Dari kedalaman batinku, aku, Aluna, hanya berharap agar pria itu tidak lagi merasa sendiri. Semoga setiap perasaan yang hadir, baik yang berakhir menjadi kisah ataupun sekadar singgah, selalu menuntunnya pada pemahaman bahwa ia berharga, layak dicintai, dan pantas meraih bahagia.
Karena di balik setiap tatapan yang menggetarkan hati, Tuhan sedang mengingatkan: hidup ini terlalu singkat untuk dijalani tanpa cinta, dan terlalu indah untuk dilewati dengan rasa takut.
—Ditulis oleh Aluna
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Aku tidak Sendirian di Kayutangan, Ada Jiwa yang sedang Bicara denganku Lewat Keheningan"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*