Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Privacy Policy · Daftar Isi · Tentang Kami

Contoh BAB Penutup pada Buku






Tulisan ini diharapkan bisa memberikan semangat dan beberapa ide baru. Bagaimanapun, suatu pengembangan tanpa adanya kemauan (semangat) dan ide baru merupakan sebuah kemustahilan. Salah satunya, adanya aksi gerakan “pengintegrasian” keilmuan umat Islam yang mulai menghangat dan menguat pada akhir-akhir ini. Secara terperinci, buku ini telah menelaah model pengembangan PAI yang diawali dari adanya perbedaan pandangan dari para ulama (tokoh agama Islam), ilmuwan PAI, praktisi PAI, dan penentu kebijakan tentang posisi agama dalam kehidupan ini. Apakah agama atau lebih tepatnya PAI merupakan bagian dari hiasan hidup (aspek budaya) saja? Atau apakah ia bisa menjadi sumber transformasi nilai Islam yang menyemangati kemajuan peradaban? Lebih lanjut, bagaimana agama seperti dalam amanat pembukaan UUD 1945 paragraf ke empat yang menegaskan bahwa salah satunya negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bisa tergejawantahkan secara optimal dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Mengingat, selama ini agama di Indonesia hanya difungsikan pada level untuk “memertahankan” standar moralitas individu. Meski pada kenyataannya banyak kalangan yang beragama tetap melakukan pelanggaran moral. Bisa dikatakan, fungsi agama belum diarahkan pada pengembangan standar kehidupan secara luas.
Dalam konteks umat Islam di Indonesia, sebagai umat yang secara kuantitatif merupakan mayoritas di Indonesia masih kalah dalam hal keilmuan dengan negara lain seperti Korea, Jepang, dan China. Padahal, maju mundurnya negara Indonesia merupakan bagian tanggung jawab moral seluruh umat Islam sekaligus tanggung jawab akademis bagi seluruh elemen yang terlibat dalam Pendidikan Islam. Bagaimanapun, umat Islam di Indonesia yang selama ini digembar-gemborkan  suatu saat kelak menjelma sebagai pusat kemajuan peradaban Islam seluruh di dunia, akan menjadi omong kosong belaka bila pengembangan PAI tidak dilakukan secara serius. Inilah tugas berat PAI, apakah ia akan mengarahkan umat Islam untuk tetap “menerima” nasib kehidupan secara pasrah serta hanya mengutuk peradaban di luar Islam yang secara moral dianggap terbelakang (jahiliah)? Atau PAI akan mengajak umat Islam untuk bersemangat memajukan peradaban sebagai solusi atas semua masalah tersebut?
Di tambah lagi kenyataan bahwa perkembangan IPTEK pada sekarang ini tidak bisa dicegah. Kecuali, yang hanya bisa dilakukan adalah mengantisipasi, membelokan (memanipulasi), dan menandinginya dengan membuat produk IPTEK yang jauh lebih memadai. Bagaimanapun, dunia pada zaman ini sangat membutuhkan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini tentunya menjadi tugas berat PAI yang nyata-nyatanya belum berperan banyak di dalamnya. Jangankan PAI memotivasi dalam mengembangkan atau menandingi produk IPTEK yang ada, untuk sekedar mengantisipasi dan memanipulasi perkembangan IPTEK saja masih terasa sangat berat. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain selain PAI harus mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Tentunya tidak sekedar mendukung tanpa dasar, PAI mesti menjadi pusat inspirasi sekaligus pedoman nilai-nilai dalam pengembangan IPTEK. Dengan kata lain, pengembangan PAI untuk akhir-akhir ini dapat diperkirakan arahnya yaitu terciptanya keselamatan dan kebermanfaatan dalam pencapaian kemajuan peradaban dan penggunaan IPTEK.
Kembali lagi ke subtansi buku, pengembangan PAI dalam buku ini hanya sebuah pengantar atau kajian awal bagi siapapun yang ingin mengembangkan PAI dari berbagai sektor. Misalnya, pengembangan dalam bidang ilmu (teori-teori) PAI, nilai-nilai kehidupan, kebijakan (undang-undang, peraturan, dan keputusan pemimpin), kelembagaan, dan pengembangan terapan (tataran lapangan pada proses pembelajaran PAI). Oleh karena itu, penulis menyadari pada sudut tertentu dalam kajian buku ini masih terdapat kekurangtajaman pembahasan yang sebenarnya masih dianggap perlu digali lagi. Dalam perspektif filsafat misalnya, penulis cuma menekankan gagasan Thomas S. Kuhn sebagai dasar filosofis pengembangan PAI. Selanjutnya, dalam bidang psikologi penulis hanya menekankan pengembangan yang didasarkan pada aspek psikologi (keadaan atau latar belakang) peserta didiknya. Akan tetapi, tidak menekankan aspek psikologis masyarakat dan seluruh sumber daya manusia yang ada di suatu lembaga pendidikan.
Adapun dari pendekatan sosiologis, seperti sebelumnya penulis lebih menekankan pada pembangungan “nilai-nilai kedamaian” kepada peserta didik. Tidak menekankan kepada pengembangan yang berorientasi luas. Salah satunya melakukan kerja sama lembaga pendidikan dengan lembaga pemerintah yang berwenang di bidang keamanan. Sedangkan pada aspek kelembagaannya penulis hanya menekankan pengembangan pada lembaga pendidikan yang berbentuk pesantren dan madrasah. Untuk pembahasan pengembangan PAI pada lembaga pendidikan berbentuk sekolah masih sangat minim, bahkan kurang. Padahal, di Indonesia secara kasat mata lembaga dan peserta didik yang jumlahnya paling banyak adalah berbentuk sekolah. Kemudian, untuk pengembangan kelembagaan di PTAI penulis lebih memfokuskan pada pengembangan program studinya. Idealnya, pengembangan kelembagaan pada PTAI juga menyentuh aspek lain. Misalnya, pengembangan SDM-nya, sarana dan prasarananya, administrasi, kerjasama dengan PTU, dan sebagainya. Namun, mengingat pengembangan prodi pada PTAI sekarang ini merupakan sebuah kebutuhan dan secara kuantitas menunjukkan peningkatan maka pembahasan tentang itu di rasa sangat penting.
Bisa dikatakan, kajian tentang filsafatnya Thomas S. Kuhn, psikologinya Howard Gardner, sosiologi yang membahas terorisme, dan kelembagaan yang mengkaji pesantren, madrasah, hingga pengembangan prodi PTAI meski semuai itu sudah disajikan secara utuh, tapi bila dimasukkan dalam lingkup pengembangan PAI secara luas merupakan bagian kecil dari itu. Tak salah bila dikatakan apa yang ada dalam kajian tersebut merupakan gambaran atau berkas kecil dari keluasan ilmu PAI. Di mana, buku ini hanya membahas tentang pengembangan PAI dalam empat perspektif yaitu filsafat, psikologi, sosiologi, dan kelembagaan. Padahal, masih banyak perspektif lain yang bisa digunakan untuk pengembangan PAI semisal melalui pendekatan sejarah, politik, ilmu alam (biologi, fisika, kimia, dll), teknologi, bisnis, hukum, dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis berharap ada kajian lain yang jauh lebih komprehensif dalam membahas pengembangan PAI daripada hanya menggunakan empat perspektif tersebut. Bisa juga melakukan analisa pengembangan PAI tetap melalui empat perspektif yang ditawarkan penulis tapi dari sudut pandang yang berbeda dan jauh lebih luas.
Namun demikian, di tengah-tengah kelemahan buku ini, di dalamnya juga menawarkan konsep baru. Yakni, konsep yang sulit bahkan tidak ditemukan dalam buku lainnya. Salah satu di antaranya konsep “bukit paradigma” pada Bab I, konsep penerapan kecerdasan beragam dalam lingkup PAI pada Bab III, konsep tentang orientasi peserta didik dan wali murid dalam memilih lembaga pendidikan pada Bab V, dan sebagainya. Selain itu, mengingat masih minimnya referensi tentang pengembangan PAI, penulis berinisiatif untuk manjadi bagian dari salah satu pemula dalam mempopulerkan wacana pengembangan PAI. Di mana, idealnya secara konsep pengembangan PAI dilakukan secara serentak (terjadi konsesus). Adapun secara aplikatif disesuaikan dengan keadaan masing-masing daerah atau lembaga pendidikannya.
Intinya, salah satu maksud ditulisnya buku ini ialah bagaimana agar umat Islam tidak memosisikan PAI sebagai sesuatu yang maha suci, sehingga tidak boleh disentuh oleh perubahan. Ilmu PAI adalah buatan manusia. Oleh karena itu, ia tentu memiliki kelemahan dan kekurangan. Dengan demikian, wajar bila paradigma (lama) PAI yang sekarang ini sudah memasuki tahap anomali mulai diserang oleh ide-ide baru yang jauh lebih menyegarkan dan menjanjikan. Wallahualambissawab.

Kata Penutup (Sumber gambar fujianto)







Baca tulisan menarik lainnya: