Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam dalam Wawasan Psikologi


Psychology (Sumber gambar altundo)

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM WAWASAN PSIKOLOGI

Oleh: A. Rifqi Amin



BAB I

Pendahuluan

1.    Latar Belakang Masalah
Kajian Psikologi merupakan kebutuhan yang sangat penting pada zaman sekarang ini. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan bertambahnya jumlah manusia di bumi ini menyebabkan manusia dalam keadaan tertekan. Pasalnya, kehidupan ini pada akhirnya dihadapkan pada sebuah “persaingan” antar manusia. Alhasil, jiwa serta tingkah laku manusia rentan mengalami perubahan drastis. Bahkan bila tidak bisa dikontrol[1] bisa menjurus pada hal-hal yang diluar batas “etika” umum kemanusiaan, bahkan etika agama. Misalnya, adanya pelaku kekerasan dan terorisme atas nama agama, adanya kepala sekolah melakukan korupsi anggaran pendidikan, kepala sekolah melakukan selingkuh, guru berpacaran dengan muridnya, maraknya guru melemahkan (menyingkirkan) rekannya dalam satu lembaga demi uang sertifikasi, siswa tidak menghargai guru, maraknya guru mengajari “kecurangan” pada muridnya, guru yang pilih kasih terhadap muridnya sehingga ada yang terasingkan, pelaksanaan pembelajaran hanya ditujukan sebatas simbolisasi atau untuk memenuhi standar kelayakan, dan berbagai masalah perilaku menyimpang lainnya yang disebabkan oleh kegagalan pendidikan, termasuk PAI.
Dalam kasus “etika sakit”[2] tersebut, para pelakunya sering kali “bersembunyi” dibalik simbol keagamaan, menjadi penceramah atau guru agama, beraktifitas di lingkaran institusi keagamaan, aktif mengerjakan ibadah, dan mengenakan simbol-simbol agama. Namun, di sisi lain perilakunya bertentangan dengan apa yang ia tunjukkan di masyarakat umum. Dalam kajian psikologi, perilaku yang menyimpang tersebut merupakan ekspresi “kejiwaan” yang agresif. Artinya, potensi agresifitas yang dimilik tidak digunakan untuk hal positif. Oleh karena itu, guna memecahkan masalah tersebut, tentu terlebih dahulu harus diketahui dulu asal usul (sebab) mengapa manusia “mau” berbuat demikian. Dalam kaitan ini, kajian psikologi bisa memberikan sumbangan untuk mengetahui mengapa seseorang berbuat demikian. Serta memberikan sumbangan keilmuan bagi dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Islam dalam memecahkan masalah tersebut.
Lebih rinci, bagaimana kedepannya Pendidikan Agama Islam bisa menghasilkan generasi Islam yang tidak lagi terjangkit penyakit etika tersebut. Atas dasar itu, maka dipandang perlu adanya rekonstruksi PAI, salah satu caranya adalah dengan melibatkan psikologi sebagai basisnya. Misalnya, optimalisasi konstribusi psikologi dalam bidang pengembangan sistem pembelajaran yang meliputi materi, tujuan, strategi, dan evaluasi. Asumsinya, selama ini pembelajaran PAI belum mengoptimalkan peran psikologi sebagai dasar pengembangannya. Bagaimana seorang guru secara psikologi memberlakukan keberagaman yang ada pada peserta didik.  Baik dari segi kecerdasannya, ras, suku, latar belakang ekonomi, minat, mazhab (organisasi agama), dan keberagaman lainnya. Dalam keadaan seperti ini, guru dituntut untuk mengetahui bagaimana cara menangani siswa secara adil, terbuka, dan manusiawi.
PAI juga masih mengedepankan doktrin ibadah, tauhid, dan sejarah yang tidak bermuatan makna sama sekali. Dengan kata lain, PAI belum mengarahkan siswa bersikap mandiri, baik dalam artian mandiri secara fisik maupun kemandirian dalam berpikir.[3] Artinya, guru PAI harus mengajak paras siwsanya berlatih atau terbiasa berpikir kritis, teliti, dan berdasarkan landasan yang kuat. Hal ini dilakukan agar utamanya “psikologis” mereka bisa mapan. Dengan itu, manfaat yang diperoleh adalah siswa kedepannya tidak akan mudah tergoda bahkan menolak tawaran doktrin ideologi “sesat”, hedonisme, dan jenis etika “sakit” lainnya. Sekali lagi, kemampuan pengambilan keputusan memilih dengan tepat semacam itu tidak serta merta “muncul” begitu saja. Semua itu bisa ada karena berbagai sebab, termasuk adanya dorongan (motivasi) dan hasil dari proses pembentukan kepribadian saat manusia dalam masa pertumbuhan. Di sinilah peran psikologi bagi PAI, yaitu bagaiman bisa melatih motivasi siswa ke arah yang benar terhadap tindakan yang ia lakuan. Tidak hanya arahnya (tujuan) yang benar tapi juga dengan menggunakan cara-cara (proses) yang benar.
.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Konsep Dasar
1.      Pengertian  Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “rekonstruksi” berarti pertama pengembalian seperti semula (sedia kala) dan kedua penyusunan atau penggambaran kembali terhadap sesuatu yang telah dilakukan.[4] Dalam konteks pendidikan kata rekonstuksifisme menurut Mudhofir adalah salah satu dari aliran pada filsafat pendidikan yang bercorak radikal. Dalam aliran ini persoalan pendidikan dan kebudayaan dijangkau lebih jauh ke depan dan bila perlu bisa membentuk tata peradaban baru.[5] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rekonstruksi adalah perombakan atau pembangunan kembali terhadap suatu sistem menjadi kembali seperti sedia kala utamanya dalam segi nilai-nilai atau hakikatnya.
Adapun, Pendidikan Agama Islam menurut penulis punya pengertian sebuah kajian ilmu yang menjadi materi ajar serta bertujuan agar peserta didik mampu dalam penerapan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa paksaan dari orang lain). Kesadaran tersebut meliputi penerapan nilai ibadah yang benar,[6] nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme), nilai semangat dalam pengembangan diri[7] maupun masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian di kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam secara konsisten dengan segenap logika atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya.[8] Analisis tersebut didasarkan pada pendapat Syukri Fathuddin disampaikan bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”[9]
Dengan demikian PAI tidak hanya menyentuh aspek simbol, ritual, dan aspek fisik keagamaan. Akan tetapi juga menyentuh aspek kejiwaan manusia yang meliputi spiritual, emosional, dan rohaninya. Dari rekonstruksi itu diharapkan PAI dalam artian guru, tujuan, dan komponen lainnya tidak lagi bersifat otoriter terhadap peserta didik. Yakni, otoriter dalam artian tidak memandang aspek psikologis peserta didik, sehingga peserta didik diumpakan seperti mesin yang bisa dikonstruk untuk menjadi manusia yang taat beribadah, pandai membaca al Quran, dan pandai dalam bidang agama lainnya. Namun dari segi psikologisnya mengalami kekosongan. Dampaknya, ia tidak tahu untuk apa ia belajar agama dan bagaimana hakikat keagamaan itu sendiri. Dari semua uraian tersebut dapat disimpulan bahwa rekonstrusi Pendidikan Agama Islam punya pengertian pembangunan kembali nilai-nilai keislaman yang utuh seperti sedia kala (sesuai hakikatnya) utamanya terkait masalah psikologis pada manusia sehingga bisa menjadi manusia paripurna (insan kamil).

2.      Pengertian Wawasan Psikologi

Kata “wawasan” memiliki arti pertama hasil dari penelitian, peninjauan, dan pengamatan. Kedua, konsepsi tentang cara pandang terhadap sesuatu. Sedangkan kata “psikologi” memiliki arti ilmu yang terkait dengan gejala dan kegiatan jiwa atau proses mental, baik normal maupun tidak normal serta pengaruhnya pada perilaku.[10] Secara detail, ternyata definisi psikologi belum ada kepastian sama saat ini. Menurut Ernes sebagaimana dikutip Faizah dan Efendi dalam kacamata behaviorisme “psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari atau menyelidiki tentang tingkah laku manusia atau binatang yang tampak secara batin. Adapun Arifin sebagaimana dikutip Faizah dan Efendi mendefinisikan psikologi sebagai berikut:

Sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari atau menyelidiki pengalaman yang timbul dalam diri manusia, seperti pengalaman pancaindra, merasakan sesuatu, berpikir, berkehendak, dan bukan mempelajari pengalaman yang di luar diri manusia, karena pengalaman yang demikian menjadi objek kajia ilmu pengetahuan alam.[11]


Dari pemaparan di atas dalam konteks tulisan ini, maka penulis sepakat dengan pendapat Arifin bahwa psikologi objek kajiannya hanya untuk manusia. Meski secara kasat mata binatang pun punya gejala perilaku yang menunjukkan gambaran jiwa (keinginan) mereka atas motiv tertentu. Namun karena PAI subjeknya adalah manusia maka dipandang penting untuk menghilangkan objek kajian psikologi binatang. Asumsinya, bagaimana PAI secara psikologi bisa membentuk manusia yang benar-benar manusia bukan menjadi manusia yang berpsikologis binatang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa arti wawasan psikologi adalah cara pandang terhadap sesuatu berdasarkan dari hasil penelitian dan pengamatan perilaku manusia beserta gejala kejiwaannya.

3.      Urgensi Rekonstruksi PAI dalam Wawasan Psikologi
Persoalan rekonstruksi bukanlah persoalan gampang, terlebih merekonstruksi PAI yang selama ini perannya telah berada di luar jalur semestinya. Asumsinya, PAI selama ini hanya mengajak manusia pada pembangunan fisik, simbolis, dan kultur.[12] Dalam kasus ini PAI telah gagal membangun kesadaran psikologis manusia untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia insan kamil (manusia utuh).[13] Oleh karena itu, seharusnya PAI secara psikologis berupaya “menyadarkan” manusia untuk bisa menjadi dirinya sendiri yang kritis, merdeka, dan bertanggung jawab berdasar etika sekuler serta etika agama. Sebagaimana yang dilakukan oleh Sutrisno yang menawarkan model PAI yang humanis religius.[14]
Kenyataan lain, PAI masih jauh dari yang didambakan. Ia tidak mampu membentuk tatanan masyarakat yang penuh nilai spiritual. Buktinya, masyarakat yang mengaku dirinya Islam atau kaum santri secara psikologis masih mengidap penyakit. Yakni, tradisi rasan-rasan (menggunjing/ghibah) masih marak, kebiasaan saling melemahkan sesama teman salah satunya dalam bentuk mengucilkan, bermain dengan licik, melakukan kekerasan (teror), bersikap egois, munafik, dan gejala psikologis yang sakit lainnya. Sekali lagi, dalam kasus seperti ini peran psikologi sebagai pedamping PAI tidak bisa diabaikan begitu saja. Nilai pentingnya adalah sebagai dasar bagi PAI dalam merekonstruksi nilai-nilai perjuangan yang ada di dalamnya.

B.       Rekonstruksi PAI berbasis Psikologi
Tolok ukur keberhasilan Pendidikan Agama Islam sejauh masih pada tataran fisik atau simbolis[15] (yang nampak saja). Belum pada tataran lebih mendalam sampai pada tataran kejiwaan. Yakni, pada tingkatan di mana nilai-nilai[16] Islam bisa dijiwai (dihayati) oleh peserta didik dalam setiap perilakunya. Dengan mengetahui gejala jiwa (psikologis) mereka maka guru bisa mengarahkan setiap muridnya dengan tepat. Bagaiamanapun dalam pembelajaran, utamanya memaknai belajar tidak hanya pada tataran kognitif, tapi aspek afektif dan psikomotrik. Dengan demikin, peserta didik dipandang sebagai satu kesatuan individu yang utuh, yang mempunyai kepentingan, punya kultur, punya otoritas tersendiri, dan punya berbagai latar belakang lainya.
Pendidikan Agama Islam ditujukan bukan hanya untuk kepentingan kesuksesan individu, keluarga, atau kelompok tertentu. Dalam kehidupan duniawi, produk PAI harus bisa bermanfaat bagi seluruh umat manusia, terlebih bagi umat Islam sendiri. Intinya, PAI harus merekonstruksi semangatnya pendidikannya seperti sedia kala, seperti halnya pendidikan yang dilakukan oleh nabi ke pada para sahabat. Yakni, melaksanakan nilai-nilai Islam secara utuh dan sungguh-sungguh untuk tercapainya masyarakat yang secara psikologis tidak mengalami “sakit” seperti yang dijelaskan sebelumnya. Kegagalan PAI dalam mencetak generasi umat yang “sadar” atau sehat secara psikologi harus dicari jalan keluarnya melalui rekonstruksi. Salah satu konsep rekonstruksi PAI menurut penulis adalah seperti dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1.1: Rekonstruksi PAI dalam aspek Psikologis
Aspek yang Direkonstruksi
Kenyataan saat ini
Harapan di kemudian hari
Peserta didik
Botol kosong yang diisi
Botol berisi yang dibesarkan kapasistasnya
Pembelajaran
Aspek fisik dan sosiologis
Aspek psikologis, fisik, dan sosiologis
Materi
Hanya menyentuh aspek fiqh, ilmu kalam (tauhid), aspek sejarah, dan hafalan.
Materi yang bisa menyentuh kejiwaan peserta didik, sebagai inspirasi, motivasi, dan landasan pengembangan.
Tujuan
Membentuk ahli ibadah dan agama yang cerdas dalam ilmu agama sehingga bisa bermanfaat di masyarakat.
Membentuk profesional yang berlandaskan nilai-nilai Islam utuh sesuai bidang kecerdasan (bakat), sehingga segala tindakannnya beretika (empati dan hati nurani) dan berkesadaran psikologis
Strategi
Keteladanan guru lebih banyak di dalam kelas dan hanya pada tataran simbol keagamaan (pandai berkhotbah, pandai mengaji, menjadi imam tahlil, rajin ke masjid, dll)
Keteladan guru dalam berempati, dalam bersikap jujur, dalam menjaga kerukunan, dan dalam mengayomi satu sama lain
Evaluasi
Lebih menekankan hasil secara formal, utamanya dari segi kulitnya
Proses, hasil, umpan balik, dan makna sama penting, utamanya perubahan psikologis (penghayatan agama)

Dari tabel tersebut dapat digambarkan bahwa dengan pola PAI yang lama (saat ini masih berlangsung) secara psikologis bisa menimbulkan tekanan psikologis bagi peserta didik. Bahkan bisa terjadi kesalahpahaman perserta didik dalam menerima (mempresepsi) nilai-nilai agama dari gurunya. Artinya, agama hanya tidak lebih dari bagaimana cara menggunakan simbol agama serta mampu diaplikasikan dalam masyarakat. Tanpa melihat makna dan cara kegiatan yang “bersimbol” tersebut Islami atau tidak. Pada akhirnya peserta didik hanya memandang PAI sebagai “penambah” masalah dalam proses menuntut ilmu karena harus menghafal berbagai macam hal tentang Islam. PAI tidak lebih diartikan dari sebuah mata pelajaran yang tak bermanfaat bagi kejiwaannya, bahkan menjadi teror sehingga terkesan menciptakan suasana horor.
Bila demikain yang terjadi, maka mustahil PAI bisa membentuk generasi yang secara kejiwaan peka (empati) terhadap keadaan yang ganjil. Dengan asumsi, ternyata PAI sendiri menciptakan suasana yang “ganjil” bagi peserta didiknya. Bahkan guru PAI dan guru lain serta kepala sekolahnya sendiri berperilaku ganjil. Suasana yang ganjil ini akan ditiru dan dianggap “baik” oleh peserta didik pada suatu hari nanti, sehingga ia akan meneruskan tradisi ganjil tersebut sebagai bentuk pelampiasan psikologisnya.
Terkait hal tersebut, menurut Lorenz, secara genetis manusia punya insting agresifitas. Bila tidak ada penyaluran maka insting tersebut suatu saat akan “meledak” sewaktu-waktu, meski tak ada rangsangan dari luar. Asumsinya, manusia dan binatang biasanya tidak pasif dalam menemukan stimulus tersebut. Bahkan, akan mencari dan bila perlu menciptakan stimulus. Dalam konteks sosial, manusia akan melepaskan “energi” (dorongan) agresifnya dalam bentuk (mencari perkara) membuat partai politik yang bisa menyebabkan timbulnya agresi. Namun, bila sama sekali tidak ada sitimulus yang apat ditemukan dan diciptakan, maka dorongan agresif yang tertahan (tidak dilampiaskan) akan menjadi demikian besar dan siap meledak sewaktu-waktu. Dengan demikian, menurut Lorenz agresi pada dasarnya butuh pelampiasan dan akan terekspresikan meski mendapat stimulus dari luar yang kecil. Model agresi ini sama seperti model libido Freud, yang dinamai model hidrolik. Yakni, tekanan yang ditimbulkan oleh air atau uap dalam tabung tertutup.[17]
Dari semua pembahaan di atas, upaya pencegahan PAI agar tidak bisa tercipta masyarakat yang sadar secara psikologis adalah dengan penekanan empati (misalnya altruisme) pada pembelajarannya. Di mana empati sangat erat kaitannya dengan etika. Empati yang sarat penggunaan hati nurani sangat penting bagi seluruh umat manusia. Dengan itu manusia akan mampu memahami diri sendiri melalui pemahamannya terhadap orang lain. Pernyataan tersebut sebagaimana saran Gadner terhadap guru, bahwa mereka harus melatih anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan pribadi (intrapersonal)[18] di sekolah (56). Lebih konkrit Gardner memandang penting adanya “flow[19] dalam setiap pembelajaran.
Latihan dan pembiasaan dalam membangun motivasi juga sangat penting bagi peserta didik. Asumsinya, mereka harus sadar dan tahu secara teliti[20] saat akan mengambil keputusan atau tindakan. Sebagaimana menurut Gestalt bahwa belajar hendaknya dimalui dari keseluruhan, baru kemudian pada bagian-bagian. Dengan kata lain belajar menurutnya adalah penekanan pada pemahaman dan pencerahan (isnight). Di mana keseluruhan tadi terdiri dari bagian-bagian yang mempunyai keterkaitan yang bermakna satu sama lain. Hal ini oleh Kurt Lewin disebut dengan “teori Medan” (field theory) yang menekankan pada keseluruhan dan kesatupanduan serta merupakan rumpun cognitive-gestalt-field. Menurut teori Medan, individu selalu berada dalam suatu medan atau ruang hidup (life space) yang tergambar sebagai berikut:[21]









 








Gambar 1.1: Medan hidup menurut Kurt Lewin
(dikutip tanpa ada perubahan sama sekali)

Dari gambar tersebut dapat dimengerti bahwa setiap suatu tujuan yang ingin dicapai pasti ada hambatan (barier). Secara psikologi, individu punya satu atau sejumlah dorongan dan berusah mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan. Apabila suatu tujuan telah tercapai, maka ia akan masuk ke dalam medan atau lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan dan hambatan-hambatan baru pula. Dengan demikian, individu secara terus menerus akan keluar dari suatu medan psikologis lalu masuk ke medan psikologis lainnya dalam menjalani kehidupan ini.[22]
Dari penjelasan tentang teori medan tersebut, dalam konteks PAI maka penulis menambahi bahwa untuk memecahkan hambatan tersebut harus menggunakan cara yang baik (mulia). Ini artinya, motif yang baik, kegiatan yang (nampak) baik,[23] dan tujuan yang baik saja tidak cukup. Di sinilah peran PAI harus membiasakan dan melatih peserta didiknya agar setiap mencapai tujuan harus menggunakan cara yang baik. Oleh karena itu penulis berpendapat perlu menambahi subtansi gambar tersebut agar sesuai dengan nilai-nilai agama Islam sebagi berikut:



Notched Right Arrow: Cara 1
Rounded Rectangle: Cara-cara Islami



Berlandaskan nilai-nilai Islam







Oval: Tujuan
Islami








             
Gambar 1.1: Medan Psikologi yang berlandaskan nilai-nilai Islam

Dari gambar tersebut dapat diuraikan bahwa dalam mencapi suatu tujuan hendaknya tidak hanya ditujukan untuk masalah keduniawiaan saja. Misalnya kemewahan, gelar, jabatan, kekuasaan, dan uang. Bukan berarti hal tersebut tidak boleh untuk dicapai atau dimiliki. Namun yang perlu diperhatikan adalah apakah untuk mencapai menggunakan cara-cara Islami. Selama ini masih banyak ditemui suatu “kegiatan” yang terkesan nampak islami yaitu menjadi dosen di perguruan tinggi agama Islam tapi dilakukan dengan cara tidak islam seperti melakukan penyuapan dan nepotisme. Dengan kata lain, dosen yang identik dengan perbuatan baik (bahkan islami) secara psikologis kehilangan nilai-nilai kesakralannya karena tercemar dengan cara-cara yang tidak baik dalam mendapatkannya.

Daftar Rujukan



Amin, A. Rifqi. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Deepublish, 2014.

Faizah dan Effendi, Lalu Muchsin. Psikologi Dakwa. Jakarta: Kencana, 2006.

Fromm, Erich “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Goleman, “Daniel. Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence ed. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

Muchsin, Bashori dan Wahid, Abdul. Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, 2009.

Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gajahmada University, 1996.

Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy). Jakarta: Rajawali, 2009.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Sutrisno, “Pendidikan Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik” Makalah disajikan dalam Seminar Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret 2012.

Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman. Yogyakarta: UNY Press, 2008.

Widayati, Sri dan Widijati, Utami. Mengoptimalkan 9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak. Yogyakarta: Luna, 2008.


[1]Kebutuhan manusia tidak hanya sebatas masalah fisik, seperti makan, minum, pakaian, dan lainnya. Dalam konteks ini kebutuhan manusia lebih menjurus pada perilaku kepuasaan batin (bukan kepuasan fisik). Di mana, kepuasaan “batin” ini bisa menjurus pada nilai Ketuhanan. Sebaliknya, kepuasan batin juga bisa tercapai dengan menggunakan jalan kejahatan. Artinya, manusia tidak puas sekedar makan saja, tapi lebih puas bila yang dimakan itu adalah makanan “mewah” dan seterusnya. Manusia pun tidak puas dengan keadaan yang jalan yang biasa-biasa saja dalam “beribadah” atau untuk menuju surga. Oleh karen itu, mereka rela melakukan tindakan kekerasan bahkan melakukan bunuh diri demi mendapatkan surga. Dengan kata lain, dalam diri manusia bila tidak ada kontrol, maka nilai-nilai “kepuasan” tersebutlah yang akan mengontrol dirinya. Akibatnya, ia tidak lagi menjadi manusia yang merdeka yang bisa menjadi dirinya sendiri. Ia “rela” menjadi (dipengaruhi) orang lain hanya demi memperoleh kepuasan diri tersebut.
[2]Dikatakan sakit karena ia telah mengalami gangguan dalam mempresepsi diri maupun orang lain. Di satu sisi ia menunjukkan diri yang “baik” pada orang lain tapi di sisi ia bermaksud berbuat buruk. Di sinilah ia kehilangan jati diri, meski ia mampu mengatur (mempengaruhi) orang lain tapi kenyataannya ia tidak bisa mengatur dirinya sendiri.
[3]Kemandirian berfikir sangat penting, mengingat akhir-akhir ini dunia ini mengalami apa yang dinamakan “individualisme” jiwa akibat dari zaman kebebasan informasi yang hampir tak terbatas. Yakni, meski tampaknya bergotong-royong, meski nampaknya kompak (bersatu), dan meski nampaknya selalu beraktivitas bersama sehari-hari, tapi kenyataannya mereka egois. Apa yang mereka lakukan itu tidak lebih hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Untuk mendapatkan pamor, mendapatkan uang, mendapatkan kekuasaan, dan mendapatkan kepuasan pribadi. Pada kasus ini nilai-nilai ketuhanan telah tiada, meskipun ia melakukan ibadah bahkan menjadi tokoh agama tapi itu semua hanya kamuflase (penyamaran). Oleh karena itu, dengan berfikir kritis maka manusia tidak akan mudah terbawa arus “kejiwaan” yang sakit tersebut. Ia akan menjadi manusia yang punya “kesadaran” dan kehendak sendiri yang bisa dipertanggung jawabkan.
[4]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[5]Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gajahmada University, 1996), hlm. 213.
[6]Dalam ibadah ritual salat misalnya, salat yang dilakukan biasanya belum ke ranah konstruksi suci dari syahadad dan sujud kepada Allah. Artinya, belum pada tingkatan pengakuan diri bahwa dirinya adalah hamba yang wajib menyembah, membesarkan, dan mengabsolutkan-Nya. Kenyataannya malah mengutamakan kepentingan diri dan orang lain yang ada dalam bingkai (frame) sama dengannya. Pada akhirnya dikerucutkan pada pemutlakan, pembenaran, dan pengabsolutan diri sendiri atau seseorang yang ada di dalam frame tersebut. Dengan kata lain, pengabsolutan diri  masih lebih mendominasi dibandingkan dengan pengakuan kedaulatan Tuhan. Lihat, Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 174.
[7]Generasi muda yang tidak berani melakukan ijtihad (pengembangan diri) hanya akan memperlakukan agama sebagai alat pencapai kepentingannya. Aspek pragmatisme dan hedonisme lebih dimenangkan dibandingkan dengan melakukan kajian mendalam tentang filosofi sosial keagamaan. Implikasinya, agama gagal memasuki wilayah pemikiran progresif, dan stagnan berkutat dalam ekslusivisme. Artinya, telah terjadi pragmatisme agama yaitu melakukan kegiatan atas nama agama tapi kenyataannya hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri.
[8]A. Rifqi Amin, Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Deepublish, 2014), hlm.
[9]Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman (Yogyakarta: UNY Press, 2008), hlm. 130.
[10]“Kamus Besar Bahasa” didownload tanggal 21 April 2014.
[11]Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwa (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 3-4.
[12]Ungkapa tersebut sebagai pemberhalus dari ungkapan “PAI telah banyak mencetak generasi munafik.” Yakni generasi yang secara simbolis beragama namun secara psikologis telah mengalami sakit. Agama hanya sebagai kedok untuk memenuhi kepuasan pribadi atau agama hanya sebagai bentuk perwujudan diri agar bisa sama dengan manusia beragama lainnya. Artinya, ia beragma bukan karena ia sadar untuk apa ia beragama, tapi ia beragama hanya untuk mendapatkan pengakuan sosial sehingga menimbulkan kepuasan diri.
[13]Selama ini makna insan kamil hanya tergambarkan pada simbol, bukan pada hakikat perbuataannya. Untuk apa ia berbuat? Untuk siapa ia berbuat? Di mana ia berbuat? Kapan ia berbuat? Bagaiamana ia berbuat? Dan mengapa ia berbuat? Semua Aspek-aspek pertanyaan ini sangat penting dalam memaknai apakah insan tersebut berbuat secara benar. Asumsinya, bila perubuatan benar tersebut dilakukan secar konsisten maka pantaslah ia disebut sebagai insan kamil.
[14]Sutrisno, “Pendidikan Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik” Makalah disajikan dalam Seminar Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret 2012.
[15]Padahal idealnya pendidikan itu minimal harus melibatkan tiga hal yaitu aspek psikologis, aspek sosiologis, dan aspek fisik. Atas dasar itu maka proses interaksi akan terjadi secara optimal, sehingga belajar agama bukan hanya belajar tentang sosiologis dan aspek fisik sajat tapi juga mempelajari tentang bagaimana memenejemen kepribadian diri sendiri dalam aspek psikologis.
[16]menurut Abuddin Nata pendidikan adalah pemindahan (transmission) nilai-nilai, ilmu, dan kecakapan dari generasi tua kepada generasi muda dalam rangka melanjutkan serta memelihara identitas (peradaban) dan kepribadian masyarakat tersebut. Di mana dalam proses transmisi “kepentingan” masyarakat tersebut, psikologi memiliki peran yang sangat penting. Lihat, Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al Tarbawiy) (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 163.
[17]Erich Fromm, “Akar Kekerasan: Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia,” dalam The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 8-9.
[18]Ciri-ciri kecerdsan intrapersonal adalah pertama memiliki empati, yaitu memahami perasaan orang lain dan peka pada situasi serta tahu sikap apa yang harus dilakukan pada setiap situasi yang ada. Kedua, bersikap asertif; kemampuan untuk mempertahankan kepentingannya (hak) tanpa merugikan orang lain. Ketiga, bisa bekerja sama; kemampuan dalam memetakan antara hak dan kewajiban bahkan tugas seseorang dalam kelompok, berjiwa pemimpin yaitu mampu menempatkan seseorang dalam posisi yang tepat. Keempat, bersikap realistik akan kelemahan dan kelebiahnnya. Keenam, sikap yang idependen dan punya hasrat yang kuat dan ketujuh adalah  punya ekslusifitas pandangan hidup dari pada yang lainnya. Sri Widayati dan Utami Widijati, Mengoptimalkan 9 Zona Kecerdasan Majemuk Anak (Yogyakarta: Luna, 2008), hlm. 185-186.
[19]Flow adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatian sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang dikerjakannya, perhatiannya hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu dengan tindakan.” Lihat, Daniel Goleman, “Kecerdasan Emosional,” dalam Emotional Intelligence ed. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 127. Dengan kata lain, segala tindakan yang dilakukan berasal dari kesadaran diri bukan paksaan atau pendoktrinan dari orang lain.
[20]Pengetahuan mendalam tentang mengapa ia harus berbuat demikian, melanggar agama atau tidak? Bagaimana ia mempresepsi ajaran agamanya? Bagaimana ia mempersepsi Tuhan? Kadang kala tuhan dipresepsikan sebagai sang Maha Pengampun, sehingga ia berani berbuat maksiat, berani menentang moral agama asal tidak diketahui orang lain. Kasus nyata yang ditemukan penulis berdasarkan cerita orang lain, pengamatan, pencocokan dokumen dengan fakta, dan dari perkataan pelakunya sendiri pada tahun 2012-an adalah: seorang kepala madrasah (umur 30) yang melakukan berbagai tindak pelanggaran etika agama yang meliputi memanipulasi proposal dan laporan keuangan madrasah, “tunduk” pada rengekan istri (umur 19 tahun) untuk menggugurkan kandungan karena istrinya malu terhadap teman-temannya karena anak pertamanya masih kecil, bermain ke bar (diskotik) menyewa perempuan meski tidak zina, dan melakukan pembicaraan kotor yang tidak pantas. Hal yang unik adalah masyarakat umum, murid-murid, dan sebagian besar guru di madrasahnya tidak mengetahui perbuatan tercela tersebut. Inilah yang penulis sebut sebagai perbuatan sakit, yaitu di depan masyarakat umum dan murid berperilaku dan bertutur baik tapi dibelakang ternyata berbuat yang tercela. Bila ada guru atau sebagai masyarakat yang tahu dan “membiarkan” bahkan seakan mendukung perbuatan kepala sekolah tersebut maka orang tersebut bisa dikatakan telah kehilangan jati diri.
[21]Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 170-171.
[22]Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses, hlm. 171.
[23]Kegiatan yang nampak baik adalah kegiatan yang seolah-olah baik tapi kenyataannya dilakukan dengan cara tidak baik. Misalnya membuat proposal bantuan pembangunan gedung kepada pemerintah, tapi dilakukan dengan cara yang tidak baik yaitu memanipulasi data. Bisa juga seorang guru untuk mendapatkan “uang” sertifikasi mau menempuh mengajar 24 jam per pekan tapi proses pembelajarannya dilakukan tidak sepenuh hati (terpaksa) dan tidak dengan cara profesional (asal-asalan).
 






Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam dalam Wawasan Psikologi"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*