Terbaru · Terpilih · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam (Studi Kasus di Universitas Islam Negeri Maulan Malik Ibrahim Malang)


PENGEMBANGAN PROGRAM STUDI PADA PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM 
(STUDI KASUS DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG)



BAB I
Pendahuluan

1.    Latar Belakang Masalah
Kajian tentang pengembangan program studi (untuk seterusnya dalam makalah ini disebut prodi) dalam arti pengembangan kurikulum,[1] penambahan jumlah, dan penggantian namanya di Perguruan Tinggi Agama Islam (untuk seterusnya dalam makalah ini akan disebut PTAI) merupakan salah satu wacana baru. Mengingat, selama ini PTAI[2] masih identik dengan perguruan tinggi yang hanya mengurusi persoalan akhirat dan cenderung fokus pada penguasaan ilmu keagamaan. Meski gagasan tentang pengembangan kurikulum PTAI –yang termanifestasikan dalam penambahan prodi umum (non keagamaan)– sudah cukup lama beredar, tapi baru masa reformasi gagasan ini mulai mendapatkan jalan terang. Tatkala ada Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999 yang berimbas pada otonomisasi dalam bidang-bidang tertentu. Termasuk di dalamnya otonomi pendidikan di semua jenjang. Kemudian ditindaklanjuti dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 24 ayat 1 dan 2.[3]
Pada kurun beberapa waktu setelahnya, muncul Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang bisa menjadi landasan bagi PTAI dalam melakukan pengembangan prodi. Salah satu isi yang terkait dengan itu adalah Pasal 184 ayat 5: ”Kewenangan membuka, mengubah, dan menutup program studi sebagaiman dimaksud dalam Pasal 58F ayat (2) huruf (b) butir (1.b) diberikan secara bertahap kepada perguruan tinggi.”[4] Kendati demikian, di dalam peraturan itu ada perbedaan aturan pada bidang tertentu antara Perguruan Tinggi yang dikelola pemerintah dengan perguruan tinggi swasta yang dikelola masyarakat.
Lebih detail, setelah hadirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 semakin menguatkan posisi (secara hukum positif) PTAI. Hal tersebut telah memberikan keleluasaan dan kewenangan penuh kepadanya.[5] Meskipun pada kenyataan hanya PTAI yang berbentuk Universitas-lah yang mendapatkan porsi seluas-luasnya untuk membuka prodi baru,[6] utamanya prodi umum (berbasis ilmu pengetahuan umum). Termasuk dalam hal ini adalah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (untuk seterusnya dalam makalah ini akan disebut UIN Maliki Malang). Adapun yang berbentuk Institut masih ada keterbatasan, terlebih lagi untuk Sekolah Tinggi[7] tidak memiliki wewenang sama sekali untuk membuka prodi umum. Adapun yang berbentuk Institut pada kenyataannya ada yang membuka prodi umum, akan tetapi fakultasnya tetap berada di rumpun lama yaitu fakultas yang berbasis keagamaan.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan semua bentuk PTAI pada dasarnya diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulumnya. Baik dilakukan dengan cara pengembangan muatan dan corak keilmuan pada setiap mata kuliahnya maupun dengan penambahan mata kuliah baru (mata kuliah umum) untuk meningkatkan keilmuan mahasiswanya. Dengan kata lain, pengembangan  di PTAI di sini ada dua katagori. Pertama, pengembangan kurikulum[8] (utamanya muatan materi atau mata kuliah) pada setiap fakultas dan prodi yang sudah ada oleh PTAI berbentuk Sekolah Tinggi dan Institut.[9] Kedua, pengembangan dengan cara penambahan Prodi dan fakultas baru non keagamaan yang hanya bisa dilakukan oleh PTAI berbentuk Universitas dan “sebagian” institut.
Dalam sekup keindonesiaan, PTAI merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Konsekuensinya, jenis perguruan tinggi tersebut senantiasa juga terikat dengan aturan-aturan undang-undang dan aturan pemerintah. Dengan demikian, PTAI harus bisa menyesuaikan ritme yang berlaku yaitu antara kepentingan pendidikan nasional dengan kepentingan (tujuan) institusi. Di mana kepentingan nasional sekarang ini sedang membutuhkan generasi penerus bangsa yang unggul dalam penciptaan dan pengembangan bidang ilmu pengetahuan umum, teknologi, dan seni. Implikasinya, PTAI diberi tanggung jawab untuk membantu kesuksesan misi tersebut. Dapat disimpulkan, PTAI tidak bisa lepas dari kenyataan-kenyataan bahwa masyarakat dalam kehidupan yang serba kompleks ini tidak hanya membutuhkan ilmu agama. Terlebih bila lulusan dari fakultas atau  keagamaan Islam pada beberapa prodi telah overload.
Sedang untuk kalangan umat Islam sendiri, sesungguhnya umat Islam tidak hanya butuh ahli agama saja untuk menghadapi kehidupan modern ini, akan tetapi juga ahli bidang ilmu pengetahuan umum. Hal ini dilakukan supaya seluruh kepentingan hidup umat Islam bisa tercover oleh umat Islam sendiri yang ahli di beberapa bidang ilmu pengetahuan tersebut. Asumsi tersebut terbukti bahwa PTAI sekarang ini kurang diminati[10] oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena perannya masih dirasa kurang memberikan manfaat bagi “sistem” kehidupan umat Islam di Indonesia.[11] Baik dari segi moral, misalnya terjadinya fenomena pacaran bebas, penyalahgunaan narkotika, tawuran, dan perilaku amoral lainnya ternyata tidak mendapatkan perhatian serius dari sarjana lulusan PTAI. Bahkan bisa dikatakan tidak mampu memberikan jalan keluar. Sedangkan, dari segi pengembangan keilmuan (ademisi) secara teori dan praktik oleh para sarjana dari PTAI masih diragukan kualitasnya.[12]
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PTAI, termasuk di dalamnya UIN Maliki Malang yang menjadi kajian utama dalam makalah ini punya tugas berat yang harus diemban. Di antaranya, harus bisa menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga peran dan fungsinya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan beberapa cara. Salah satunya dengan pengembangan kurikulum melalui penambahan atau perubahan nama mata kuliah serta penambahan atau perubahan nama . Langkah inilah yang telah dilakukan oleh UIN Maliki Malang yang membuka fakultas humaniora seperti saintek. Serta  umum yang tersebar di beberap fakultas lainnya.
Berangkat dari pembahasan di atas, penulis memandang perlu untuk meneleaah bagaimana proses pengembangan prodi di UIN Maliki Malang. Sejauh mana keefektifan langkah-langkah yang ditempuh untuk mendapatkan hasil optimal dari berbagai bidang, sehingga langkah pengembangan prodi ini bukan semata sebagai langkah seremonial dan “gagah-gagahan”. Oleh karena itu, untuk melakukan langkah tersebut dibutuhkan landasan, konsep, dan pemikiran yang secara lebih detail akan dibahas dalam makalah ini.

2.    Batasan Masalah dan Topik Pembahasan
Dari penjelasan tersebut, penulis dapat merumuskan batasan masalah yang menjadi fokus kajian pada makalah ini. Adapun topik utama pada pembahasan ini dikerucutkan sebagai berikut:
a.       Konsep dasar tentang pengembangan program studi di PTAI, yang meliputi: Hal-hal terkait tentang PTAI di indonesia, landasan fondasional (sosiologis dan psikologis) pengembangan program studi pada PTAI, dan landasan operasional pengembanan program studi pada PTAI.
b.      Langkah-langkah pengembangan program studi pada PTAI
c.       Menuju kualitas lulusan PTAI yang integratif dan mandiri dalam keilmuan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Konsep Dasar
1.      Hal-hal Terkait tentang Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia
Berdasarkan catatan sejarah, secara kelembagaan proses pendirian PTAI di masa awalnya masih berorientasi pada pendidikan di Timur Tengah. Utamanya dipengaruhi corak Universitas al Azhar di Mesir, dengan bukti nama fakultas dan gaya kerjanya cenderung meniru kampus tersebut. Sifat yang “mengekor”[13] inilah yang secara terus menerus menyebabkan umat Islam Indonesia mengalami kemandekan tradisi keilmuan. Selain juga tidak menafikkan pada saat itu terdapat kekakuan aturan (intervensi) dari penguasa. Padahal fenomena seperti itu bukan merupakan identitas perguruan tinggi di negara maju.[14]
Walaupun demikian, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa model al Azhar tidak sepenuhnya diadopsi secara buta. Pada perkembangan selanjutnya PTAI juga mendopsi sebagian sistem pendidikan dari Barat yaitu Sistem Kredit Semester (SKS). Misalnya ada dua fakultas di IAIN yang tidak ditemukan pada al Azhar yaitu fakultas Tarbiyah dan Dakwah. Ciri khas IAIN lain yang menjadi pembeda dengan al Azhar adalah pada rumusan tujuannya. Yakni, untuk mencetak ahli ilmu agama yang aktif dalam pengembangan harmoni antarumat beragama dalam bingkai masyarakat Indonesia yang majemuk. Sedang pada tingkat ideologi, salah satu alasan banyak ulama Indonesia untuk diadakan pengembangan pendidikan tinggi agama Islam (PTAI) secara mandiri adalah keyakinan mereka bahwa Islam telah berkembang melalui berbagai corak, sesuai dengan konteks histori dan budaya[15] yang berbeda-beda. Serta harapan mereka bahwa Islam terus berkembang sedemikian rupa di masa depan. Bisa dikatakan, pengembangan ilmu agama Islam di Indonesia tidak serta merta mengikuti secara mutlak dari model timur tengah atau model rujukan lainnya.[16]
Pada perkembangan selanjutnya, karena berbagai dampak perkembangan politik, perundang-udangan (aturan), dan peningkatakan ekonomi bangsa Indonesia maka terjadilah pembaruan PTAI melalui pembukaan  baru.[17] Hal tersebut frekuensinya semakin tinggi utamanya pasca reformasi 1998,[18] sehingga bisa dikatakan pada masa itu sebagai fase pembaruan PTAI. Sikap fleksibel tersebut dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui jalur pengembangan ilmu-ilmu umum. Pada fase inilah pengembangan  baru dilakukan secara intensif, utamanya yang berbentuk universitas.
Selama ini permasalahan pengembangan prodi PTAI masih berkutat (difokuskan) pada bagaiamana cara menambahkan mata kuliah baru yang didasarkan ilmu umum serta penambahan prodi baru non keagamaanan. Padahal, sesungguhnya pembaruan dan pengembangan kurilukum yang diwujudkan dalam pembentukan prodi baru saja tidaklah cukup. Bagaimanapun, banyak kendala yang dihadapi ketika kurikulum tersebut diberlakukan, diantaranya:
a.    Faktor Dosen[19] yang belum memiliki kualtas keilmuan integratif yang memadai.
b.    Faktor mahasiswa yang diterima di IAIN kebanyakan berasal dari mahasiswa yang tidak diterima di tempat lain (limpahan PTU).
c.    Faktor buku yang belum memenuhi standar (memadai) pada masing-masing bidang ilmu yang diajarkan di PTAI
d.   Faktor jaringan dan penelitian di kalangan civitas akademika yang masih terbatas
e.    Faktor bidang ilmu dan mata kuiah yang diajarkan masih tidak jauh beda seperti yang diajarkan pada pesantren.[20]
Tiga kelemahan lain pada IAIN sebagai PTAI pada umumnya yaitu, masih rendahnya orientasi akademik, rendahnya orientasi manajemen, dan terlalu menjadikan agama sebagai objek akal semata. Salah satu peluang dalam mengatasi masalah tersebut adalah adanya PP No. 60 tahun 1999. Dengan itu, kini IAIN mempunyai kewenangan luas untuk membentuk lembaga-lembaga yang diperlukan dalam penyelenggaraikan Perguruan Tinggi (baik jurasan maupun fakultas dan lembaga-lembaga lain yang bisa menunjang bergairahnya akedimisi).[21]
Dari pembahasan di atas, dapat di simpulkan bahwa pada mulanya tujuan dibentuknya PTAI di Indonesia sangat sederhana. Yakni, berkutat atau dilatar belakangi pada masalah politik, mempertahankan corak keagamaan, dan karena hasrat umat Islam untuk punya Perguruan Tinggi sendiri. Implikasinya, untuk  yang ditawarkan pun masih sangat sedikit serta hanya menyentuh aspek ilmu agama Islam. Bisa dikatakan, landasan dasar pendirian PTAI pada saat itu masih dalam sekup tujuan jangka pendek (pragmatis). Namun, setelah terjadi dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks seperti ini menuntu PTAI agar bisa menyesuaikan diri. Terlebih setelah adanya kebebasan dalam pengembangan kurikulum melalui aturan formal, menyebabkan banyak PTAI berinovasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Ada yang diwujudkan pada penambahan atau perubahan mata kuliah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta ada yang menambah prodi baru pada setiap fakultasnya.

2.      Landasan Fondasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam

Secara bahasa “landasan” berarti alas, pijakan, dan tumpuan. Sedangkan “fondasional” berasal dari kata fondasi yang berarti fundamen, di mana kata “fundamen” memiliki arti mendasar (pokok). Sedangkan kata “pengembangan” berarti proses atau cara yang dilakukan untuk mengembangkan sesuatu.[22] Adapun  memiliki arti “kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan vokasi.”[23] Dengan demikian secara Istilah kata “landasan fondasional” berarti pijakan atau tumpuan yang dilakukan secara (bersifat) mendasar atau pada pokok permasalahnnya. Sedangkan “pengembangan program studi” memiliki arti proses atau cara yang dilakukan untuk mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran pada satuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang difokuskan pada satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan pendidikan vokasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dirumuskan bahwa landasan fondasional diadakannya pengembangan prodi pada PTAI adalah karena mutu (keilmuan) PTAI masih dianggap rendah.[24] Serta mutu lulusannya kurang memenuhi harapan masyarakat. Bahkan sumbangannya terhadap pengembangan ilmu agama Islam pun belum dianggap signifikan. Hal tersebut terjadi karena kelemahan kurikulum PTAI, yaitu:
a.       Kurikulum yang kurang relevan dengan PTAI tetap dipertahankan, banyak prodi yang tidak diminati masyarakat tetap dipertahankan.
b.      Kurikulum yang kurang efektif, tidak ada jaminan bisa dihasilkan lulusan yang sesuai harapan.
c.       Kurikulum yang kurang efisien, terlalu banyaknya mata kuliah dan sks yang tidak bisa menjamin dihasilkan lulusan yang sesuai harapan.
d.      Kurikulum yang kurang fleksibel, PTAI kurang berani secara kreatif dan bertanggung jwab untuk memperbarui kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
e.       Kurikulum yang Readibility sangat rendah, tidak komunikatif sehingga bisa menimbulkan salah tafsir.
f.       Kurikulum yang hanya terwujud dalam deretan mata kuliah tanpa makna jelas.
g.      Kurikulum yang terfokus pada bagaimana isi serta menyampaikan mata kuliah, bukan pada tujuan (nasional, institusional, kurikuler, dan intruksional).
h.      Kurikulum yang hubungan fungsional antar mata kuliah yang mengacu pada tujuan kurikuler masih kurang jelas.[25]
Agar lebih jelas dan terfokus, maka dalam pembahasan landasan fondasional ini penulis membagi menjadi dua bidang landasan fondasional, yaitu:
a)      Landasan Sosiologis
Kata “sosiologis” punya arti “mengenai sosiologi; menurut sosiologi.” Adapun, kata “sosiologi” artinya ilmu tentang sifat, struktur sosial, perilaku (proses sosial), dan dinamika (perubahan) masyarakat.[26] Dengan demikian, kandungan arti dari “landasan sosiologis pengembangan prodi” adalah pijakan atau dasar keilmuan tentang kemasyarakatan beserta gejala-gejala (dinamika) terbarunya bagi perguruan tinggi dalam melakukan pengembangan prodi. Tentang gejalan kemasyarakat tersebut, Muhaimin menjelaskan terkait pengembangan kurikulum di PTAI harus memperhatikan hal berikut ini:

Masyarakat Indonesia bersifat plural, serba ganda dan beragam, sehingga tidak adil bila segala-galanya harus disamakan. Karena itu, pengembangan kurikulum harus mampu memberi peluang kepada masing-masing PTAI untuk berimprovisasi dan berkreasi untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Di samping itu masyarakat bersifat dinamis dan berkembang, sehingga memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dan/atau kesiapan untuk berhadapan dengan dinamika perubahan dan perkembangan yang ada.[27]

Lebih detail, Ahmad Syafi’i Maarif menyampaikan bahwa pada saat ini dunia telah memasuki peradaban modern sekuler. Di mana cara pandang[28] manusia tidak lagi hirau pada kehidupan hari esok yang jauh, terlebih untuk kehidupan akhirat. Bukan sebuah perkara gampang bagi PTAI untuk menanamkan nilai-nilai dasar Islam ke pada setiap mahasiswa. Selain itu, kurikulum PTAI yang tergejawantah dalam pembagian prodi hingga ke mata kuliah dirasa masih belum menyentuh  kategori-katagori ilmu dalam al Quran yang sangat luas. Kurikulum yang “parsial”[29] ini dirasa sudah tidak bisa lagi mengatasi arus modernisme yang semakin liar.[30] Dengan kata lain, umat Islam sekarang ini membutuhkan kesegaran ilmu.[31] Manusia sekarang ini tidak hanya membutuhkan ahli agama (ulama) yang kadangkala arahnya saling bertolak belakang dengan kebutuhan hidup modern umat manusia. Namun juga membutuhkan ahli-ahli di bidang ilmu lain yang bisa menunjang dan mengatasi permasalahan kehidupan dunia modern yang semakin tak menentu arahnya.
Pernyataan tersebut hampir sama dengan pendapat Fadil Lubis, sebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin, bahwa studi Islam mengandung makna luas,[32] yang mencakup tiga bidang pokok kajian, yaitu:
a.    Studi Islam yang bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan dalam bentuk mata kuliah sumber ajaran (al Quran) dan hadith beserta sperangkat ilmu yang terkait langsung dengannya.
b.    Studi Islam sebagai bagian dari pemikiran atau bagian dari fiqh dalam arti luas. Dalam sejarah pemikiran Islam setidak-tidaknya ada lima bidang pemikiran Islam yang menonjol, di antaranya: akidah teologi, hukum dalam arti luas, filsafat, akhlak-sufisme, dan ilmu pengetahuan-teknologi-seni. Untuk yang bidang terakhir ini mencakup ilmu hitung, matematika, aristekterur, maupun asrtronomi dll. Bidang yang terakhir ini masih belum banyak di kaji di IAIN/STAIN.
c.    Studi Islam sebagaimana yang pernah dialami umat Islam, diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Sumber kajiannya berasal dari al Quran dan Sunnah, yang kemudian dijabarkan dalam berbagai pemikiran luas. Dengan kata lain, ajaran Islam diamalkan dan diterapkan dalam sekup luas oleh umat Islam pada waktu itu hingga membentuk peradaban Islam yang telah berabad-abad menyinari dunia. Pada masa kini, dalam kontek PTAI sekupnya dipersempit, hanya mencakup bidang tarbiyah (pendidikan), dakwah, dan hukum.[33]
Selain itu, bila dilihat perkembangan selanjutnya maka terdapat beberapa kecenderungan baru sebagai respon dari tuntutan dan tantangan yang berkembang di masyarakat. Beberapa kecenderungan itu adalah:
a.       Pelaksanaan studi keislaman yang mengarah pada pendekatan non-mazhabi. Hal ini relevan dengan fenomena pluralisme dan multikulturalisme yang sedang berkembang, sehingga sektarianisme bisa diminimalkan.
b.      Pergeseran paradigma studi keislaman, dari yang bersifat normatif ke arah yang lebih historis, sosiologis, da empiris. Dengan artian terjadi perpaduan antara empirik dengan sumber wahyu untuk saling mengontrol. Di mana wahyu mengontrol untuk menghasilkan teori yang kredibel dan bermanfaat, sedangkan hasil empirik mengontrol proses memahami wahyu.
c.       Terkait orientasi keilmuan yang cakupannya lebih luas.[34]
Dari semua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan sosiologis pengembangan prodi pada PTAI dalam konteks zaman sekarang ini cukup kuat dan kokoh. Dengan kata lain, pengembangan prodi sekarang ini bukanlah menjadi sesuatu yang istimewa. Bagaimanapun, misi pengembanan tersebut merupakan tuntutan masyarakat, sehingga kewajiban UIN sebagai PTAI untuk memenuhi. Tidak berlebihan, bila landasan sosiologis ini menjadi landasan yang terpenting. Tatkala kita ingat bahwa setiap lembaga pendidikan itu tidak akan bisa lepas dari kehidupan masyarakat luas beserta dinamikanya.

b)     Landasan Psikologis
Psikologis artinya “berkenaan dengan psikologi; bersifat kejiwaan.” Kata “psikologi” punya arti ilmu yang terkait dengan proses mental yang berpengaruh pada perilaku sebagai gejala dan kegiatan jiwa.[35] Secara psikologis, mindsite masyarakat (utamanya masyarakat santri) yang simpatik dan peduli terhadap pendidikan Islam akan mendukung setiap keluarga serta rekannya atau bahkan dirinya sendiri untuk kuliah di lembaga berbasis Islam. Namun, dalam kalangan umat Islam (santri) sendiri pun akhir-akhir ini juga berhasrat mendalami ilmu pengetahua umum. Fenomena itu, bila tidak ditanggapi oleh PTAI dengan penyediaan kajian ilmu umum secara mendalam yang termanifestasi dalam prodi, tentu mereka tak akan segan memilih PTU.
Selain itu, di zaman yang persaingannya serba ketat seperti ini menyebabkan dorongan (hasrat) manusia untuk bisa hidup layak bahkan terjamin menjadi lebih besar. Mereka menginginkan pekerjaan mapan, berpenghasilan layak, dan punya status di masyarakat. Tentu untuk mencapai itu semua membutuhkan proses, salah satunya melalui kuliah. Dengan kata lain, kondisi psikologis masyarakat –yang meliputi motivasi, tingkah laku, dan tujuan-- sekarang ini telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan tuntutan zaman.
Sedang bila dilihat dari faktor psikologis di kalangan internal PTAI, biasanya mahasiswanya terjangkit gejala inferioritas. Yakni, mereka cenderung minder bila disandingkan dengan mahasiswa dari PTU, bahkan yang bukan dari lembaga favorit sekalipun. Hal ini terjadi salah satunya karena prospek lulusan PTAI secara duniawi tidak bisa terjamin. Oleh karena itu, untuk meningkatkan mentalitas mahasiswanya perlu diadakan pengembangan prodi, baik berupa pengembangan kurikulumnya maupun dengan pembentukan prodi baru yang lebih adaptif dengan kondisi psikologis mahasiswa PTAI maupun masyarakat luas.
Penjelasan lain, sebagai alasan[36] psikologis –yang ditinjau dari segi gejolak kemanusiaan, spiritualitas, motif perbuatan, dan emosionalnya-- perlu diadakan pengembangan prodi, dikarenakan PTAI punya karakteristik berikut:
a.       Penekanan pada pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan (dalam semua bidang) atas dasar ibadah kepada Allah
b.      Pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan merupakan proses yang berkesinambungan (long life education). Asumsinya, ilmu menurut konsep Islam bukan dibuat, tapi dicari oleh manusia sehingga tidak pernah ada henti-hentinya.
c.       Dalam proses pencarian, penguasaan, dan pengmbangan ilmu pengetahuan mengutamakan penekanan nilai-nilai akhlak.[37] Asumsinya, ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai, akan tetapi bebas untuk dinilai, sehingga mengkritisi atau menilainya merupakan salah satu akhlak terpuji.
d.      Pengakuan akan potensi dan kemampuan individu untuk berkembanga sesuai denga kepribadian. Artinya, Islam mengakui eksistenis potensi manusia yang dapat ditumbuh kembangkan seoptimal mungkin untuk menjalankan tugas hidupnya sebagai hamba Allah dan khalifah-nya
e.       Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Allah dan masyarakat manusia sehingga pengembangan iptek tidak menimbulkan malapetaka, tetapi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.[38]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa landasan fondasional pengembangan prodi pada PTAI adalah terjandinya kecenderungan baru (pergeseran paradigma) tentang keilmuan. Di mana, ilmu tidak lagi dipandang sebagai kesatuan yang tunggal, tapi ilmu adalah sesuatu yang wilayah kajiannya sangat luas bahkan tak terbatas. Oleh sebab itu, umat Islam tidak hanya diwajibkan untuk mempelajari ilmu agama saja, tapi juga ilmu lain (fardhu kifayah) sebagai sarana membangun peradaban Islami. Selain itu, adanya semangat pengembangan prodi ini karena kesadaran diri dari sebagian umat Islam untuk segera keluar dari kemandegan pengembangan ilmu pengetahuan. Setelah selama beberapa abad terakhir ini ilmu pengetahuan beserta produknya dikuasi oleh Barat. Hal ini bukan berarti misi untuk merebut kejayaan ilmu pengetahuan tersebut, langkah itu masih sangat terlalu jauh. Namun, ini masih dalam taraf penataan kembali epistemologi Islam[39] yang bisa menjadi dasar (acuan) ilmuwan Islam dalam pengembangan peradaban.

3.      Landasan Operasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam

Kata “operasional” memiliki arti secara (bersifat) operasi atau berhubungan dengan operasi. Sedangkan kata “operasi” salah satunya berarti “pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan.”[40] Bila mengacu pada penjelasan sebelumnya maka “landasan fondasional” punya arti pijakan atau tumpuan yang dilakukan secara (bersifat) praktik dari rencana yang telah dikembangkan. Dengan demikian, dapat digambarkan bahwa landasan operasional pengembangan prodi pada PTAI adalah agar lulusannya mampu berkiprah di berbagai sektor kehidupan dan berbagai bidang keahlian, serta berada pada seluruh strata kehidupan yang secara individu sesuai dengan bidang kecerdasan masing-masing. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kajian bidang-bidang ilmu yang lebih luas,[41] sehingga bisa mencetak generasi muslim yang ahli dalam dunia pendidikan, psikologi, kebudayaan maupuan sastra, ekonomi, sosiologi, ilmu alam, dan ilmu lainnya. Di mana semua bidang keahlian tersebut didasarkan pada nilai-nilai agama Islam.[42]
PTAI saat ini berada pada taraf pengembangan diri, baik pada tataran kurikulumnya maupun kelembagaannya. Oleh karena itu, dalam era informasi seperti sekarang ini menjadi peluang dan tantangan bagi sistem pendidikan Islam pada PTAI, yaitu dengan mengisi peluang dan menjawab tantangan tersebut. Dengan demikian PTAI harus bisa membangun rancang-bangun sistem pendidikan Islam yang berwawasan masa depan (the future thinking) dan bisa menjadi pelopor dalam pelaksanaannya.[43] Oleh karena itu, secara praktis operasional PTAI harus benar-benar memiliki karakteristik perguruan tinggi yang benar-benar ideal dan bermanfaat bagi peradaban. Sebagaimana menurut Jusuf Amir Faisal bahwa ada beberapa karakteristik perguruan tinggi, yaitu:
a.       Lembaga pendidikan yang fleksibel, mudah bergabung atau bekerja sama[44] dengan lembaga lain sehingga dimungkinkan untuk diadakannya pembicaraan terkait masalah-masalah tertentu yang di lembaga lain tidak dapat dibicarakan.
b.      Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai peningkatan martabat masyarakat. Perguruan tinggi semacam ini hanya untuk memenuhi hasrat akademis (intelektual) masyarakat, meskipun pada akhirnya  lulusan tidak dibutuhkan oleh masyarakat karena program studinya sudah terlalu banyak.
c.       Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai pencetak generasi profesional.
d.      Lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai pencetak tenaga ahli dalam bidang masing-masing. Misalnya karena literatur yang dikuasinya,maka ia mampu menyampaikan pendapat relatif lebih teratur dari pada lulusan lembaga lainnya. Bisa juga karena pengalaman (sering praktik) ketika mengahadapi masalah, ia mempunyai gaya yang lebih meyakinkan dari pada lulusan lembaga lainnya.[45]
Selain itu, secara teknis lapangan (dunia nyata) ada beberapa alasan untuk menuntut lembaga pendidikan tinggi (termasuk PTAI) bisa berperan aktif dalam pembangunan nasional. Hal ini tidak lain karena adanya perubahan kecenderungan secara global yang dapat mengancam pembangunan nasional. Di antaranya adalah terjadinya pergeseran paradigma tenaga kerja dari skill jobs menjadi knowledge jobs, perbandingan yang tidak seimbang antara jumlah lulusan perguruan tinggi dengan kesempatan kerja, dan perubahan orientasi dari Teaching University ke Research University. Kecenderungan secara global lainnya adala adanya penekanan orientasi terhadap pengembangan ilmu, orientasi terhadap pembiayaan perguruan tinggi secara mandiri, berasal dari hasil kekuatan intelektual (jasa, layanan, informasi, rekayasa). Serta penerapan pola tunggal dalam pembinaan pendidikan tinggi yang mencakup PTN dan PTS.[46]
Adapun dilihat dari sisi kajian sejarahnya, aspirasi umat Islam pada umumnya untuk pengembangan PTAI didorong oleh beberapa tujuan. Pertama, agar ilmu agama Islam tidak mengalami stagnasi, sehingga kajian dan pengembangan ilmunya dilakukan secara sistematis dan terarath. Kedua, sebagai misi dakwah Islam dalam arti luas. Yakni, membawa dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam masuk ke dalam semua unsur kehidupan (politik, ekonomi, komunikasi, dan sebagainya). Ketiga, sebagai upaya kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi maupun swasta, serta lembaga-lembaga lainnya.[47] Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa landasan operasional pengembangan PTAI pada aspek sejarahnya adalah melakukan pengembangan lulusan, lembaga, kurikulum, dan keilmuan dengan seluas-luasnya.
Sebagaiman menurut Muhaimin, bila PTAI ingin mengemban misi pengembangan kajian ilmu keislaman, maka perlu ditelaah dulu apa saja unsur atau kandungan ilmu agama Islam itu.[48] Kemudian dia membuat tabel tentang perkembangan ajaran Islam dalam realtias sejarahanya yang telah berhasil mengantarkan pada kejayaan Islam di masa silam, kemudian dikaitkan dengan pengembangan prodi di PTAI. Dari tabel tersebut, kemudian penulis alihkan (adaptasi) dalam bentuk skema sebagaimana yang tergambar di bawah ini:[49]















Flowchart: Stored Data: Prodi:

Ilmu politik
Ilmu ekonomi
Ilmu peradilan
Antropologi
Sosiologi 
Pendidikan PKn/PPK dll
,Flowchart: Stored Data: Prodi:

Biologi
Kedokteran
Matematika
Teknik Kimia-Fisika-Sipil dll
Pendidikan IPA dll
,Flowchart: Stored Data: Prodi:

Bahasa dan sastra arab
Bahasa dan sastra inggris
Pendidikan bahasa asing dll

,Flowchart: Stored Data: Prodi:

Pendidikan Islam
Pendidikan Dasar (PGMI dan PGSD)
Manajemen PI
Pendidikan Olah raga dll
,Flowchart: Stored Data: Prodi:

Bimbingan dan konseling
Psikologi dll

,Flowchart: Stored Data: Prodi:

Manajemen dakwah
Penyiaran dan komunikasi Islam dll
 































Gambar 2.1 Skema pengembangan prodi berdasarkan nilai kesejarahan perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam


Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa pada masing-masing bidang keilmuan Islam terdapat aspek-aspek perkembangan modern. Hal ini menuntut Dosen PTAI (sekaligus sebagai peneliti) untuk selalu mengkaji dan mengembangkan ilmu-ilmu agama Islam tersebut di atas. Tentunya yang sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.[50] Dengan demikian diharapkan tidak hanya dosen mata kuliah “umum” saja yang dituntut untuk memahami ajaran atau nilai-nilai Islam, akan tetapi dosen mata kuliah “keagamaan” Islam juga dituntut untuk memahami ilmu pengetahuan umum secara luas. Dari penjelasan tersebut maka penulis dapat menggambarkan skema tentang upgrading  dosen agar kualitasnya sesuai dengan misi pengembangan prodi sebagai berikut:
















Peningkatan ritual, penggunaan simbol (kopyah/jilbab), sholat ke Masjid, ikut acara keagamaan
 

 












Gambar 2.2: Pola Upgrade Dosen PTAI yang berasal dari PTU




 










Gambar 2.3: Pola Upgrade Dosen PTAI yang mengajar mata kuliah Keagamaan

Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan prodi pada PTAI dibutuhkan peningkatan kemampuan dan kualitas dosen. Di mana dosen harus bisa menguasai keilmuan yang terintegratif. Semangat ini sesungguhnya sesuai dengan masa kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi Islam pada zaman klasik. Di mana gerakan ilmiah dan etos keilmuan dari ulama (ilmuwan) pada zaman tersebut bercirikan:
a.       Pelaksanaan ajaran Quran untuk banyak mempergunakan akal
b.      Pelaksanaan ajaran hadith untuk menentut ilmu bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu yang sampai ada di negeri cina
c.       Adanya pengembangan ilmu agama melalui berijtihad sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dengan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan serta filsafat yunani yang terdapat di timur tengah pada zama mereka. Tidak mengherankan bila di masa itu banyak lahir ulama fiqh, tauhid (kalam), tafsir, hadith, ulma bidang sains (kedokteran, matematika, optik, kimia, fisika, geografi), dan lain-lain.
d.      Ulama pada saat itu independen, bahkan menolak tawaran sultan untuk dijadikan pegawai negeri.[51]
Selanjutnya, Minhaji dan BA mengatakan bahwa dasar-dasar yang dijadikan landasan dalam pengembangan dan pembidangan ilmu[52] agama Islam ada tiga. Pertama, bangunan keilmuan yang lebih mengutamakan hasil (orientasi “diterima” pasar), sehingga lulusan PTAI bisa bersaing dengan lulusan lembaga lain. Kedua, bangunan keilmuan yang hanya konsentrasi pada tradisi pemikiran klasik, pertengahan, dan modern. Ketiga, bangunan keilmuan yang mengakomodasi dua hal tersebut, dengan meletakkan tradisi ilmu Islam sebagai modal atau objek kajian dan ilmu umum sebagai pisai bedah analisis.[53]
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan operasional pengembangan prodi pada PTAI adalah disebabkan kualiatas lulusan PTAI yang dirasa belum mumpuni bila dibandingan dengan pergurun tinggi jenis lain, sehingga perlu diadakan perubahan kurikulum. Selain itu, dari sektor kelembagaannya masih dirasa sangat sederhana dan belum mumpuni untuk mencetak generasi Islam yang unggul. Adapun bila ditinjau dari segi keadaan masyarakat global dan nasional yang semakin kompleks menuntut PTAI untuk mampu mencetak genarasi yang unggul. Bisa dikatakan, pengembangan prodi PTAI tidak lagi merupakan sebuah kewajiban praktis, namun juga sebagai kebutuhan mendasar yang harus segera dipenuhi.


B.       Langkah-langkah Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam

Dengan maraknya gejala pergaulan bebas di kalangan mahasiswa, maka kampus PTAI sebagai pusat pencetak genarasi Islam yang akademis dituntut kepeduliannya dalam pelurusan kembali perilaku mahasiswa yang mengalami pergeseran dari cita-cita semula. Oleh karena itu, sistem pendidikan di kampus atau perguruan tinggi sekarang ini perlu diklarifikasi dan sistem asrama merupakan alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut.[54] Dengan demikian, sebelum mengadakan pengembangan prodi maka PTAI terlebih dahulu harus mempertimbangkan sejauh mana kemampuan kampus untuk menampung jumlah mahasiswa yang semakin bertambah dan juga semakin beragam latar belakangnya. Terutama bila prodi yang dibuka adalah prodi bidang ilmu pengetahuan umum.
Bisa dikatakan, sebelum diadakan pengembangan prodi di PTAI terlebih dahulu diperhatikan sejauh mana kekuatan, kelemahan, tantangan, dan peluang yang dimiliki kampus.[55] Utamanya adalah untuk perumusan kurikulum, tenaga dan kualitas dosen, dan sarana parasarana. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa dengan adanya pemngembangan kurikulum (penambahan mata kuliah dan penambahan prodi) berdampak pada “pengembangan” atau “penambahan” lainnya. Misalnya, penambahan tenaga pengajar yang sesuai dengan keilmuan “baru” tersebut, penambahan buku di perpustakaan, pengembangan (inovasi) kurikulum agar tetap sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan sebagainya.
Pada kenyataannya, kebanyakaan PTAI (khususnya STAIN dan IAIN) selama ini masih terinternalisasi pembakuannya dalam fakultas dalam lingkup ilmu serumpun. Oleh karena itu perlu diadakan pengembangan keilmuan yang meliputi dua sasaran. Pertama,  melakukan pengembangan ilmu-ilmu yang relevan dengan kebutuhan (tuntutan) masyarakat akan tetapi tetap didasarkan pada aqidah dan pengamalan ajaran Islam. Kedua, pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang tidak hanya terbatas pada produk abad Pertengahan dan Klasik, tapi juga disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Yakni, dengan cara dilakukan pengembangan varian-varian ilmu baru seperti ilmu sosial Islam, perbankan Islam, perdagangan Islam, manajemen Islam, Politik Islam, dan seterusnya.[56]
Selanjutnya, untuk “predikat Islam pada penamaan varian ilmu baru tersebut  tidak hanya sekedar label “Islam” tanpa amaliah dan aqidah Islam. Bukan pula konsep ibadah yang semata-mata menjadi kajian utama pada buku-buku fiqh. Akan tetapi benar-benar menjadi ilmu baru, sehingga ini menjadi tantangan berat. Bukan saja dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar bebas, tapi juga sekaligus mengisi kekosongan dan kekurangan ilmu-ilmu yang biasanya disebut sekuler. Langkah ini secara ideologis dilakukan untuk memahami Islam secara mendetail dan menyeluruh sejalan dengan janji Islam yang menjadi petunjuk hidup secara keseluruhan dan bukan hanya untuk kehidupan akhirat.[57]
Pada tataran lebih praktis, Azizy kembali menekankan bahwa dalam pengembangan prodi (keilmuan) di PTAI terdat dua cara yang bisa ditempuh. Yakni, Wadahnya disedikan terlebih dahulu, dalam hal ini nama  dibuka lebih dahulu, baru kemudian diisi dengan materi perkuliahan dan pengembangan keilmuan yang dianggap sesuai dengan prodi terebut. Model seperti ini sering diterapkan di Indonesia, sehingga biasanya tenaga ahlinya berasal dari luar perguruan tinggi tersebut. Langkah lainnya adalah lebih ditekankan pada esensi dan fungsi, bukan wadahnya. Dari model ini yang diutamakan terlebih dahulu adalah adanya SDM dosen yang ahli dan berkarya nyata. Bila semua sudah mapan maka kemudian dibuka prodi atau fakultas baru. Cara ini sering diaplikasikan di negara maju. Di mana orientasinya adalah fungsional dan karya kilmuan yang nyata, berupa hasil penelitian dan penerbiat. Di samping terlebih dahulu sarana perpustakaan, laboratorium, dan sarana yang dibutuhkan sera menjadi syarat untuk pengembangan prodi lainnya harus dilengkapi. Pola ini nampak lebih ideal, sehingga patut diadopsi oleh IAIN untuk pengembangan diri di masa yang akan datang.[58]
Dari penjelasan di atas, maka sebagaiman dirumuskan oleh Azizy bahwa pengembangan prodi pada PTAI dapat dilakukan dengan menggunakan tiga tipe. Di antaranya adalah:[59]
1.    Pengembangan Prodi Tipe 1
Tujuan utama diadakan pengembangan prodi pada tipe ini adalah untuk mencetak Ulama abad 21 yang menguasai wawasan kekinian. Dengan kata lain, prodi yang dikembangkan tersebut berfungsi sebagai pencetak tenaga ahli dalam bidang ilmu keislaman, sehingga bisa disebut sebagai lembaga kelanjutan sekaligus pengembangan dari institusi pesantren. Asumsinya, di lembagai ini Islam dikaji secara akademik dan bersifat ilmiah dengan tetap bertujuan mengamalkan ajaran Islam secara benar dan tepat. (34) Namun kenyataannya saat ini pada umumnya IAIN masih berorientasi kajian keilmuan tentang Islam dengan proyeksi lapangan kerja yang kurang jelas. Dapat dikatakan kurang memiliki orientasi amaliah Islam.
Konsekuensi dari memilih pola ini adalah pendalaman keilmuan Islam harus lebih ditingkatkan, penerimaan mahasisa harus selektif, jumlah mahasiswa tidak menjadi ukuran pendanaan, pendidikan secara totalitas dan optimal bukan hanya pengajaran (ada asrama), target yang jelas dan konkrit, yaitu mencetak ulam abad 21, dan lapangan pekerjaan juga jelas. Dengan demikian lulusan yang diharapkan juga akan lebih terfokus profesinya. Misalnya, menjadi Imam masjid tetap, tidak hanya mengimami sholat tapi juga punya program yang jelas ntuk pembinaan jamaah masjid. Menjadi pembina spiritual (imam kantor) di lembaga-lembaga birokrasi, misalnya menjadi imam tentara. Tugasnya murni menjadi imam, bukan sebagai tenaga administrasi kantor. Sebagai tenaga pengajar atau pembimbing agama di sekolah. Bisa juga menjadi tenaga profesional pada kantor-kantor di bahwa  naungan kementrian agama termasuk pengadilan agama. Serta peran lain yang arahnya jelas sesuai dengan panggilan hati nurani, temasuk menjadi anggota LSM, wartawan, dan politikus.

2.    Pengembangan Prodi Tipe 2
Pengembangan prodi pada tipe ini tidak berdampak pada bergantinya nama PTAI dari ST/Institut menjadi Universitas. Pada tipe ini pengembangan prodi dilakukan untuk menggapi tuntutan pasar bebas dengan orientasi pada lapangan kerja di pasar bebas yang lebih luas. Ciri utamanya adalah setidaknya bisa ditempuh “desakralisasi” ilmu-ilmu ke-Islaman dan “sakralisasi” ilmu-ilmu sekuler, yang oleh Program Pascasarjana IAIN Walisongo disebut dengan “humanisasi ilmu-ilmu ke-Islaman dan sakralisasi ilmu sekuler.” Dengan pola ini IAIN tidak perlu berganti menjadi universita. Dengan kata lain, pola kedua ini bertujuan untuk mencetak tenaga ahli dan profesional yang Islami. Perbedaanya dengan PT konvensioan (PTU) terletak pada kedekatan dengan tradisi Islam dan lebih berperilaku Islam. untuk itu IAIN bisa membuka semua fakultas dan jurusan yang biasa dibukan di PTU sehingga bertolak belakang dari kesejarahan dan tujuan awal beridirinya.

3.    Pengembangan Prodi Tipe 3
Pada tipe ini pengembangan prodi dilakukan penggabungan ke dua pola di atas dengan cara bertahap.  Di mana, kajian ilmu-ilmu Islam menjadi modal dasar dan sekaligus landasan berdirinya sebuh PT melalui pembukaan fakultas dan prodi yang bisa memenuhi lapangan pekerjaan sekaligus tetap pada kerangka atau bahkan bermula dari ajaran Islam. tipe kedua dari model ke dua seperti di atas sangat dekat dengan tipe ke tiga ini. di samping berangkat dari ajaran wahyu, juga dikembangkan teori-teori sosial, humaniora, dan sains hasil karya para pemikir Muslim. Teori-teori yang dikembangkan berangkat dari empiris dan sumber wahyu yang bersifat saling mengontrol. Fungsi wahyu sebagai pengontrol dalam menghasilkan teori yang kredibel dan bermanfaat sedangkan hasil empirik berfungsi mengontrol proses pemahaman wahyu. Dengan kata lain, pelaku kajiannya tetap dalam kerangka memahami dan menjalankan ajaran wahyu. Dari pola ini diharapkan bisa mewujudka ilmuwan yang mampu menyelesaikan permasalahan dunia, yang selama ini beberapa bagiannya masih luput dari kajian dan tradisi ilmuwan sekuler. Dengan kata lain IAIN harus mampu mengisi kekosongan yang telah menimpa para ilmuwan sekuler. Di mana semuanyaitu harus diawali dengan penciptaan tradisi akademik yang benar-benar kuat.

C.       Peningkatan Kualitas Lulusan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang  yang Integratif dan Mandiri dalam Keilmuan

Idealnya, PTAI sebagai lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia tugasnya tidak hanya berperan dalam mencetak ahli dalam bidang ilmu agama saja. UIN Maliki Malang sebagai PTAI yang berbentuk universitas, terlebih merupakan perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah  mengemban tugas amanat rakyat. Sebagaimana diterangkan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 Amandemen ke-4 BAB XII Pendidikan dan Kebudayaan pada Pasal 31 ayat 5 menyatakan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.[60] Serta adanya penjelasan secara rinci dalam Undang-undang, bahwa tujuan pendidikan tinggi salah satunya adalah:

b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat mausia.[61]

Dari penjelasan di atas, sesungguhnya UIN Malang bila dilihat dari “agresifitas” pembentukan prodi umum baru mengindikasikan ingin mewujudkan tujuan tersebut. Di antara prodi umum yang ditawarkan baik berada di fakultas humaniora maupun fakultas[62] “berciri” PTAI lama meliputi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, psikologi, manajemen, akuntasi, perbankan syari’ah, matematika, biologi, kimia, fisika, teknik informatika, teknik arsitektur, dan farmasi.[63] Tentu untuk mewujudkan amanat rakyat yang mulia itu, UIN Maliki Malang tidak bisa bekerja sendiri. Ia perlu masukan bahkan bantuan dari beberapa PTU yang berpengalaman dan profesional dalam memanajemen semua hal yang terkait dengan prodi umum tersebut. Misalnya, dalam mengelola, mengoptimalkan, dan mengefektifkan laboratorium biologi.
Selain itu untuk mengembangkan keilmuan (sesuai dengan prodi) seluruh sivitas (utamanya dosen dan mahasiswa) diwajibkan menguasai dua bahasa Internasional. Pernyataan itu sebagaimana yang dipaparkan sebagai beriut:
Ciri khusus lain Universitas ini sebagai implikasi dari model pengembangan keilmuannya adalah keharusan seluruh bagi anggota sivitas akademika menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Melalui bahasa Arab, diharapkan mereka mampu melakukan kajian Islam melalui sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Hadis dan melalui bahasa Inggris mereka diharapkan mampu mengkaji ilmu-ilmu umum dan modern, selain sebagai piranti komunikasi global. Karena itu pula, Universitas ini disebut bilingual university. Untuk mencapai maksud terse­but, dikembangkan ma’had atau pesantren kampus di mana seluruh mahasiswa tahun pertama harus tinggal di ma’had. Karena itu, pendidikan di Universitas ini merupakan sintesis antara tradisi universitas dan ma’had atau pesantren.[64]

Dari semua pemaparan di atas bila dikaitkan dengan pandangan Islam, ilmu akan terus mengalir dan bergulir melampau apa yang menjadi pilihan manusia, sehingga monopoli penyelenggaraan  bukanlah setrategi yang tepat. Oleh karena itu, pembentukan Universita Islam yang berdampak pada pembukaan prodi-prodi ilmu umum bisa membuka peluang untuk mengikis dikotomi antara agama dan ilmu.[65] Dengan demikian pengembangan prodi yang dilakukan UIN Maliki Malang tidak boleh berhenti sampai tingkatan itu. UIN Maliki Malang harus membentuk prodi baru semisal prodi ilmu politik untuk menghasilkan ahli politik atau politikus yang Islami, prodi ilmu seni untuk menghasilkan ahli seni atau seniman islami, prodi teknik sipil untuk membentuk ahli bangunan yang islami, dan prodi-prodi lainnya.
Bila idealnya memang seperti tersebut di atas, maka sungguh ironis ketika ada lulusan PTAI yang ahli di bidang ilmu pengetahuan agama Islam maupun ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang bernapaskan Islam, tetapi tidak memiliki komitmen serta loyalitas terhadap ajara agamanya serta tidak mau digunakan dan dikembangkan untuk kegiatan dakwah. Misalnya lulusan Prodi Kimia, ilmu kimianya digunakan untuk membuat NARKOBA dan bahan peledak terlarang. Sebaliknya, lulusan PTAI yang punya kemantapan aqidah dan kedalaman spiritual serta keluhuran budi pekerti, tapi kosong dalam penguasaan ilmu dan kematangan profesionlitas di bidangnya.
Menurut Miqdad Yeljen bahwa Hilangnya jiwa dan spirit keunggulan sistem pendidikan Islam adalah karena umat Islam terlalu “tunduk” dalam mengadopsi sistem pendidiikan barat.[66] Sedangkan paradigma yang digunakan barat adalah paradigma mengutamakan ilmu pengetahuan di atas segala-galanya sehingga bermuara pada kesimpulan bahwa ilmu agama bisa menjadi penyebab kemunduran peradaban. Oleh karena itu, dalam prespektif barat nilai agama harus ditiadakan dalam sistem pendidikan.[67] Dengan kata lain, bila ditelalah lebih jauh maka penulis bisa katakan bahwa orang barat maju karena meninggalkan nilai-nilai agamanya, sedangkan umat Islam mundur karena meninggalkan nilai-nilia ajaran Islam.
Hal tersebut hampir sama subtansinya menurut salah satu sasaran yang ingin dibina dan dikembangkan oleh sistem pendidikan Islam adalah yang terkait dengan peradaban. Di mana bisa terwujudnya peradaban umat Islam yang bisa melampau semua unsur. Misalanya pertama unsur material yang meliputi kemajuan di bidang pertanian, perniagaan, industri, dan pembangunan fisik. Kedua unsur spiritual, seperti ideologi, akhlak, sains, dan adab. Ketiga unsur struktural dan perudang-undangan yang terkait dengan struktur keluarga, masyarakat, dan negara. [68]
Selama ini PTAI memang memiliki kelebihan yang menjadi ciri khas, yaitu sanggup menampung kalanganan masyarakat dari kelas menengah ke bawah bahkan menampung masyarakat yang memiliki potensi (kecerdasan) yang masih serba minim. Berangkat dari itu, maka wajar bila selanjutnya kualitas lulusan dari sebagian PTAI masih sangat jauh diharapkan untuk ikut peran serta dalam membangun peradaban banga. Oleh karena itu, menurut Daulay sebuah lembaga pendidikan yang hendak mengedepankan mutu harus diawali dengan penerimaan peserta didik secara terseleksi. Semakin ketat persaingan dalam seleksi itu maka semakin berualitas peserta didik yang didadapat. Kemudian setelah didapat peserta didik yang berkualitas unggul maka diproses dengan sangat baik pula agar diperoleh hasil yang baik.[69]
Hal tersebut bila dikontekskan dengan PTAI, maka dalam upaya pengembangan prodi PAI melalui pembentukan prodi baru, utamanya prodi umum (non agama), perlu diadakan strategi yang bagus agar peminatnya banyak sehingga mahasiswa yang diseleksi juga semakin banyak. Dengan kata lain, khusus untuk prodi-prodi tertentu perlu diadakan seleksi yang sangat ketat agar bisa didapat mahasiswa yang berkualitas.[70] Pada akhirnya, dengan proses yang tepat maka lulusan prodi “baru” tersebut juga akan mendapat tempat (diakui) oleh peradaban masyarakat. Serta bukan suatu kemustahilan bisa mencetak lulusan yang mandiri dalam keilmuan dan bahkan mampu mengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Pendidikan Islam idealnya tidak berkaitan dengan hafalan dan pengausaan ayat-ayat al Quran saja. Namun, bagaimana agar pendidikan Islam bisa berdampak lebih luas dan mendalam untuk mengembangkan ekonomi bangsa, yakni menjaga “moralitas” bangsa dari kejahatan-kejahatan yang berdampak kemunduran ekonomi seperti KKN, persaingan dagang yang tidak sehat, dan indiviualisme (tidak empati atau bersikap dermwan pada masyarakat miskin dan tidak membagikan ilmu-ilmu tentang kesuksesanna pada oran glain). Terlebih, kenyataannya ekonomi Indonesia sebagaian besar di kuasai oleh kalangan non-muslim.[71] Oleh karena itu, peran pendidikan Islam di sini sangat penting, salah satunya adalah mencetak genarasi yang mampu merumuskan dan menciptakan keilmuan secara mandiri.
Dapat disimpulkan bahwa lulusan PTAI yang ideal (mandiri dalam keilmuan yang bercirikan keislaman dan kendonesiaan) telah menjadi sebuah kebutuhan mendesak khususnya bagi umat Islam serta masyarakat indonesia[72] pada umumnya. Oleh karena itu, pengembangan prodi pada PTAI hendaknya didasarkan pada faktor keheterogenan lulusnnya serta sejauh mana semua ilmu tersebut bisa membumi (fungsional dan praktis) di masyarakat kelas bawah sekalipun. Dari itu, PTAI bukan lagi menjadi perguruan tinggi yang hanya “berjasa” dalam aspek ritual dan spritualitas saja tapi juga menyentuh kemanfaatan dunia nyata secara praktis dan aplikatif.




BAB III
     Penutup

Darai semua pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum pada setiap masing-masing Prodi di PTAI bisa dilakukan dengan cara integrasi ilmu. Yakni, penambahan mata kuliah umum dilakukan tidak semata-mata “menjiplak” dari perguruan tinggi lain (Perguruan Tinggi Umum) akan tetapi didasarkan pada epistemologi Islam. dengan demikian bisa melahirkan ilmu baru, yakni ilmu umum yang tidak bertentangan dengan ilmu agama. Implikasinya, pengembangan dan penambahan mata kuliah tidak serta merta hanya memberikan label “Islam” pada mata kuliah atau prodi tersebut, akan tetapi melakukan integrasi ilmu agama dengan ilmu umum yang saling mengokohkan satu sama lain. Asumsi selanjutnya, inilah yang akan menjadi pembeda wawasan keilmuan antara lulusan PTAI dengan lulusan PTU. Di mana lulusan PTAI tidak hanya mampu menciptakan atau mengembangan ilmu serta produknya, tetapi juga mampu memanfaatkannya secara tepat untuk kemaslahatan manusia sehingga bisa mendapat ridho dari Allah SWT.
PTAI saat ini dituntut untuk dapat merubah paradigma lama (yang hanya fokus pada kajian ritual keislaman) ke paradigma baru (kajian Islam secara menyeluruh termasuk IPTEK) yang lebih relevan dengan persoalan kehidupan masyarakat. Dengan itu, diharapkan lulusan PTAI mampu memecahkan “kebuntuan” dan kemandekan (masalah) umat Islam bahkan permasalah bangsa atau manusia secara umumnya dalam menjalankan hidup ini. Dengan demikian idealnya pengembangan kurikulum yang termanifestasikan pada penambahan prodi dan penambahan atau perubahan mata kuliah tidak hanya terfokus pada ilmu agama saja, akan tetapi juga pada ilmu-ilmu umum. Dalam lingkup lembaga PTAI penambahan prodi umum bertujuan untuk mencetak mahasiswa yang menguasai ilmu pengetahuan umum sekaligus dilandaskan pada ilmu-ilmu agama. Sedang dalam lingkup  keagamaan, penambahan mata kuliah umum bertujuan untuk mencetak mahasiswa yang menguasai ilmu agama Islam yang terbingkai dalam ilmu-ilmu umum.
Konsekuensi lebih lanjut, untuk mata kuliah atau  baru[73] yang terintegrasi tersebut harus memiliki standar penamaan jelas. Yakni, yang sesuai dengan kaidah penulisan dan pengistilahan dalam bahasa Indonesia baku. Hal tersebut dilakukan agar antara penamaan mata kuliah misalnya mata kuliah bernama “Psikologi Pendidikan Islam” dengan isi yang di dalamnya benar-benar baru. Artinya, mata kuliah tersebut tidak mengajarkan ilmu Psikologi umum saja atau ilmu psikologi pendidikan saja, akan tetapi juga mengintegrasikannya dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, untuk memperjelas kandungan mata kuliahnya maka nama tersebut bisa diganti “Psikologi Pendidikan berbasis Islam.” Selama ini, sebagaimana yang telah penulis alami meskipun penamaannya ada “label” Islam akan tetapi pada kenyataannya muatan pokoknya bahkan kadang semuanya hanya menyentuh ilmu “psikologi pendidikan.”Pada akhirnya, sudah saatnya pendidikan Islam (khususnya di Indonesia) untuk memiliki “kiblat” sendiri. Mengingat, pada beberapa dekade akhir ini kebanyakan institusi pendidikan Islam utamanya untuk keilmuan cenderung berkiblat pada barat. Bahkan sistem pendidikannya pun tak jarang yang juga meniru Barat.












DAFTAR RUJUKAN




“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.

“Kuota Prodi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,” dalam  http://span-ptain.ac.id/?p=183, 18 Januari 2014, diakses tanggal 31 Oktober 2014.

“UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/UIN_Maulana_Malik_Ibrahim_Malang, diakses tanggal 28 Desember 2014.

“Undang-undang  Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi,” http://www.dpr.go.id/id/undang-undang/2012/12/uu/PENDIDIKAN-TINGGI, didownload tanggal 31 Oktober 2014.

“Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Malang),” dalam http://diktis.kemenag.go.id/index.php?artikel=lihat&jd=179#.VJ9nYQJnw, diakses tanggal 28 Desember 2014.

Akhwan, Muzhoffar. “Karakteristik, Tujuan, dan Sasaran Pendidikan Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ. Yogyakarta: aditya media, 1997.

Arif, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat, 2002.

Azizy, A. Qodri, “Mengembangkan Struktur Kefakultasan IAIN,Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.

Azra, Azyumardi. IAIN di  Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.

Daulay, Haidar Putra. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rineke Cipta, 2009.

Feisal, Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Geman Insani, 1995.

Ishomuddin. Spektrum Pendidikan Islam. Malang: UMM, 1996.

Maarif, Ahmad Syafii. “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ. Yogyakarta: Aditya Media, 1997.

--------. “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam Menghadapi Peradaban Modern,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), 21-22.

Mastuhu, “Link and Match Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Agama Islam di Indonesia: Menuju Pencarian Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ. Yogyakarta: aditya media, 1997.

--------. “Universitas Islam di Tengah Dikotomi antara Agama dan Ilmu,” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global), ed. M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha. Malang: UIN, 2004.

Minhaji, Akh. dan BA, Kamaruzzaman. Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam. Jogjakarta: Arruzz, 2003.

Mudzhar, M. Atho. “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa, 2003.

--------. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

--------. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi pembelajaran. Jakarta: Rajawali, 2009.

--------. Struktur dan Anatomi Kurikulum Program Magister Pendidikan Agama Islam, Makalah disajikan pada Orientasi Pengembangan Kurikulum Program Magister (S2) Pendidikan Agama Islam PPs STAIN Samarinda, Tanggal 12 Maret 2012.

Muleman, Johan Hendrik. “IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.

Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: 1429 Tahun 2012 tentang Penataan Program Studi di Perguruan Tinggi Agama Islam.

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, http://spi.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/PP-Nomor-66-Tahun-2010-Perubahan-Atas-PP-Nomor-17-Tahun-2010.pdf, file didwonload 31 Oktober 2014.

Rahim, Husni. IAIN dan Masa depan Islam Indonesia,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo. Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000.

Subdit Akademik, “Pembukaan Program Studi Baru PTAI Meningkat,” http://diktis.kemenag.go.id/index.php?berita=detil&jd=232#.VFMC2Mmupdg, diakses tanggal 31 Oktober 2014.

Suprayogo, Imam. Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malanga, 2005.

Tholkhah, Imam dan Barizi, Ahmad. Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo, 2004.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya. Jakarta: Cemerlang, 2003.

Zamroni, “Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial. Yogyakarta: Aditya Media, 1997.


[1]Pengembangan kurikulum pada prodi di PTAI dilakukan dengan cara menambah mata kuliah baru (biasanya mata kuliah non keagamaan) yang dianggap relevan dengan kebutuhan masyarakat (sebagai pasar) dan bisa juga dengan mengadakan integrasi ilmu secara konsisten-serius agar tercipta ilmu baru yang menjadi ciri khas PTAI.
[2]PTAI terdiri dari dua jenis pengelola, yaitu PTAI Negeri yang dikelola pemerintah dan PTAI Swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat (biasanya berbentuk yayasan). Di mana menurut aturan dan kebijakannya antara PTAI dengan PTAIS juga dibedakan. Salah satu contohnya adalah pada Peraturan Pemerintah Nomo 66 Tahun 2010 Pasal 53 B ayat 1 di mana jumlah penerimaan mahasiswa untuk Perguruan Tinggi Negeri (yang diselenggarakan Pemerintah) wajib menjaring mahasiswa baru program sarjana melalui pola penerimaan secara nasional paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari jumlah peserta didik baru yang diterima untuk setiap  pada program pendidikan sarjana.
[3]Pasal 24 Ayat 1 berbunyi: “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.” Sedang Ayat 2 mengamanatkan: “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelnggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.” Lihat, Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003).
[4]Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, http://spi.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/PP-Nomor-66-Tahun-2010-Perubahan-Atas-PP-Nomor-17-Tahun-2010.pdf, file didwonload 31 Oktober 2014.
[5]Sejak terbitnya Undang-Undang nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor 3389 Tahun 2013 tentang Penamaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Fakultas dan Jurusan pada Perguruan Tinggi Agama Islam, mendorong PTAI untuk mengajukan penambahan pembukaan  baru dalam rangka mendukung persyaratan perubahan alih status Institusi. Sebagai contoh, lembaga pendidikan yang akan alih status dari Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) menjadi Institut Agama Islam (IAI) harus memiliki  minimal 3 rumpun keilmuan.Lihat, Subdit Akademik, “Pembukaan Program Studi Baru PTAI Meningkat,” http://diktis.kemenag.go.id/index.php?berita=detil&jd=232#.VFMC2Mmupdg, diakses tanggal 31 Oktober 2014.
[6]Inilah tantangan besar yang dihadapi oleh PTAI khususnya yang berbentuk UIN. Pembukaan prodi baru non keagamaan merupakan program “pendobrak” kejumudan pendidikan Islam di Indonesia. Namun, kemampuan PTAI dalam program pengembangan ini masih dipertanyakan bahkan diragukan dalam menarik minat dan menembus perhatian masyarakat luas Indonesia. Hal ini utamanya dari segi kemampuan PTAI dalam “merebut” calon mahasiswa potensial yang hendak masuk ke Perguruan Tinggi umum (untuk seterusnya dalam makalah ini disebut PTU).
[7]PTAI berbentuk Sekolah Tinggi hanya diberi wewenang untuk mengembangkan kurikulum seluas-luasnya. Namun untuk pembentukan prodi baru hanya dibatasi pada prodi yang serumpun dengan prodi lama. Langkah ini mungkin dilakukan karena hanya PtAI bernbentuk Universitaslah yang dianggap mumpuni untuk melakukan penambahan prodi umum. Mengingat konsekuensi menambah prodi umum berarti harus menambah tenaga pengajar (yang menguasai ilmu pengetahuan umum sekaligus agama), sarana prasarana, dan pengembangan kurikulum baru. Selain itu menurut amanat Undang-unang bahwa Universitas dapat menyelenggarakan pendidikan dalam berbagai rumpun ilmu, sedang Institut diberi wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan dalam sejumlah rumpun ilmu, dan Sekolah Tinggi berhak mengadakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun ilmu. Lihat, Pasal 59 ayat 2,3,4 “Undang-undang  Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi,” http://www.dpr.go.id/id/undang-undang/2012/12/uu/PENDIDIKAN-TINGGI, didownload tanggal 31 Oktober 2014.
[8]Tujuan kurikulum suatu lembaga PTAI bisa terspesifikan ke dalam: tujuan Institusi, tujuan fakultas, tujuan mata kuliah, dan tujuan pembelajaran. Di mana tujuan tersebut tidak hanya difokuskan pada “pemahaman” monodisipliner, yaitu dari aspek ilmu agama saja.
[9]Perguruan tinggi yang berbentuk Sekolah Tinggi hanya boleh mengajarkan ilmu yang satu rumpun, Misalnya ilmu keagamaan saja.
[10]Adapun yang masuk ke PTAI biasanya telah mendapat beasiswa atau saat kuliah dijanjikan mendapat beasiswa dari pemerintah atau donatur lain. Serta alasan masuk ke PTAI biasanya karena tidak diterima di kampus lain (PTU). Bisa juga karena SPP di PTAI dirasa sangat murah sehingga menimbulkan semangat untuk berkuliah dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat di mata masyarakat bila mendapat gelar sarjana.
[11]Muhaimin, Struktur dan Anatomi Kurikulum Program Magister Pendidikan Agama Islam, Makalah disajikan pada Orientasi Pengembangan Kurikulum Program Magister (S2) Pendidikan Agama Islam PPs STAIN Samarinda, Tanggal 12 Maret 2012.
[12]Lulusan PTAI selama ini dipandang tidak memiliki keahlian yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. atas dasar hal itu, maka peninjauan ulang terhadap pembidangan ilmu di lembaga peruguruan tinggi agama menjadi mutlka diperlukan. Lihat, Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman BA, Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (Jogjakarta: Arruzz, 2003), hlm. 38.
[13]Tardisi al Azhar sebagai perguruan tinggi menjadi salah satu rujukan utama saat pendirian IAIN. Diantara fakultas di IAIN, tiga di antaranyaasama dengan fakultas di al Azhar (tahun 1930) yaitu Ushuluddin, Syari’ah, dan Adab. Sistem ujian tahunan juga diambil dari al Azhar. Salah satu faktor yang mendukung pengaruh model al Azhar adalah banyaknya lulusan al Azhar yang memegang kedudukan penting di Departemen Agama dan merancang pendirian IAIN. Lihat, Johan Hendrik Muleman, “IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 44.
[14]A. Qodri Azizy, Mengembangkan Struktur Kefakultasan IAIN,Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 19.
[15]Terkait ini secara detail lihat, Husni Rahim, IAIN dan Masa depan Islam Indonesia,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 422.
[16]Muleman, “IAIN di Persimpangan,” hlm. 44.
[17]Pada perkembangan terakhir menurut Azizy pada beberapa PTAI di Indonesia dalam satu dasawarsa ini dapat dikatakan unik. Yakni, meski nama fakultas dan jumlahnya tetap (belum ada perkembangan) dalam satu kampus PTAI akan tetapi jumlah jurusan (program studi) mengalami perkembangan yang tidak selalu sama antar kampus. Lihat, Azizy, Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 21.
[18]Sebelum tahun 1997 sebagian besar posisi PTAI di Indonesia masih sangat terpinggirkan, utamanya dari segi keilmuannya. Oleh sebab itu, agar terjadi peningkatan kedudukan dalam jangka pendek, maka PTAI harus mampu memperbarui kurikulumnya secara mendasar. Dari kurikulum tersebut hasil akhirnya adalah bisa memiliki lulusan yang bertipe manusia ideal seutuhnya (al-insan al-kamil). Lihat, Zamroni, “Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm 30.
[19]Bandingkan dengan pendapat Muhaimin tentang keharusan dosen dalam mengembangkan profesinya sehingga punya beberapa karakteristi ideal. Lihat, Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 61.
[20]Minhaji dan BA, Masa Depan Pembidangan, hlm. 49-50.
[21]M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm. 71.
[22]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5,  http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
[23]Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 1 nomer 17.
[24]Pernyataan ini sama dengan apa yang disampaian Imam Suprayogo, gambaran pendidikan tinggi Islam yang kelahirannya didasarkan pada motivasi nilai-nilai idealisme yang tinggi, yaitu Islam yang rahmatalill alamin. Pada kenyataannya kampus Islam, bahkan yang berstatus negeri sekalipun masih kalah bila dibandingkan dengan UI, ITB, IPG, UGM, UNAIR, dan kampus lainnya yang setara. Dan lebih ironis, ternyata juga masih kalah bila dibandingkandengan perguruan tinggi swasta yang berada di naungan yayasan Kristen, seperti Universitas Parahyangan, UKI, Atmajaya, Satya Wacana, Petra, dan lain-lain. Lihat, Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malanga, 2005), hlm. 112.
[25]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum, hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003), hlm. 209.
[26]KBBI Offline Versi 1.5, didownload tanggal 21 April 2014.
[27]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan,” hlm. 216.
[28]Apabila ditinjau dari sudut pandang dinamika yang ada di tingkat nasional dan internasional (global) maka penggunaan “paradigma baru” bagi perguruan tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan. Selain itu, sebagai penunjang utama maka perlu diadakan reformasi besar-besaran mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan itu diharapkan Perguruan Tinggi dengan contents pendidikan, metode, dan penyampaian pendidikannya mampu menjangkau kebutuhan masyarakat yang lebih beragam dan luas. Lihat, Azyumardi Azra, IAIN di  Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (Jakarta: Direktorat Pembinaan PTAI Depag RI, 2000), hlm.  4.
[29]“Pembidangan ilmu agama yang ada selama ini sudah sepatutnya ditinjau ulang. Sebab, dalam situasi global yang menuntut skill dan penguasaan bahasa asing (inggris dan arab), bidang ilmu yang ditawarkan oleh PTAI hanya cocok untuk mencetak generasi penghafal tradisi klasik Islam. bukan hanya itu, bidang ilmu yang ditawarkan oleh PTAI adalah masih bersifat teologis-normatif-deduktif, bukan empiris-historis-induktif... untuk abad 21 dan seterusnya, model empiris-historis-induktif yang sering digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan perlu mendapat perhatian” Lihat, Minhaji dan BA, Masa Depan Pembidangan, hlm. 79.
[30]Ahmad Syafii Maarif, “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi Islam Menghadapi Peradaban Modern,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 21-22.
[31]PTAI mestilah adaptif terhadap perkembangan zaman, terutama terkait dengan keilmuannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan keilmuan di PTAI adalah pertama PTAI harus membuka program kilmuan yang mencakup ilmu-ilmu agama (perenial knowledge) dan juga ilmu-imu pengetahuan umum (acquierd knowledge) yang dikembangkan oleh manusia. Misalnya membuka fakultas sains, sosial, humaniora, dan tentunya fakultas keagamaan. Kedua, PTAI harus memogramkan Islamisasi ilmu, baik pada tataran ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Lihat, Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Rineke Cipta, 2009), hlm. 96.
[32]Pengembangan PTAI melalui fakultas dan nya yang lebih menekankan pada pengembangan ilmu agama Islamnya saja (parennial knowledge) ternyata telah mendapat kritik. Hal ini karena pengembangan tersebut masih bersifat sangat sektoral, hanya untuk kebutuhan umat Islam saja yaitu mencetak ahli agama Islam. Bila demikian, maka PTAI dikatakan tidak relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional. Lihat, Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2009), hlm. 241.
[33]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 68-69.
[34]Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam:, hlm. 240-241.
[35]KBBI Offline Versi 1.5, didownload tanggal 21 April 2014.
[36]Bandingkan dengan alasan Daulay tentang perlu diadakanya pengembangan dalam pembidangan ilmu (program studi) pada PTAI. Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 82-83.
[37]“Perguruan tinggi atau yang biasa disebut kampus, disamping sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mengemban misi kebudayaan. Metta Spencer dan Alex Inkeles (1982) dalam bukunya Foundation of Modern Sociology, menyebut adanya delapan fungsi pendidikan. Empat  di antaranya, yang relevan dengan maksud ini, adalah pengalihan budaya, mengajarkan nilai-nilai, memajukan mobilitas sosial, dan pemangunan hubungan sosial.” Lihat, Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo, 2004), hlm. 118.
[38]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 54.
[39]“Ilmu pendidikan Islam merupakan prinsip, struktur, metodologi, dan objek yang memiliki karakteristik epistemologi ilmu Islami... Pengembangan pendidikan Islam adalah upaya memperjuangkan sebuah sistem pendidikan alternatif yang lebih baik dan relatif dapat memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan yang mereka hadapi sehari-hari.” Lihat, Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat, 2002), hlm. 3.
[40]KBBI Offline Versi 1.5, didownload tanggal 21 April 2014.
[41]Pembidangan ilmu agama Islam di PTAI belum punya orientasi yang jelas. Pembidangan tersebut masih erlalu luas dan sangat sulit untuk diajarkan pada mahasiswa yang hanya menempuh sekitar 4 tahun. ditambah lagi, para lulusan PTAI harus dihadapkan (bersaing) dengan luusan dari PTU yang kompetensinya cukup jelas dan spesifik. Lihat, Minhaji dan BA, Masa Depan Pembidangan, hlm. 50.
[42]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan, hlm. 297.
[43]Tholkhah dan Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 107.
[44]Masalah IAIN (sebagai salah satu bentuk PTAI) secara eksternal bisa dibenturkan minimnya kerjasama kampus dengan lembaga, instatsi, dan perusahaan di luar kampus. Permasalah pokoknya terletak pada pola kerja sama antara pihak kampus dengan lembaga pendidikan yang lulusannya sebagain besar masuk ke IAIN. Serta hubungan dengan lembaga luar yang menggunakan lulusan IAIN sebagai “tenaga” kerjanya. Di mana selama ini kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar kampus sangat tidak intensif bahkan tidak ada sama sekali. Tidak ada yang namanya kerja sama saling evaluasi terhadap fakultas, jurusan,  serta disiplin dan kurikulum IAIN. Pada era mendatang hubungan timbal baik (kerja sama) seperti ini sangat dibutuhkan, agar tercipta kesinambungan antara progaram IAIN dengan kepentingan masyarakat. Lihat, Azizy, Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 30.
[45]Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Geman Insani, 1995), hlm. 142-143.
[46]Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam (Malang: UMM, 1996), hlm. 69.
[47]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 54-55.
[48]Ibid., hlm. 55.
[49]Ibid., hlm. 70-71.
[50]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 58.
[51]Ibid., hlm. 58-59.
[52]“Pembidangan ilmu pada PTAI ke depat terkait erat dengan bagaimana padnangan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan kemudian bagaimana menyikapinya. Diawali dari konsepsi idealnya, dan selanjutnya ditindaklanjuti dengan kesatuan pandangan tentang hal tersebut, baik yang berasal dari dalam PTAI sendiri maupun dari luar.” Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 71.
[53]Minhaji dan BA, Masa Depan Pembidangan, hlm. 51.
[54]Tholkhah dan Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 111.
[55]“Mengenai teori-teori dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam memerlukan berbagai macam cabang ilmu antara lain: ilmu filsafat, ilmu pendidikan, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, dan lain-lain... Langkah-langkah yang diperlukan dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam antara lain: Pertama, harus mampu mengakomodir ilmu pengetahuan; Kedua, meyakini bahwa ilmu pengetahuan berasal dari Allah; Ketiga, mengupayakan adanya keseimbangan pendidikan; Keempat, mengupayakan adanya organisasi, dan Kelima; mempunyai ekonomi yang mapan dan memiliki kemampuan politik.”[55] Lihat, Arif, Pengantar Ilmu dan, hlm 12.
[56]Azizy, Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 31.
[57]Azizy, Mengembangkan Struktur Kefakultasan,” hlm. 32.
[58]Ibid., hlm. 33.
[59]Ibid., hlm. 34-39.
[60]Undang-undan Negara Repuplik Indoneisa Tahun 1945 Amandemen ke-4.
[61]Undang-undang No. 20 Tahun 2012 Pasal 5.
[62]Fakultas yang dimiliki UIN Maliki Malang adalah Fakultas Humaniora dan Budaya, Fakultas Ekonomi, Fakultas Psikologi, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Fakultas Syari’ah, dan Fakultas Sains dan Teknologi. Lihat, “UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/UIN_Maulana_Malik_Ibrahim_Malang, diakses tanggal 28 Desember 2014.
[63]“Kuota Prodi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,” dalam  http://span-ptain.ac.id/?p=183, 18 Januari 2014, diakses tanggal 31 Oktober 2014.
[64]“Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Malang),” dalam http://diktis.kemenag.go.id/index.php?artikel=lihat&jd=179#.VJ9nYQJnw, diakses tanggal 28 Desember 2014.
[65]Mastuhu, “Universitas Islam di Tengah Dikotomi antara Agama dan Ilmu,” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global), ed. M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha, (Malang: UIN, 2004), hlm. 87.
[66]Umat Islam sedang dilanda “kejatuhan” psikologis, karena Bari ditinjau dari berbagai hal memang lebih maju dibanding dunia Islam pada umumnya. Bahkan sampai pada hal yang sangat Prinsip sekalipun, misalnya sektor pendidikan, dunia Islam banyak yang berkiblat pada Barat. oleh karena itu, tidak mengherankan bila kebanyakan umat Islam akan banyak menyentuh aspek acuan dari bangsa yang dinyatakan “dibenci” itu. Lihat, Mastuhu, “Link and Match Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Agama Islam di Indonesia: Menuju Pencarian Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 182.
[67]Muzhoffar Akhwan, “Karakteristik, Tujuan, dan Sasaran Pendidikan Islam,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 39.
[68]Ahmad Syafii Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa,” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, ed. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 40.
[69]Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 63.
[70]Sebagaimana menurut Daulay bahwa tolak ukur lulusan yang berkualitas adalah pertama sesuai dengan tujuan kurikulum, baik dalam skala nasional, institusional (lembaga pendidikan), kurikuler (mata pelajaran), dan instruksional (proses pembelajaran). Kedua pengguna lulusan (pasar)telah merasa puas. Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 69. Kepuasan di sini menurut penulis tidak hanya pada aspek bidang produk aktivitasnya di masyarakat saja akan tetapi juga pada produk-produk lain yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Baik oleh masyarakat awam, masyarakat akademis, maupun masyarakat “kelas atas.”
[71]Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses,” hlm. 66.
[72]Dimana sebagain besar masyarakat Indonesia menyambut positif terhadap perluasan dan pengembangan keilmuan melalui pembukaan prodi-prodi ilmu umum. Lihat, Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam, hlm. 97-98.
[73]Kendati demikian, untuk  keagamaan yang baru pada Sekolah Tinggi (berbasis Islam) dan Institut (berbasis Islam) masalah penamaannya sebagian sudah mengalami penyegaran.  Misalnya prodi Ekonomi Islam diganti dengan nama Ekonomi Syari’ah serta Dirasat Islamiyah diganti dengan Pendidikan Agama Islam. Lihat, Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: 1429 Tahun 2012 tentang Penataan Program Studi di Perguruan Tinggi Agama Islam.






Catatan: Studi Kasus yang dilakukan ini bukan studi kasus yang sesungguhnya. Tidak dilakukan secara mendalam. Artinya, ini bukan penelitian sebenarnya. Sifatnya masih penelitian pendahuluan sehingga butuh penelitian tindak lanjut. Di mana penelitian pendahuluan ini dilakukan pada tahun 2015 







Ilustrasi Program studi terakreditasi A (sumber gambar FKIP Unsri)




Baca tulisan menarik lainnya: